Risalah Ibrahim ‘Alaihis Salam

Kita panjatkan puji syukur ke hadirat Allah subhanahu wa ta’ala. Kita ucapkan shalawat dan salam untuk junjungan kita Nabi Muhammad, segenap keluarga dan sahabatnya, serta siapa saja yang menyerukan dakwahnya hingga hari kiamat.

Amma ba’du. Ikhwan yang terhormat, saya sampaikan salam penghormatan Islam, salam penghormatan dari sisi Allah, yang baik dan diberkahi: assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuh.

Kita panjatkan puji syukur yang sebesar-besarnya kepada Allah subhanahu wa ta’ala, karena Dia telah mencurahkan nikmat yang besar dan agung ini kepada kita, yaitu nikmat bercinta dan bersatu karena-Nya serta nikmat tolong-menolong dalam rangka menegakkan kalimat-Nya dan membela syariat-Nya. Sesungguhnya Dia adalah sebaik-baik pemimpin dan sebaik-baik pemberi pertolongan.

Ikhwan sekalian, kita sedang berada dalam sebuah pertemuan yang kental dengan nuansa persaudaraan dan keruhanian. Dalam pertemuan ini, terlihat nikmat akbar dan karunia agung dari Allah, yaitu sebuah nikmat yang senantiasa disebut-sebut oleh Allah di hadapan kita, nikmat persaudaraan yang telah menyatukan hati kita, mempersaudarakan ruh kita, dan mewujudkan dalam diri kita suatu kenikmatan yang tidak bisa diketahui kecuali oleh siapa yang pernah merasakannya secara nyata.

Memang, di antara perasaan-perasaan hati, ada yang tidak bisa digambarkan dengan ungkapan lisan. Nikmat kecintaan dan persaudaraan karena Allah, mengandung makna spiritual yang buahnya tidak bisa dirasakan selain oleh mereka yang terlibat di dalamnya. Persaudaraan, wahai Akhi, selain merupakan kenikmatan di dunia, juga merupakan keselamatan di akhirat. Ringkasnya, cinta adalah kelezatan, buah, dan faedah, yang tidak bisa diketahui kecuali oleh siapa yang pernah merasakannya secara sungguh-sungguh dan benar. Kita memohon kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar Dia menyatukan kita di atas landasan kecintaan dan persatuan karena-Nya. Sesungguh-nya Dia Maha Mendengar dan Maha Mengabulkan.

Demikianlah. Dan pada malam hari ini, saya ingin berbicara dengan Anda, Ikhwan sekalian, mengenai dakwah. Dakwah itu mempunyai tiga tahapan:

  1. dakwah para ulama,
  2. dakwah para murabbi (pendidik), dan
  3. dakwah para mujahid.

Masing-masing tahapan merupakan sarana untuk mencapai tahapan berikutnya. Anda tidak mungkin sampai kepada dakwah para murabbi kecuali bila Anda telah menyempurnakan tahapan dakwah para ulama.

Dakwah para ulama, secara ringkas bisa dikatakan sebagai dakwah yang berisi penjelasan. Sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala firmankan, “Maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan.” (QS. Ali Imran: 20) “Agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang diturunkan kepada mereka.” (QS. An-Nahl: 44) “Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu.” (QS. Al-Maidah: 67) “Supaya dengannya aku (Muhammad) memberi peringatan kepada kalian dan kepada orang-orang yang Al-Qur’an sampai kepadanya.” (QS. Al-An’am: 19). Demikianlah, para ulama menjelaskan kepada umat manusia hal-hal yang berkaitan dengan yang halal, yang haram, yang benar, dan yang salah.

Sedangkan substansi dakwah para murabbi, wahai Akhi, adalah meyakinkan manusia agar mereka mau menerima perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya. Dakwah Islam adalah dakwah paripurna yang berlandaskan ilmu, amal, dan perjuangan. Dakwah Islam tidak bisa menerima sebagian tanpa disertai sebagian yang lain. Seorang muslim harus mengetahui yang halal dan yang haram, berpegang teguh kepada kebenaran, dan berjuang melawan para pembela kebatilan. Seorang muslim adalah pelajar yang mempelajari agama, pelaksana yang mengamalkannya, sekaligus tentara yang berjihad. Seorang muslim tidak sempurna keislamannya kecuali bila ia mempunyai ketiga kriteria ini secara utuh.

Ketiga tahapan ini terlihat jelas dalam surat Ash-Shaff, ketika Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, sukakah kalian Kutunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kalian dari adzab yang pedih? (Yaitu) kalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa kalian. Itulah yang lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui. Niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa kalian dan memasukkan kalian ke dalam surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, dan (memasukkan kalian) ke tempat tinggal yang baik di dalam surga ‘Adn. Itulah keberuntungan yang besar.” (QS. Ash-Shaff: 10-12)

Dalam ayat ini wahai Akhi, terdapat isyarat tentang ilmu, amal, dan jihad. Isyarat tentang ilmu adalah dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala, “…jika kamu mengetahui.” Isyarat tentang amal terdapat dalam “(Yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya…”, karena iman itu tidak sempurna kecuali jika disertai dengan amal. Sedangkan isyarat tentang jihad terdapat dalam firman-Nya, “… dan (kamu) berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. “ Ketiga tahapan ini merupakan komponen yang membentuk dakwah Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam sehingga membawa kepada kemenangan di dunia serta kebahagiaan di akhirat. “Niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa kalian dan memasukkan kalian ke dalam surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, dan (memasukkan kalian) ke tempat tinggal yang baik di dalam surga Adn. Itulah keberuntungan yang besar. Dan ada lagi karunia yang lain yang kamu sukai (yaitu) pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat (waktunya). Dan sampaikanlah berita gembira bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Ash-Shaff: 12-13)

Wa ba’du. Ikhwan sekalian, saya berjanji untuk berbicara di hadapan Anda sekalian tentang risalah Sayidina Ibrahim alayhissalaam. Pembicaraan tentang Sayidina Ibrahim alayhissalaam merupakan pembicaraan yang panjang dan luas.

Wahai Akhi, risalah Ibrahim alayhissalaam merupakan salah satu induk risalah besar. Al-Qur’anul Karim mengisyaratkan risalah beliau ini dalam banyak tempat. Tetapi, karena sempitnya waktu yang tersedia, kita akan membahas beberapa aspek saja dari risalah beliau ini.

Ikhwan sekalian, sebagaimana yang pernah saya katakan, berbicara tentang risalah, memerlukan pula pembicaraan tentang rasul dan tentang umat yang kepada mereka rasul tersebut diutus. Ada tiga aspek utama di dalamnya: kepribadian rasul, hakikat risalah, dan sikap kaum yang kepada mereka rasul tersebut diutus.

Ketiga hal ini Anda lihat telah disebutkan Al-Qur’an secara lengkap berkaitan dengan risalah Sayidina Ibrahim alayhissalaam. Al-Qur’an memberikan perhatian khusus terhadap risalah beliau ini. Anda hampir tidak mendapati satu surat yang tidak membicarakan risalah beliau. Dalam surat Al-Baqarah, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail, ‘Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang ruku’, dan yang sujud.'” (QS. Al-Baqarah: 125). Sampai dengan firman-Nya, “Apakah kalian mengatakan bahwa Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya’kub dan anak cucunya adalah penganut agama Yahudi atau Nasrani? Katakanlah, Apakah kalian yang lebih mengetahui ataukah Allah? Dan siapakah yang lebih zhalim daripada orang yang menyembunyikan kesaksian dari Allah yang ada padanya?’ Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kalian kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 140)

Wahai Akhi, persis seperempat surat Al-Baqarah berbicara tentang risalah beliau alayhissalaam. Di surat ini, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya karena Allah telah memberikan kekuasaan kepada orang itu. Ketika Ibrahim mengatakan, ‘Tuhanku adalah Yang menghidupkan dan mematikan’, orang itu berkata, ‘Aku dapat menghidupkan dan mematikan’. Ibrahim berkata, ‘Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah ia dari barat’, lalu heran terdiamlah orang kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang zhalim.” (QS. Al-Baqarah: 258)

Wahai Akhi, demikian halnya dalam surat Ali Imran. Kita menemukan firman Allah subhanahu wa ta’ala “Hai Ahli Kitab, mengapa kalian bantah membantah tentang Ibrahim, padahal Taurat dan Injil tidak diturunkan melainkan sesudah Ibrahim? Apakah kalian tidak berpikir? Beginilah kalian, kalian sewajarnya bantah-membantah tentang hal-hal yang kalian ketahui, maka mengapa kalian bantah-membantah tentang hal yang tidak kalian ketahui? Allah mengetahui sedang kalian tidak mengetahui. Ibrahim bukan Yahudi dan bukan pula Nasrani, akan tetapi ia seorang yang lurus lagi menyerahkan diri kepada Allah dan sekali-kali bukanlah ia termasuk golongan orang-orang yang musyrik. Sesungguhnya orang-orang yang paling dekat kepada Ibrahim adalah orang-orang yang mengikutinya, Nabi ini (Muhammad), dan orang-orang yang beriman (kepadanya), dan Allah adalah pelindung orang-orang yang beriman.” (QS. Ali Imran: 65-68)

Wahai Akhi, Anda juga menemukan kisah ini dalam surat Al-An’am, Hud, Yusuf, Ibrahim, Maryam, Asy-Syu’ara’, dan An-Najm, selain dalam beberapa surat yang lain.

Wahai Akhi, Anda menemukan penjelasan yang memadai, ada yang panjang lebar dan ada singkat. Di sini saya ingin membahas ketiga aspek di muka, sedangkan pembahasan mengenai lainnya kita tunda.

Wahai Akhi, kita ingin mengupas satu demi satu kisah Nabi Ibrahim alayhissalaam ini agar kita bisa mengambil manfaat dan meneladani moyang kita, yang Allah subhanahu wa ta’ala sendiri menyatakan bahwa kita adalah anak cucunya.

“Agama ayahmu Ibrahim.” (QS. Al-Hajj: 78)

Itulah Nabi yang senantiasa kita ingat dan tidak akan kita lupakan, yang pernah menyampaikan salam kepada kita dari langit pada malam Isra’. Seraya menyandarkan diri ke Baitul Makmur, beliau berkata kepada Nabi Muhammad shalallahu ‘alayhi wa sallam, “Sampaikanlah salamku kepada umatmu.

Dan kabarkan kepada mereka bahwa surga itu memiliki lembah-lembah, tanahnya subur, airnya tawar, dan udaranya bersih. Tanamannya adalah ‘Subhanallah’, ‘Alhamdulillah’, dan ‘Laa Ilaaha Illallahu Allahu Akbar’.”

Saudara-saudaraku, inilah Sayidina Ibrahim alayhissalaam yang senantiasa kita kenang dan tidak akan pernah kita lupakan. Ia mengirimkan salam untuk kita. Allah subhanahu wa ta’ala telah menisbahkan kita kepada beliau dan menjelaskan bahwa kita adalah orang-orang yang paling dekat kepadanya.

“Sesungguhnya orang-orang yang paling dekat kepada Ibrahim adalah orang-orang yang mengikutinya, Nabi ini (Muhammad), dan orang-orang yang beriman (kepadanya).” (QS. Ali Imran: 68)

Inilah nabi yang namanya kita sebut lebih dari sepuluh kali setiap hari sebagai taqarub kita kepada Allah. Kita mengucapkan setiap pagi dan petang dalam doa tasyahud. “Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad shalallahu ‘alayhi wa sallam. Sebagaimana Engkau telah melimpahkan shalawat kepada Ibrahim dan kepada keluarga Ibrahim. Dan berkatilah Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah memberkati Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Mahamulia.”

Wahai Akhi, sungguh layak bila kita menjadikan nabi mulia ini sebagai suri teladan. Sungguh selayaknya pula, wahai Akhi, kita curahkan cahaya hati kita untuk memahami ayat-ayat yang menjelaskan risalah beliau ini, sehingga kita bisa memahami berbagai kandungan makna yang telah dipahami secara gamblang oleh Sayidina Ibrahim alayhissalaam.

Ikhwan sekalian, setelah kita mengetahui firman dan perintah Allah subhanahu wa ta’ala ini, “Katakanlah (hai orang-orang mukmin), ‘Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Yaqub, dan anak cucunya.'” (QS. Al-Baqarah: 136)

Dan setelah kita mengetahui firman Allah subhanahu wa ta’ala, “Dan mereka berkata, ‘Hendaklah kalian menjadi penganut agama Yahudi atau Nasrani, niscaya kalian mendapat petunjuk’. Katakanlah, ‘Tidak, melainkan (kami mengikuti) agama Ibrahim yang lurus. Dan bukanlah dia (Ibrahim) dari golongan orang musyrik.'” (QS. Al-Baqarah: 135)

Setelah itu semua, maka kita berkewajiban untuk memperhatikan beberapa pandangan yang dikemukakan oleh Al-Qur’an. Ibrahim telah mendapatkan pengetahuan mengenai tanda-tanda kebesaran Allah di langit dan di bumi. Ia mengetahui bahwa benda-benda yang ada di langit dan bumi ini merupakan bukti nyata mengenai kekuatan Allah Yang Maha Mengetahui, yang telah menjalankan dan mengatur alam semesta ini. Beliau memiliki keyakinan mendalam, tanpa keraguan, kepada Tuhan Yang Mahaagung ini. Ia sangat yakin dan sangat percaya, seperti kepercayaan orang yang melihatnya secara nyata, bukan sekedar kepercayaan yang berdasarkan argumen dan dalil.

“Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami) di langit dan di bumi.” (QS. Al-An’am: 75)

“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata, ‘Wahai Tuhanku, perlihatkan kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati.’ Allah berfirman, ‘Apakah kamu belum percaya?’ Ibrahim menjawab, ‘Saya telah percaya, akan tetapi agar bertambah tetap hati saya.’ Allah berfirman, ‘(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu jinakkanlah burung-burung itu kepadamu, kemudian letakkanlah tiap-tiap seekor darinya di atas tiap-tiap bukit. Sesudah itu, panggillah dia, niscaya dia akan segera datang kepadamu.’ Dan ketahuilah bahwa Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (QS. Al-Baqarah: 260)[1]

Jadi, Sayidina Ibrahim ‘alayhissalaam memiliki keimanan yang kuat terhadap Tuhannya dan memiliki keyakinan yang kuat pula terhadap aqidahnya. Pemikiran beliau bukan pemikiran yang superfisial, aksidental, atau formalitas semata, tetapi keyakinan yang menghunjam kuat di dalam hati. Karena itulah beliau memberikan kepatuhan yang benar, dan karena itu pula dakwah beliau disebut Islam (yang secara bahasa bisa diartikan ketundukan dan kepatuhan —pen), begitu juga agama beliau disebut Islam. Beliau adalah peletak batu pertama bangunan tauhid dan imam para penganut hanifiyah (ajaran agama yang lurus, tidak dicampuri dengan kemusyrikan —pen).

“Ketika Tuhannya berfirman kepadanya, ‘Tunduk patuhlah!’ Ibrahim menjawab, ‘Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam.'” (QS. Al-Baqarah: 131)

Ikhwan yang mulia, kepatuhan ini tampak dalam dua sikap. Pertama, Ibrahim memalingkan perhatiannya dari segala sesuatu selain Allah subhanahu wa ta’ala. Kedua, beliau mempersembahkan segala sesuatu hanya untuk Allah subhanahu wa ta’ala.

Ikhwan sekalian, pengaruh dari sikap pertama tersebut terlihat ketika Ibrahim dilemparkan ke dalam api. Ketika itu beliau didatangi oleh Jibril yang berkata kepadanya, “Apakah engkau mempunyai keperluan?” Beliau menjawab, “Kalau kepadamu, tidak. Tetapi kalau kepada Allah, ya.” Jibril berkata, “Mintalah kepada-Nya, niscaya Dia mengabulkan permintaanmu itu.” Beliau menjawab, “Beritahukan keadaanku ini kepada-Nya, setelah itu Dia akan memenuhi keperluanku sebelum aku meminta.” Maka turunlah seruan dari Allah subhanahu wa ta’ala, “Wahai api, menjadi dinginlah dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim.” (QS. Al- Anbiya’: 69)

Karena beliau telah mengalihkan perhatiannya dari makhluk kepada Allah, maka ketika beliau membutuhkan pertolongan dalam menghadapi musuh, seluruh perhatian beliau dipalingkan dari selain Allah. Dengan demikian Allah menolong dan mengabaikan musuh-musuh beliau. “Mereka hendak berbuat makar terhadap Ibrahim, maka Kami menjadikan mereka orang-orang yang paling merugi.” (QS. Al-Anbiya’: 70)

Adapun pengaruh sikap kedua, Ikhwan sekalian, terlihat ketika beliau bermimpi menyembelih putranya. Sikap beliau ini tidak ada bandingannya dalam sejarah para nabi. Saya yakin bahwa ini merupakan bukti nyata mengenai kepatuhan sejati. Karena itu Allah subhanahu wa ta’ala mengabadikannya dan menjadikannya sebagai kewajiban bagi umat Muhammad shalallahu ‘alayhi wasallam untuk melakukannya, sebagaimana Dia telah mewajibkan kita untuk menyebut nama beliau setiap hari.

Seorang lelaki yang sudah lanjut usia, istrinya mandul, namun ia sangat merindukan hadirnya anak. Akhirnya, ia pun dikarunia seorang anak laki-laki yang tidak seperti umumnya anak-anak. Ia seorang anak yang penyantun, berilmu, dan cerdas. Kecerdasannya bisa dilihat dari pancaran kedua matanya. Ia tumbuh hingga mencapai usia yang ia sanggup berusaha bersama-sama ayahnya. Dalam usianya ini, ia menjadi anak yang paling menyenangkan hati, karena saat-saat ketika seorang anak sudah sanggup berusaha bersama ayahnya adalah saat seorang ayah merasa paling menyayanginya. Ia telah menjadi penyedap mata bagi ayahnya. Anak yang tumbuh sempurna inilah yang diperintahkan kepada Ibrahim ‘alayhissalaam untuk disembelih dengan tangannya sendiri. Perhatikan, betapa beratnya ujian ini. Ibrahim ‘alayhissalaam tetap melaksanakan perintah Tuhannya, ketika ia berkata, “Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah, apa pendapatmu?” (QS. Ash-Shaffat: 102)

Ismail ‘alayhissalaam menjawab dengan penuh keyakinan dan kepatuhan, “Wahai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (QS. Ash-Shaffat: 102)

Seakan-akan ia mengatakan bahwa kepatuhan ini merupakan karunia dari Allah yang diberikan kepada siapa saja di antara para hamba-Nya yang dikehendaki-Nya, bukan karena kelebihan dirinya.

Ia mengatakan, “Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”

Ia tidak mengatakan, “sebagai orang yang sabar,” tetapi mengatakan, “termasuk orang-orang yang sabar. “

“Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya di atas pelipisnya.” Ketika itu, wahai Akhi, Sayidina Ibrahim ‘alayhissalaam sukses menempuh ujian. Pengorbanan ini tidak lain adalah buah dari keyakinan yang telah saya isyaratkan di muka, dalam firman Allah, “Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan di bumi, dan (Kami memperlihatkannya) agar Ibrahim itu termasuk orang-orang yang yakin.” (QS. Al-An’am: 75)

Wahai Akhi, inilah sifat dan karakter Ibrahim ‘alayhissalaam. Allah juga masih memberikan kepadanya potensi lain, yaitu kemampuan berhujah dengan kuat. Ia tidak pernah kalah dalam perdebatan, di samping mampu berdakwah secara lembut dan menarik simpati orang lain secara bertahap.

“Dan sesungguhnya telah Kami anugerahkan kepada Ibrahim hidayah kebenaran (sebelum Musa dan Harun) dan adalah Kami mengetahui keadaannya.” (Al-Anbiya’: 51)

Inilah dakwah beliau kepada Namrudz, raja milik kaumnya. Beliau berkata kepadanya, “Tuhanku ialah Yang menghidupkan dan mematikan” (QS. Al-Baqarah: 258)

Dengan congkak Namrudz menjawab, “‘Saya dapat menghidupkan dan mematikan.'” Ibrahim berkata, ‘Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari barat.’ Lalu heran terdiamlah orang kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.'” (QS. Al-Baqarah: 258)

Lihatlah betapa gamblang dan kuatnya argumentasi ini. Adapun perdebatan beliau dengan kaumnya, terekam dalam ayat-ayat berikut:

“(Ingatlah), ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya, ‘Patung-patung apakah ini yang karian tekun beribadat kepadanya?’ Mereka menjawab, ‘Kami mendapati bapak-bapak kami menyembahnya.’ Ibrahim berkata, ‘Sesungguhnya kalian dan bapak-bapak kalian berada dalam kesesatan yang nyata.’ Mereka menjawab, ‘Apakah kamu datang kepada kami dengan sungguh-sungguh ataukah kamu termasuk orang-orang yang bermain-main?’

Ibrahim berkata, ‘Sesungguhnya Tuhan kalian ialah Tuhan langit dan bumi yang telah menciptakannya; dan aku termasuk orang-orang yang dapat memberikan bukti atas yang demikian itu. Demi Allah, sesungguhnya aku akan melakukan tipu daya terhadap berhala-berhala kalian sesudah kalian pergi meninggalkannya.’

Maka Ibrahim membuat berhala-berhala itu hancur berpotong-potong, kecuali yang terbesar dari patung-patung yang lain; agar mereka kembali (untuk bertanya) kepadanya. Mereka berkata, ‘Siapakah yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami, sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang zhalim.’

Mereka berkata, ‘Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini yang bernama Ibrahim.’ Mereka berkata, ‘(Kalau demikian) bawalah dia dengan cara yang dapat dilihat orang banyak, agar mereka menyaksikan.’ Mereka bertanya, ‘Apakah kamu yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami, hai Ibrahim?’

Ibrahim menjawab, ‘Sebenarnya patung yang besar itulah yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada berhala itu, jika mereka dapat berbicara.'” (QS. Al-Anbiya: 52-63)

Wahai Akhi, jiwa manusia pada mulanya tidaklah menolak kebenaran, tetapi selanjutnya ia dipalingkan dari kebenaran itu oleh kesombongan dirinya dan setan yang terkutuk. Setelah itu, lihatlah faktor-faktor kejahatan ketika mengalahkan dan mengubah fitrah suci manusia.

‘Kemudian mereka menjadi tertunduk (lalu berkata), ‘Sesungguhnya kamu (hai Ibrahim) telah mengetahui bahwa berhala-berhala itu tidak dapat berbicara.’ Ibrahim berkata, ‘Maka mengapakah kalian menyembah selain Allah, sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat sedikit pun dan tidak (pula) memberi mudharat kepada kalian? Ah (celakalah) kalian dan apa yang kalian sembah selain Allah. Maka apakah kalian tidak kunjung paham?'” (QS. Al-Anbiya’: 65-67)

Di sini, mereka mencoba menjaga gengsi rajanya dan diri mereka sendiri. “Mereka berkata, ‘Bakarlah dia dan bantulah tuhan-tuhan kalian, jika kalian benar-benar hendak bertindak.'” (QS. Al-Anbiya’: 68)

Akan tetapi Allah subhanahu wa ta’ala senantiasa melindungi orang-orang beriman dari tindakan orang-orang zhalim. Dia melindungi Nabi yang mulia ini. Keyakinan sempurna yang membawanya kepada kesungguhan, kematangan argumentasi, kelembutan sikap dalam dakwah, dan kesantunan perilaku terhadap orang lain ini, terlihat pada diri Sayidina Ibrahim ‘alayhissalaam.

Wahai Akhi, kita sungguh perlu meneladani dan meniti jejaknya, agar kita bisa mencapai ridha Tuhan kita dan menegakkan kalimah Allah di muka bumi ini.

Sekian ceramah yang saya sampaikan. Saya memohonkan ampunan kepada Allah untuk diri saya sendiri dan Anda semua. Semoga shalawat dan salam dilimpahkan kepada Sayidina Muhammad, segenap keluarga, dan para sahabatnya.



[1] Pengertian ayat ini ialah bahwa Allah memberi penjelasan kepada Ibrahim ‘alayhissalaam tentang cara Dia menghidupkan orang-orang yang mati. Nabi Ibrahim ‘alayhissalaam disuruh mengambil empat ekor burung lalu memelihara dan menjinakkannya hingga burung itu dapat datang seketika bilamana dipanggil. Kemudian, burung-burung yang telah pandai itu diletakkan di atas tiap-tiap bukit seekor, lalu burung-burung itu dipanggil dengan saru tepukan (seruan), niscaya burung-burung itu akan datang dengan segera walaupun tempatnya terpisah-pisah dan berjauhan. Maka demikian pula Allah menghidupkan orang-orang yang mati yang tersebar di mana-mana dengan satu kalimat cipta, “Hiduplah kamu semua!” pastilah mereka hidup kembali. Sebagian ahli tafsir mengganti kata “jinakkanlah”dalam ayat tersebut dengan kata “potong-potonglah”. Juga kata “tiap-tiap ekor” mereka ganti dengan “tiap bagian (dari burung yang telah dipotong-potong)”. Sebab, dalam ayat ini terdapat kata “Shur” yang dalam bahasa Arab dapat berarti “jinakkanlah!” maupun “Potong-potonglah!”. (Lihat Al-Quran dan Terjemahannya, Depag, —pen.)