Rasyid dan Thariqat Shufiyah

Ketika itu aku kembali ke Rasyid, berbagai kegiatan dan aktivitas Ikhwan semakin marak. Mereka telah berhasil membentuk sebuah Organisasi Kepanduan yang kerap mengadakan latihan di wilayah Ramalliyah. Mereka juga menghafal beberapa nasyid dan mengadakan acara rekreasi bersama. Itulah pertama kalinya kami melakukan perjalanan jauh dari Rasyid ke Kota Edco. Di sana, kami disambut oleh beberapa Ikhwan yang dipimpin langsung oleh Ustadz Muhammad Zaitun, seorang penyair Edco dan penulis buku Edco: Dahulu, Sekarang, dan Akan Datang. Untuk pertama kalinya Ikhwan di Rasyid mulai memikirkan untuk membuka pendidikan keislaman dan halaqah Hifzhul Qur’an, serta sekolah untuk melatih siswanya sebagai orator.

Sebelum shalat isya, aku menuju Kantor Cabang dan disambut oleh Akh Mahmud Abdul Halim. Ia memberiku selemebar surat dan memintaku segera menuju masjid Al-Mahalli untuk menyampaikan isi surat tersebut di hadapan jamaah setelah shalat isya. Karena waktu yang tersedia sangat sempit, aku segera mempercepat langkah kakiku agar tiba di tujuan lebih awal. Setiba di masjid, aku segera bergabung dengan jamaah yang masih melaksanakan shalat Isya.

Setelah selesai, aku segera bangkit dan berdiri di hadapan jamaah untuk membacakan isi surat tersebut dengan suara lantang dan nyaring hingga terdengar oleh seluruh jamaah. Sebelum menyelesaikan seluruh isi surat tersebut, telah terdengar di telingaku suara gaduh yang menentang keras apa yang kusampaikan di hadapan mereka. Ketika suara-suara itu kian meninggi, aku mengakhiri bacaan surat tersebut dan pergi meninggalkan masjid. Pembacaan surat yang baru saja kulakukan membuat orang-orang yang hadir di masjid kebingungan sambil mencariku kesana-kemari. Namun, aku telah menghilang dari pandangan mereka menuju kantor cabang. Di tengah perjalanan, aku baru tersadar bahwa shalat yang kulakukan tadi tanpa wudhu. Oleh karena itu, aku segera mengambil air wudhu dan menyusul saudara-saudaraku yang sedang shalat di kantor cabang.

Setiap orang yang keluar dari masjid mulai mendiskusikan masalah yang baru saja mereka dengar dari surat yang kubacakan di hadapan mereka. Di antaranya bahkan ada yang segera berangkat menemui orang tuaku, Haji Hasan As-Siisi dan mengadukan perbuatanku di masjid. Mendengar laporan tersebut, orang tuaku segera mencariku di Kantor Cabang Ikhwan dan menemukanku dalam keadaan shalat bersama kawan yang lain. Apa yang ia saksikan membuatnya ragu terhadap laporan beberapa orang atas tindakan yang aku lakukan selepas shalat isya di masjid Al-Mahalli, karenasaat itu aku sedang shalat isya di Kantor Cabang. Orang tuaku kembali ke rumah dan tidak terpengaruh sedikit pun oleh ucapan yang ia dengar dari orang lain tentang diriku.

Adapun kalimat yang kusampaikan di masjid Al-Mahalli terkait dengan tibanya musim perdagangan di Rasyid, di mana ikan sarden, beras, dan berbagai jenis makanan melimpah di pasar. Bulan seperti ini juga disebut dengan bulan melimpah. Pada saat-saat seperti itu, beberapa penganut thariqat sufi berkunjung ke Rasyid memanfaatkan kedatangan mereka untuk menertawakan masyarakat awam -yang notabene adalah kalangan terdidik- untuk membuat tradisi tahunan dalam bentuk acara perayaan atas limpahan kebaikan yang mereka peroleh pada tahun itu.

Kemudian, mereka mengundang orang-orang fakir dan miskin yang terdiri dari kaum laki-laki dan perempuan untuk berkumpul bersama-sama merayakan pesta besar itu dengan membentuk halaqah zikir di masjid, sehingga terjadi percampurbauran antara laki-laki dan perempuan. Tentu saja, acara seperti ini melecehkan kehormatan agama Allah Ta’Ala.

Maka, kalimat yang terdapat dalam surat tersebut melarang keberadaan kaum wanita di dalam masjid untuk mengikuti acara seperti itu dan mengingatkan orang-orang yang tidak berpendidikan itu untuk tidak mengaburkan nilai-nilai Islam dan kaum muslimin. Setelah menyampaikan isi surat tersebut, muncullan berbagai opini yang pro dan kontra, sehingga menimbulkan kegaduhan di tengah mereka.

Namun, yang aneh dari semua itu adalah ketika Rasyid kehilangan limpahan kebajikan ini, sebagai akibat dari adanya bendungan Al-Ali dan surutnya air sungai Nil, tidak terdengar lagi adanya seorang Syekh dari salah satu thariqat sufi yang datang untuk membimbing dan mengarahkan para penduduk Rasyid, kecuali sangat sedikit di antara mereka yang tetap melakukan tradisi dan kebiasaan-kebiasaan lama mereka setiap tahun. Itu pun kalau ada.