Rasionalisme

Dalam peradaban Yunani kuno, begitu pula dalam bentuknya yang baru: peradaban Barat modern, para filosuf berpijak pada kekuatan akal yang dipandang sebagai satu-satunya alat untuk memperoleh pengetahuan tentang hakekat fenomena dan segala sesuatu. Dalam masyarakat Yunani kepercayaan yang dominan adalah animisme dan tidak dikenal wahyu ilahi; tidak dikenal pula teks agama yang meluruskan akal atau mendampinginya dalam bidang filsafat; pemikiran dan pengamatan.

Dikarenakan kebangkitan peradaban Barat –meskipun perkembangannya dalam suasana dan lingkungan Kristen– filsafat sekular baik semangat, substansi, maupun karakternya –dikarenakan adanya penolakan konsep Trinitas– sebagaimana yang berkembang dalam masyarakat Katolik Barat– terhadap penggunaan akal sebagai jalan untuk menuju keimanan, maka kebangkitan peradaban Barat modern ini datang sebagai kepanjangan dari sikap dan tradisi peradaban Yunani klasik dalam penggunaan akal sebagai satu-satunya alat pemikiran, pengamatan, dan filsafat. Inilah ciri khas filsafat dan pemikiran dalam peradaban Barat sejak masa Yunani hingga abad modern sekarang. Jadi hanya akal yang menjadi alat filsafat sedangkan fitrah dan teks agama, keduanya jalan menuju keberagamaan dan keimanan.

Dalam tradisi pemikiran Arab Islam sebagian besar aliran filsafat Islam mempunyai sikap sendiri dalam masalah ini. Aliran rasionalis dalam peradaban Islam, yang terdepan adalah Mu’tazilah khususnya, dan Ahlul ‘Adli wat-Tauhid pada umumnya, telah mengambil jalan pemikiran dan inovasi filsafat dari naql, yakni Al Qur’an Al Karim yang kedudukannya diatas akal dan mereka memanfaatkan konsep Islam dalam pembicaraan tentang hal-hal gaib, lalu melakukan –sebelum menterjemahkan filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab, dan barangkali untuk pertama kali dalam sejarah pemikiran filsafat ini– perumusan Ilmu Kalam, atau Ilmu Tauhid, sebagai filsafat Islam yang menjadikan acuan dan pijakannya adalah wahyu Ilahi. Di dalamnya terdapat perpaduan akrab antara wahyu dan akal; persaudaraan antara hikmah dan syari’ah; keselarasan antara rasionalitas dan transendentalitas; konsep tauhid menekankan secara tegas dalam masalah ilahiah dengan dukungan alam dan hukum kausalitas. Para ahli kalam dengan rasionalisme Islam dapat bangkit membawa argumentasi jitu terhadap para teolog dan filosuf dari agama lain. Lalu mereka memfungsikan filsafat –untuk pertama kalinya dalam sejarah– sebagai senjata di tangan agama. Mereka dalam bidang ini mempunyai jasa dalam menyebarkan Islam di negeri-negeri yang di dalamnya ilmu-ilmu Yunani dan tradisinya berkembang: filsafat logika dalam aliran rasionalis ini membubuhkan aspek rasionalisme dalam peradaban Islam. Inilah yang menarik perhatian pemikir Barat karena filsafat dapat dipadukan dengan keberagamaan. Oleh sebab itu, Alfred Guillaume mengemukakan: “Sesungguhnya kekuatan gerakan Mu’tazilah ujung pangkalnya adalah membangun Ilmu Kalam Islam diatas fondasi filsafat yang kokoh, dengan menekankan, pada saat yang sama, bahwa fondasi itu harus logis dengan keharusan dipelajari sebagai bagian dari aqidah Agama.”[1]

Berbeda dengan Kristen dan peradaban Barat, yang filsafatnya berhenti pada akal, dan agamanya menyerukan agar mengimani apa yang dimasukkan kedalam hati tanpa penalaran akal, sebagaimana dikatakan oleh Anselme (1033-1109 M) bahwa Mu’tazilah di pihak lain  menjadikan penalaran akal sebagai kewajiban pertama manusia.[2] Sebab penalaran akal adalah jalan mengenal Allah dan mengimaninya. Mengenal Allah dan iman kepada-Nya membukakan jalan iman kepada risalah, wahyu dan Al Kitab. Dari sini mereka mengandalkan akal beserta Al Kitab, sunnah, dan ‘ijma bahkan mendahulukan akal dari pada semua itu, bukan mendahulukan dalam pengertian mengutamakan, melainkan mendahulukan urutan. Mereka mengatakan: “Dalil-dalil (agama) terutama adalah penalaran akal, karena dengan akal dapat dibedakan antara yang baik dan yang buruk, dengan akal dapat memahami bahwa Al Kitab adalah hujjah kebenaran, begitu pula sunnah dan ijma’. Barangkali mengherankan sebagian orang lalu menyangka bahwa dalil-dalil agama adalah Al Kitab, sunnah dan ‘ijma saja atau mengira bahwa akal apabila menunjukkan pada persoalan-persoalan, ia diakhirkan, padahal tidak demikian halnya. Sebab Allah mengajak bicara hanya kepada orang berakal dan dengan akal ini diketahui bahwa Al Kitab adalah hujjah. Begitu pula sunnah dan ‘ijma, maka akal adalah hal pokok dalam persoalan ini. Jika dikatakan bahwa Al Kitab adalah pokok karena di dalamnya terdapat peringatan terhadap apa yang adal’ pada akal dan di dalamnya terdapat dalil-dalil yang menunjukkan aturan hukum. Bilamana diketahui dengan akal satu Tuhan yang memiliki satu-satunya hak sesembahan, diketahui bahwa Dia Maha Bijaksana, diketahui pula bahwa dalam Al Kitab terdapat petunjuk. Bilamana diketahui bahwa Dia mengutus Rasul, memberi kelebihan kepadanya dengan mukjizat sebagai bukti kebenaran terhadap para pendusta, maka dapat diketahui bahwa sabda Rasul adalah hujjah. Jika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Ummatku tidak bersepakat dalam kesalahan” (Ibnu Majah dengan lafal:

“Umatku tidak bersepakat dalam kesesatan (dhalalah); “Kamu sekalian harus bersama jama’ah.” (Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, an-Nasai, dan Ibnu Majah)

Maka akan diketahui bahwa ijma’ adalah hujjah. [3]

Menggunakan akal dan mendahulukannya –menurut runtut tidak berarti menutup mata terhadap naql (teks Agama) melainkan mengharmoniskan, memadukan dan menguatkan. Kaum Mu’tazilah tidak hanya menggunakan akal sebagai jalan pengetahuan, melainkan mereka menggunakannya sebagai dalil untuk mengetahui dasar-dasar syari’ah. Bagi mereka –sebagaimana dikatakan oleh Al Mawardi (945-1055 M)– bahwa penyebab yang mengantar pada pemahaman dasardasar syari’ah ada dua macam, salah satunya adalah ilmu sensual yaitu akal, karena penalarannya adalah satu dasar untuk mengetahui dasar-dasar, sebab dasar-dasar itu tidak dapat diketahui kecuali dengan penalaran-penalaran akal. Akal adalah induk dasar-dasar itu. Kemudian macam yang kedua adalah mengetahui bahasa Arab, ia dipakai dalam hujjah pendengaran khususnya.[4]

Hubungan organik dan tali penyambung yang kokoh –dalam rasionalisme Islam ini– antara akal dan syari’ah dilihat bahwa keduanya adalah dalil yang diciptakan oleh Allah Yang Maha pencipta, dan menjadikan keduanya jalan petunjuk bagi manusia. Jika dikatakan bahwa setiap keutamaan mempunyai asas dan setiap etika mempunyai sumber, maka asas dan sumber etika itu adalah akal yang dijadikan oleh Allah sebagai asas pokok bagi agama serta tiang bagi kehidupan dunia. Beban tugas agama (taklif) mengharuskan adanya kesempurnaan akal; menjadikan urusan dunia dapat ditangani dengan penalaran hukum-hukum akal. Dengan akal Allah mempersatukan kecenderungan dan aspirasi, keragaman tujuan dan keinginannya. Allah menjadikannya suatu hal yang mengharuskan manusia menggunakan akal dalam dua bagian: sebagian wajib dengan akal lalu dilakukan oleh syara’ dan sebagian lainnya boleh dalam akal lalu diwajibkan oleh akal. Akal bagi kedua bagian ini adalah tiang pokok.”[5]

Berbeda dengan rasionalisme Barat atheis, yang menjadikan alam fisik hanya berlaku karena hukum kausalitas, sebagai satu pandangan yang menafikan keberadaan peran Tuhan sebagai sebab pertama dan Maha Paripurna di alam ini. Rasionalisme Islam memadukan antara keduanya: alam mempunyai peran: materinya, fenomenanya, dan faktor-faktornya adalah penyebab terhadap akibat. Namun demikian, ini semua adalah makhluk ciptaan bagi “Sebab Pertama”, yaitu Sang Pencipta Yang Maha Paripurna di alam ini. Ini salah satu pencapaian Ilmu Kalam, yang dihasilkan oleh aliran rasionalisme dalam peradaban Islam. Al Jahizh (780-879) mengatakan tentang persoalan ini: “Ahli kalam tidak menjangkau semua cakupan wilayah kalam dan mapan dalam pencapaian produk pemikiran yang dapat memegang kepemimpinan, hingga ia menguasai persoalan agama secara seimbang dengan penguasaannya atas persoalan filsafat. Orang alim bagi kita adalah memadukan keduanya dan orang yang benar adalah yang memadukan pencapaian tauhid dan memberikan kepada alam hak-haknya untuk berfungsi. Barang siapa yang mempunyai anggapan bahwa tauhid tidak dapat dikatakan baik kecuali dengan menolak realitas alam, sebenarnya orang tersebut telah membawa kelemahan dirinya itu pada pembicaraan tentang masalah tauhid. Begitu pula jika ia mempunyai anggapan bahwa realitas alam tidak dapat dikatakan baik jika disertai dengan tauhid. Barangsiapa mempunyai pandangan seperti ini sebenarnya ia telah membawa kelemahan dirinya pada pembicaraan tentang realitas alam. Orang atheis berputus asa dari Anda jika Anda menguasai tauhid seiring sejalan dengan pemahaman terhadap hak-hak alam. Sebab dalam mengangkat fungsi-fungsinya berarti mengangkat substansi-substansinya. Karena substansi-substansi itu adalah yang menunjuk pada adanya Allah, lalu Anda membuang petunjuk yang mengarah kesana, maka berarti Anda telah merusak bukti petunjuk itu. Sungguh benar, memadukan keduanya adalah bagian dari upaya yang berat dan aku berlindung kepada Allah ta’ala setiap kali aku berusaha masuk pintu pembicaraan kalam yang sulit dimasuki, aku merusak satu pilar pembicaraanku. Barang siapa demikian keadaannya maka ia tidak mengambil manfaat dari padanya.”[6]

Demikianlah, dalam menghadapi setiap dualisme, aliran rasionalisme Mu’tazilah membentuk sisi rasional peradaban Islam, lalu mereka mengambil jalan tengah dan memadukan aspek-aspek yang dapat dipadukan berupa kesamaan dan peradaban yang dipandang dalam peradaban lain sebagai kontradiksi yang tidak dapat diharmonisasikan. Di samping itu mereka adalah para da’i yang mengajak kepada agama, mereka juga ulama negarawan, pakar ilmu teoritis dan sekaligus terapan; mereka membahas persoalan-persoalan teologis dan mengadakan eksperimentasi terhadap tumbuh-tumbuhan dan hewan. Di antara mereka terdapat ahli hikmah terkemuka yang menggeluti ilmu hewan dengan melakukan percobaan-percobaan, observasi, dan induksi.

Kaum cendikia Mu’tazilah itu adalah para ulama dan pencetus peradaban yang memberi warna peradaban dengan warna rasionalisme khusus ini. Apa yang dilakukan terhadap mereka dan terhadap rasionalisme Islam ini oleh revolusi yang dilakukan oleh militer negara ketika angkatan bersenjata yang terdiri dari bangsa Turki Mamluk?

Imam Ahmad bin Hanbal (789-855 M) mewakili kelompok penentang terang-terangan terhadap dinasti Abbasiah di Bagdad yang menganut paham rasionalisme Islam. Sikapnya menentang filsafat Yunani telah mengantarkan Imam Ahmad bin Hanbal pada sikap memusuhi ilmu kalam Islam dan kaum mutakallimin (penganut kalam) serta menolak rasionalisme dan hanya nash-nash Agama yang ia pegang. Bahkan dapat dikatakan sangat tekstualis. Imam Ahmad bin Hanbal bukanlah seorang filosuf dan bukan pula ahli kalam, bahkan bukan pula seorang ahli fiqih (faqih) dalam arti yang sebenarnya, tetapi ia telah dikenal sebagai ahli hadits yang megumpulkan hadis dalam salah satu kitab rujukan hadits Nabi saw; merumuskan dasar-dasar metodologi tekstual (manhaj an-nushush) yang mengacu hanya pada teks-teks agama serta menolak selain nash sebagai alat rujukan pemikiran, pembahasan, dan pembuktian.

Kelima dasar metodologinya –sebagaimana dirumuskan oleh Imam madrasah salafiah, Ibnu Al Qayyim (1292-1350) menjadikan poros satu-satunya — berkisar pada teks-teks agama (nash). Dasar pertama adalah nash. Dasar kedua adalah fatwa sahabat –ini juga nash. Dasar ketiga adalah apabila para sahabat berselisih maka pendapat mereka yang paling kuat dipilih — ini juga salah satu nash. Dasar keempat adalah mengambil hadits mursal dan dha’if — ini juga nash yang didahulukan, meskipun lemah– atas lainnya sebagai jalan pengambilan dalil. Dasar kelima adalah qiyas untuk darurat, bilamana tidak ditemukan nash dalam masalah tertentu, tidak pula terdapat perkataan para sahabat, atau salah seorang di antara mereka, dan tidak ditemukan atsar mursal atau dha’if.[7]

Imam Ahmad bin Hanbal juga menolak pendapat akal (ra’y) dan para penganutnya (ahl ar-ra’y) serta melarang meminta fatwa kepada mereka. Menurutnya, hadits dha’if lebih kuat dari pada pendapat akal. Bahkan Imam Ahmad bin Hanbal telah merumuskan sendiri metodologinya itu dalam gubahan syair:

Agama Nabi Muhammad adalah atsar

Rakit terbaik bagi pemuda adalah akhbar

Jangan Anda berpaling dari hadits

dan dari para ahlinya

Sebab ra’y ibarat gulita malam

sedangkan hadits terang siang

Seringkali pemuda tidak mengetahui

jalan petunjuk hakiki

Padahal matahari kala menyinari

di sana banyak cahaya

Ilmu adalah firman Allah

sabda rasul-Nya, dan perkataan sahabat

Semua tiada khilaf di dalamnya

llmu yang mengajak perselisihan,

tiada lain satu kebodohan

Antara nash dan ra’y orang bodoh

terdapat perbedaan

Sekali-kali jangan menolak nash

Hati-hatilah terhadap tajsim

juga penyerupaan (bagi Allah) — tasybih

Nash jauh dari yang dikesampingkan

oleh kelompok yang meniadakan sifat Allah — ta’thil

juga distorsi dan penyalahartian – tamwih [8]

Jadi hanya nash-nash saja yang disebut ilmu agama sedangkan pendapat akal tidak mempunyai tempat di dalamnya. Sesuai dengan manhaj nushush ini, Imam Ahmad bin Hanbal menolak pendapat akal dan qiyas, kecuali jika tidak ada nash, meskipun nash ini lemah (dha’if) menolak ta’wil, cita rasa, rasio dan teori sebab musabab serta semuanya selain tekstualitas nash.[9]

Manhaj nushush ini memberi pengaruh terhadap segmen masyarakat awam yang tidak kritis sehingga cukup berhenti pada pemahaman tekstual. Maka ketika sekelompok orang Mu’tazilah –bukan paham mu’tazilah seperti anggapan banyak orang– secara tidak sah mengeksploitasi kewenangan negara untuk bertindak sewenang-wenang dengan melakukan tekanan keras terhadap Imam Ahmad bin Hanbal agar mengikuti paham mereka tentang pandangan bahwa al Quran adalah makhluk akan tetapi, ia tetap pada pendiriannya dengan tegar menghadapi cobaan dan tekanan berat dari pemerintahan tiga Khalifah Abbasiyah berturut-turut: Al Ma’mun, Al Mu’tashim, dan Al Watsiq Billah. Dengan perlakuan sewenang-wenang terhadap dirinya itu membuat Imam Ahmad bin Hanbal semakin tinggi diberi penghormatan dan sanjungan dari masyarakat luas dan dari mayoritas kalangan intelektual serta ulama, sehingga aliran pemikirannya ini semakin kokoh dengan adanya tekanan dan cobaan dari penguasa ini.

Ketika terjadi perebutan kekuasaan yang dilakukan unsur Turki Mamluk, negara berubah menjadi sistem militer. Sementara etnik militer Turki Mamluk ini berwatak keras dan berwawasan sempit, tidak mampu menyerap rasionalisme Islam, sebab tingkat intelektualitas mereka berada di bawah rata-rata masyarakat umum. Kemudian mereka membutuhkan dukungan massa atas keinginan mereka untuk mengadakan perubahan dan keterlibatan mereka dalam konflik dengan paham rasionalisme yang mendominasi jajaran penguasa bahkan sebelum masa pemerintahan Al Mutawakkil. Orang-orang keturunan Turki ini menyingkirkan tokoh-tokoh paham rasionalisme dari posisi-posisi penting baik pemikiran maupun politik, bahkan mereka banyak yang dimasukkan kedalam penjara atau dibuang ke pengasingan. Pada perkembangan selanjutnya kelompok yang sebelumnya tertindas dan para penganut aliran tekstual kemudian datang memenuhi pusat-pusat pengaruh dan posisi penting, yang merupakan satu perubahan pemikiran secara total di mana paham rasionalisme menjadi paham yang dilarang dan dikecam untuk menyusul kemudian ditindas dan ditumpas. Dengan demikian lalu peradaban Islam mengalami set back, stagnasi, dan taklid.

Ketika umat Islam dihadapkan pada tantangan serbuan Barat modern –yang diawali dengan serbuan Napoleon Bonaparte ke Mesir (1798) yang di antaranya membawa tantangan pemikiran– mulailah timbul hidup kembali ciri-ciri rasionalisme Islam pada gerakan kebangkitan dan pembaruan –paham pan-Islamisme– yang dihembuskan oleh Jamaluddin Al Afgani yang timbul dalam pemikiran paham ini, baik melalui ucapan Al Afgani, ataupun melalui ijtihad-ijtihad Imam Muhammad Abduh, teori dan pandangan yang mengacu pada kedudukan akal sebagai jalan pengetahuan manusia, sebab:

  1. Sebab akal adalah inti kemanusiaan manusia. la pada mulanya tidak berbeda dengan binatang tetapi titik perpisahan yang membedakan antara keduanya adalah daya intelek manusia sebagai poros kebaikan dan kebahagiaannya.[10] Daya intelek manusia adalah kekuatan yang sebenarnya.[11]
  2. Kemenangan ada di pihak akal dalam pergulatannya dengan kejumudan dan taklid.[12]
  3. Kedudukan akal dalam Islam, menjadi sumber keyakinan dalam beriman kepada Allah, ilmu-Nya, dlan kekuasaan-Nya, serta membenarkan risalah Rasul. Sedangkan naql (wahyu dan sunnah) adalah sumber selain itu yang berkaitan dengan ilmu tentang hal-hal yang gaib seperti keadaan akhirat dan peribadatan.[13] Untuk pertama kali telah terjadi perpaduan antara akal dan agama dalam kitab suci melalui lisan Nabi yang diutus dengan penjelasan yang tidak dapat di-ta’wil dan dipegang oleh seluruh kaum Muslimin –kecuali mereka yang tidak yakin pada akal dan agamanya–: bahwa di antara persoalan agama ada yang tidak mungkin diyakini kecuali melalui akal, seperti: iman kepada adanya Allah: kekuasaan-Nya untuk mengutus para Rasul; ilmu-Nya tentang apa yang diwahyukan kepada mereka; kehendak-Nya memilih mereka secara khusus untuk mengemban risalah-Nya dan berikut hal-hal yang berkaitan dengan pemahaman makna risalah; dan membenarkan risalah itu sendiri kadang-kadang membawa sesuatu diatas pemahaman akal tetapi tidak mungkin membawa sesuatu yang mustahil menurut akal.[14]
  4. Di sana tidak ada dualisme dan pertentangan antara petunjuk akal dan petunjuk naql. Al Qur’an, yaitu naql Islam adalah mukjizat rasional. Al Qur’an –sebagai mukjizat– mengajak menusia agar menalarinya dengan akal mereka. Al Qur’an adalah mukjizat yang ditawarkan kepada akal, memperkenalkan akal agar memikirkan kandungannya dan menjabarkan pesan-pesannya. Islam mengandalkan kepada dalil akal dan pikiran manusia yang berlaku pada sistem fitrinya. Maka Anda tidak terkejut dengan hal-hal luar biasa; penglihatan Anda tidak terkesima pada fenomena-fenomena ajaib; lisan Anda tidak kelu oleh seruan ilahiah. Seseorang tidak menjadi mukmin kecuali jika ia memahami agamanya dan mengerti dengan sendirinya agar puas dengan agamanya itu. Barangsiapa yang dididik pasrah tanpa kritik rasional dan dididik beramal, meskipun shalih tanpa pemahaman, maka dia tidak beriman sebab tujuan iman bukanlah agar manusia diberangus dengan kebaikan seperti binatang dikendalikan, melainkan tujuannya adalah agar manusia meningkat akalnya dan bersih hatinya dengan mengenali Allah dan memahami agamanya. Dia lalu berbuat kebaikan karena mengerti bahwa kebaikan itu bermanfaat dan diridhai Allah; meninggalkan keburukan karena ia memahami akibat buruknya dan tingkat keburukannya bagi agama dan kehidupannya di dunia. Dia meningkatkan derajatnya ini atas dasar kesadaran dan pemahaman pada aqidahnya. [15]
  5. Ini semua tidak berarti –seperti yang dialami oleh rasionalisme Barat– menjadikan hanya akal tanpa naql sebagai jalan pengetahuan. Sebab dalam Islam akal adalah satu petunjuk dan salah satu jalan pengetahuan. Di sana terdapat masalah-masalah yang tidak dapat dijangkau oleh penalaran akal melainkan harus melalui jalan naql untuk memperoleh pengetahuan. Jika daya kemampuan akal manusia digunakan dengan maksimal, akan sampai pada batas akhir pengetahuan sensual bagian alam fisik yang berada di bawah jangkauan pengetahuan manusia. Sedangkan menjangkau hakikatnya adalah sesuatu yang tidak dapat dijangkau oleh akal manusia.[16] Begitu pula tentang keadaan kehidupan alam lain akal manusia tidak akan dapat menjangkaunya. Oleh sebab itu, akal manusia membutuhkan pembimbing yang dapat membantu manusia hidup dengan bahagia di dunia dan di akhirat.[17] Sebab akal manusia tidak mampu mengantarkan pemiliknya menuju kebahagiaan dalam menempuh hidup ini, meskipun ia mempunyai kedudukan tinggi dan mendapat pujian dari masyarakat.[18]
  6. Dikarenakan posisi akal dalam naql Islam –al-Qur’an Al Karim– tidak mungkin terjadi kontradiksi antara keduanya, maka apabila terjadi dan tampak kontradiksi antara bukti akal dan redaksi naql dan umat Islam telah sepakat –kecuali sebagian kecil mereka yang tidak memandang demikian– maka dalil akallah yang diambil. Lalu terhadap naql ada dua jalan: Pertama, menerima kesahihan naql itu dengan mengakui ketidakmampuan akal untuk memahaminya dan menyerahkan masalah ini kepada pengetahuan Allah. Kedua, men-ta’wil naql itu dengan tetap menjaga qaidah-qaidah bahasa, agar maknanya sesuai dengan pemahaman akal.[19]

Dalam kedua cara ini tidak terjadi pengorbanan akal untuk naql dan tidak pula naql untuk akal karena keduanya adalah petunjuk Tuhan dan jalan di antara keempat jalan memperoleh pengetahuan manusia: akal, naql (wahyu), pengalaman dan intuisi. Dengan demikian jelaslah perbedaan antara rasionalisme Islam dan rasionalisme Barat. Rasionalisme Yunani kosong dari teks-teks agama, sedangkan rasionalisme Barat adalah lawan dari teks-teks agama ini. Sebaliknya rasionalisme Islam, baik klasik maupun kontemporer adalah saudara syari’ah dan menjadi jalan yang mengantar pada bukti atas kebenaran keyakinan-keyakinan agama, yang dengan meminjam ungkapan Imam Al Ghazali –bahwa Ahlus Sunnah telah mencapai tingkat di mana tidak terdapat kontradiksi, antara syari’ah melalui wahyu dan kebenaran melalui penalaran akal. Mereka mengetahui bahwa orang yang memandang wajib tetap bersikap taklid dan mengikuti hal-hal eksplisit hanyalah dikarenakan kelemahan akal dan sedikitnya penggunaan daya intelek; bahwa bagi orang yang memasuki seluk beluk akal lalu berbenturan dengan ketentuan-ketentuan syara’, hanyalah disebabkan karena buruknya citarasa. Yang satu cenderung pada sikap berlebihan dalam penggunaan naql dan yang satunya lagi berlebihan dalam penggunaan akal, keduanya jauh dari sikap hati-hati dan bijak.

Perumpamaan penalaran akal adalah ibarat pandangan yang bebas dari kesalahan dan penyelewengan sedangkan perumpamaan Al Qur’an adalah ibarat matahari yang memancarkan sinar. Maka pencari petunjuk jika hanya membutuhkan salah satu dari keduanya berarti ia menempatkan dirinya pada posisi orang bodoh. Orang yang berpaling dari penalaran akal, cukup hanya dengan cahaya matahari yang menyilaukan mata, lalu ia tidak berbeda dengan orang buta. Sebab penalaran akal dengan syara’ adalah cahaya diatas cahaya.[20]


[1] Guillaume, al-Filsafah wa ‘ilm al-Kalam, dalam kitab Turats al-Islam, hal: 379, Beirut 1973.

[2] Dr. Ali Fahmi Khusyain, al-Jabariyyah: Abu Ali wa Abu Hasyim hal: 333, Tripoli, Libiya 1968.

[3] Al-Qadhi Abdul Jabbar bin Ahmad, Fadhl al-I’tizal wa Thabaqat alMu’tazilah, hal: 127, Tunis 1972.

[4] Adal al-Qadhi, juz 1, hal: 274-275, Baghdad 1971.

[5] Al-Mawardi, Adab ad-Dunya wa ad-Din, hal: 19, Kairo 1973.

[6] Al-Jahizh, Kitab al-Hayawan, juz 2, hal: 134-135, ed. Abd. Assalam Harun, Kairo, t.t.

[7] Ibnu al-Qoyyim, juz 1, hal: 76-77, Beirut 1973.

[8] Ibid, hal: 79.

[9] Lihat, Ibnu al-Qoyyim, ath-Thuruq al-Hukmiyyah fi as-Siyyah asy-Sar’iyah, hal: 400, juga Ibnu Taymiyah, risalah al-Furqon Aulia ar-Rahman wa Aulia asy-Saithon, hal: 736-737 dll.

[10] Al-A’mal al-Kamilah, al-Afghani, op cit, hal: 256-257.

[11] Al-A’mal al-Kamilah, Muhammad Abduh, juz 5, hal: 428. juz: 3, hal: 298, ed. DR. Muhammad ‘Immarah, Kairo 1993.

[12] Op cit, hal: 265.

[13] Op cit, hal: 325.

[14] Ibid, hal: 356-357.

[15] Ibid hal: 151, 279-281, dan juz 4, hal: 414.

[16] Ibid hal: 379.

[17] Ibid hal: 397.

[18] Ibid hal: 412.

[19] Ibid hal: 301.

[20] Al-Iqtishad fi al-I’tiqad, op cit hal: 2-3.