Sesungguhnya afiliasi seseorang kepada pergerakan Islam pada hakikatnya adalah implementasi dari afiliasinya kepada Islam, awal era baru bersama Allah dan baiat untuk melaksanakan perjuagan dan jihad di jalan Allah.
Al Imam Asy Syahid secara global telah menjelaskan rukun-rukun baiat. Menurutnya,
“Rukun-rukun baiat kita ada sepuluh, maka hafalkan. Al fahm (pemahaman), al ikhlash (keikhlasan), al amal (amal), al jihad (jihad), at tadhiyah (pengorbanan), at tha’ah (ketaatan), ats tsabat (keteguhan), at tajarud (dedikasi), al ukhuwah (persaudaraan, ukhuwah), dan ats tsiqah (kepercayaan).”
Beliau telah menjelaskan pula pengertian setiap rukun tersebut.
1. Al Fahm (Pemahaman)
Hendaklah kalian yakin bahwa pemikiran kira adalah pemikiran Islam yang murni. Hendaklah kalian memahami Islam sebagaimana kami memahaminya dalam kerangka dua puluh prinsip yang sangat ringkas. Kami sebutkan sebagai berikut :
- Bahwa Islam adalah sistem yang lengkap mencakup seluruh aspek kehidupan.
- Bahwa Al Quran dan As Sunnah merupakan rujukan setiap Muslim dalam memahami hukum-hukum Islam.
- Bahwa keimanan yang benar, ibadah yang benar, disertai dengan mujahadah akan membuahkan cahaya dan kemanisan yang diberikan oleh Allah di hati siapa saja di antara hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya. Bahwa kasyaf, mimpi, ilham, dan suara hati bukanlah dalil bagi hukum-hukum syariat dan tidak bisa dijadikan sebagai bahan pertimbangan kecuali dengan persyaratan ia tidak bertentangan dengan hukum-hukum dan nash-nash agama.
- Bahwa azimat, jampi-jampi, ramalan, dan perdukunan, semua itu merupakan kemungkaran yang harus diperangi (kecuali ruqyah/jampi-jampi yang diambil dari Al Quran atau yang terdapat riwayatnya dalam hadits Nabi).
- Bahwa pendapat imam atau wakilnya dalam masalah-masalah yang tidak terdapat nashnya dan yang mengandung banyak kemungkinan pemahaman serta dalam mashahih mursalah harus dilaksanakan selama tidak berbenturan dengan kaidah syariat.
- Bahwa setiap orang bisa diambil atau ditinggalkan perkataannya kecuali al maksum (Nabi) Shalallahu ‘Alaihi Wasallam.
- Bahwa setiap Muslim yang belum sampai pada tingkatan mampu menalar sendiri dalil-dalil syariat hendaklah mengikuti pendapat dalah seorang imam.
- Setiap permasalahan yang tidak menjadi landasan tindakan maka membicarakannya termasuk takaluf yang oleh agama dilarang untuk melakukannya.
- Mengenal Allah, manuhidkan-Nya, dan memahasucikan-Nya dari segala kekurangan merupakan akidah Islam yang paling tinggi. Semua ayat sifat dan hadits shaih mengenai sifat-sifat Allah kita imani sebaimana adanya tanpa melakukan takwil dan ta’thil.
- Setiap bid’ah dalam agama Allah yang tidak ada asalnya merupakan bid’ah yang harus diperangi dengan sarana-sarana yang paling baik.
- Bahwa bid’ah idhafiyah (bersifat menambah) dan tarkiyah (bersifat meninggalkan) serta melaksanakan ibadah-ibadah mutlak secara konsisten merupakan perselisihan di bidang fiqih (bersifat ijtihadiy bukan qath’iy), masing-masing memiliki pendapat mengenainya. Tidak mengapa bila kita melakukan penelitian mengenai hakikat manakah yang benar berdasarkan dalil dan bukti.
- Mencintai, menghormati, dan memuji orang-orang saleh berdasarkan amalan-amalan baik mereka yang diketahui merupakan salah satu bentuk ibadah yang mendekatkan kepada Allah SWT.
- Bahwa ziarah kubur, sebagaimanapun bentuknya, merupakan sunah yang disyariatkan dengan tata cara yang sesuai dengan tuntutan.
- Doa yang diiringi dengan tawasul kepada Allah dengan salah satu makhluk-Nya merupakan perselisihan dalam masalah cabang mengenai tata cara berdoa, bukan termasuk dalam kategori masalah akidah.
- Tradisi yang keliru tidak bisa mengubah hakikat-hakikat istilah syara’.
- Bahwa akidah merupakan landasan beramal dan amalan hati itu lebih enting daripada amalan fisik, namun mengupayakan kesempurnaan dalam keduanya menjadi tuntutan syar’I sekalipun tingkat tuntutannya berbeda.
- Islam memberikan kebebasan kepada akal dan mendorongnya untuk melakukan pengamatan terhadap alam semesta, memberikan nilai yang tinggi kepada ilmu dan ulama, serta menerima segala sesuatu yang baik dan bermanfaat.
- Kadang-kadang penalaran syar’i dan penalaran akal salah satunya mencakup hal-hal yang tidak dicakup oleh yang lain, akan tetapi keduanya tidak akan berbeda dalam masalah yang qath’i. Maka, hakikat ilmiah yang benar tidak akan berbenturan dengan kaidah syar’i yang baku. Diantara kedua hakikat tersebut yang masih bersifat dugaan, maka harus disesuaikan dengan yang telah pasti. Apabila keduanya masih merupakan dugaan, maka penalaran syar’I lebih utama untuk diikuti kecuali bila penalaran aqli telah pasti kebenaran atau kekeliruannya.
- Jangan mengafirkan seorang Muslim yang telah mengikrarkan dua kalimat syahadat, beramal sesuai dengan konsekuensi-konsekuensinya, dan melaksanakan kewajiban-kewajiban, karena pendapat yang dikemukakannya atau karena kemaksiatan yang dilaksanakannya, kecuali bila ia mengucapkan kata-kata kufur atau melaksanakan amalan yang tidak mengandung penafsiran lain kecuali kekafiran.