Sebisa mungkin seorang Muslim hendaklah bersama-sama dengan pergerakan Islam dalam memikul beban-beban perjuangan Islam yaitu dengan cara bergabung dalam barisannya. Itu dilakukan ketika ia telah memiliki sifat-sifat yang telah disebutkan di muka dan menyadari realitas pahit yang dialami oleh umat ini, kemudian meyakini kemampuan Islam untuk membangkitkan dan menyelamatkan serta mengangkatnya ke derajat kemanusiaan, peradaban, dan moralitas yang paling tinggi, yang dibarengi dengan pelaksanaan konsekuensi dari keyakinan ini yaitu kepatuhan total kepada hukum-hukum dan prinsip-prinsip Islam dalam seluruh bidang kehidupan.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah;
1. Kualitas Bukan Kuantitas
Wajar bila pergerakan Islam berusaha untuk mengembangkan organisasi dan memperbanyak jumlah anggotanya dengan berbagai metode dan cara yang dibenarkan oleh syariat. Akan tetapi, jangan sampai masalah ini menjadikannya begitu mudah merekrut semua orang setiap kali ia berkeinginan untuk bergabung. Sebab, kualitas itu lebih penting daripada kuantitas. Kadang-kadang dakwah telah berusaha keras untuk merekrut seseorang, dan untuk itu ia telah menggunakan waktu dan usaha yang tidak sedikit dengan harapan agar orang tersebut segera mengambil tempat di barisan jamaah dan ikut memikul sebagian dari tanggung jawabnya. Akan tetapi, dakwah ini menolak bila jamaah harus menanggung anggota-anggotanya seumur hidupnya, karena hal itu menyia-nyiakan usaha dan merupakan kebodohan dalam perjuangan.
Seseoarng, bisa saja menjadi umat, tetapi bisa pula menjadi beban berat yang berbahaya dan tidak berguna. Tidak memasukkannya dalam hitungan lebih bermanfaat dan lebih baik. Di sana ada banyak pelajaran yang bisa dijadikan bahan pertimbangan.
… dan (ingatlah) Perang Hunain, yaitu di waktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlahmu, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikit pun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari ke belakang dengan bercerai berai. (At Taubah : 25)
Banyaknya jumlah tidak memiliki peranan kunci. Peran kunci hanya dimiliki oleh sejumlah kecil individu-individu yang mengenal Allah, tabah, dan bersungguh-sungguh dalam melaksanakan kebenaran. Kadang-kadang jumlah yang banyak justru menjadi sebab kekalahan, karena sebagian orang yang masuk di dalamnya dan bingung dalam hiruk-pikuk anggota-anggotanya merupakan orang-orang yang belum mengerti hakikat Islam dan tidak memiliki komitmen dalam melaksanakannya, maka kaki mereka akan goyah pada masa-masa sulit. Dengan begitu mereka akan mempengaruhi anggota-anggota lain dan dalam barisan.
Karena itu, penilaian dan pengklasifikasian dalam pergerakan merupakan salah satu indikasi sehatnya sebuah pergerakan, agar ia bisa mengetahui cadangan riil sumber daya manusianya sebelum memulai aktivitas apa pun. Ini bukan berarti pergerakan Islam akan melepaskan sebagian anggoranya, akan tetapi ia harus memberikan penyadaran dan pendidikan kepada mereka sehingga mereka kelak menjadi pendukung yang abadi. (Dari brosur internal, terbit di Kuwait)
2. Baiat dan Hukumnya
Baiat adalah janji untuk menaati. Seakan-akan pelaku baiat berjanji kepada amirnya untuk menyerahkan wewenang untuk memikirkan keadaan dirinya dan kaum Muslimin. Ia tidak menentang amir sama sekali dalam masalah itu, mematuhinya berkaitan dengan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya baik dalam keadaan suka maupun tidak suka. (Muqadimah Ibnu Khaldun)
Baiat adalah Sunnah Nabi yang diberikan oleh kaum Muslimin kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam berkali-kali semasa beliau masih hidup. Misalnya Baiat Aqabah Pertama dan Kedua serta Baiatur Ridhwan. Baiat tersebut tetap berlaku hingga wafatnya beliau, dan kaum Muslimin memberikan baiat mereka kepada para amir mereka.
Al Bukhari meriwayatkan dari Junadah bin Abi Umayah dari Ubadah bin Shamit yang berkata, “Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam mamanggil kami, lantas kami berbaiat kepada beliau. Di antara janji yang beliau ambil dari kami adalah kami berbaiat kepada beliau untuk mendengarkan dan taat baik dalam keadaan suka maupun tidak suka, baik dalam keadaan sulit maupun mudah, serta dalam keadaan pengutamaan orang lain terhadap kami serta hendaklah kami tidak menentang pemimpin di dalam suatu urusan, kecuali bila kamu melihat ada kekafiran nyata yang kamu memiliki alasan dari Allah mengenainya.” Shahih Bukhari, bab Fitnah.
Shidiq Hasan Khan pernah berkata dalam Ad-Dinul Khalish III/137, “Dalam hadits ini terdapat petunjuk bahwa meminta baiat dari para sahabat adalah Sunnah. Demikian juga membaiat mereka atas hal yang demikian merupakan Sunnah. Menunaikannya merupakan kewajiban sedangkan melanggarnya secara nyata sengaja merupakan kemaksiatan.”
Ibnu Hajar berkata dalam menafsirkan hadits di atas, “Fi mansyathina wa makrahina, maksudnya baik kami dalam keadaan mampu melaksanakannya dengan giat maupun dalam keadaan tidak mampu mengerjakan apa yang diperintahkan kepada kami itu.”
Ad-Daud berkata, “Yang dimaksudkan adalah hal-hal yang tidak kami sukai.”
Ibnu Tin berkata, “Makna yang lebih kuat indikasinya adalah bahwa yang dimaksudkan beliau adalah pada waktu malas dan berat.” (Fath Al Bari, h. 6, jilid 13)
Ibnu Jazi Al Maliki berkata, “Tidak dibolehkan memberontak kepada para penguasa sekalipun mereka berbuat zalim, kecuali bila pada mereka telah terlihat kekafiran yang nyata. Menaati mereka dalam hal yang disukai maupun yang dibenci adalah kewajiban, kecuali apabila mereka memerintahkan untuk berbuat maksiat, maka tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam kemaksiatan kepada Khaliq.” (Al Qawanin Al Fiqhiyah, 14)
Seorang pejuang Muslim yang jujur harus memanfaatkan petuah-petuah ini dan lainnya untuk berinteraksi dengan segala hal yang menjadi tanggungjawabnya dan berkaitan dengan komando dakwah. Dia juga harus lebih terhormat dari hanya sekadar mengarahkan obsesinya untuk meneliti kesalahan dan kekurangan saudaranya. Karena berbaik sangka terhadap sesama Muslim merupakan prinsip dasar yang harus diikuti, bukan gaya-gaya partai yang jauh dari nilai-nilai takwa dan agama. Setiap bid’ah adalah sesat.” (Risalah Al bai’ah wa ath-tha’ah wa ahkamiha asy-syar’iyah).
3. Ketaatan dan Hukumnya
Taat adalah melaksanakan perintah. Jika ketaatan tidak dilaksanakan, maka yang terjadi adalah kemaksiatan atau fitnah.Orang mukmin kadang-kadang tidak mengetahui awal-awal kedatangan fitnah, sehingga ia tidak menyadarinya kecuali setelah benar-benar terjadi. Karena itu, ia harus berhati-hati dalam seluruh ucapan, perbuatan, dan tindakannya sehingga tidak menjadi fitnah bagi orang-orang yang beriman.
Taat adalah kewajiban selam bukan dalam hal maksiat atau menjerumuskan kepada kemaksiatan. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (Sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (An Nisa : 59)
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
Barangsiapa menaatiku, berarti telah menaati Allah dan barangsiapa bermaksiat kepadaku, berarti telah bermaksiat kepada Allah; barangsiapa menaati amitku, berarti telah menaatiku dan barangsiapa bermaksiat kepada amirku, berarti telah bermaksiat kepadaku.
Bukhari telah meriwayatkan dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu yang berkata bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Dengar dan taatilah, sekalipun yang diangkat sebagai pemimpin kalian seorang budak berkebangsaan Habasyah.” Ia juga meriwayatkan dari Ibnu Abas Radhiyallahu ‘Anhu yang berkata bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Barangsiapa melihat sesuatu pada amirnya yang dibencinya, hendaklah ia bersabar; karena tidak ada seorangpun meninggalkan jamaah sejauh satu jengkal, kemudian mati, kecuali ia mati seperti kematian jahiliah.”
Dalam riwayat lain, “Berarti ia telah melepas ikatan Islam dari lehernya.”
Al Bukhari meriwayatkan dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘Anhu dari Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam yang bersabda, “Mendengar dan taat merupakan kewajiban seorang Muslim dalam hal yang disukai maupun yang dibencinya selama ia tidak diperintahkan untuk berbuat maksiat. Jika ia diperintahkan untuk berbuat maksiat, maka tidak ada kewajiban mendengar dan taat.”
Al Bukhari juga meriwayatkan dengan sanad yang bersambung sampai Umar bin Khattab yang berkata, “Sesungguhnya orang-orang dahulu pada masa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam disikapi berdasarkan wahyu, sedangkan turunnya wahyu telah berakhir. Kami bersikap kepada kalian hanyalah berdasarkan amalan-amalan kalian yang terlihat oleh kami. Maka barangsiapa menampakkan kebaikan kepada kami, kami akan mempercayainya dan mendekatkan kedudukannya, meskipun batinnya tidak sedikit pun yang kami ketahui, Allah-lah yang akan menghisab sarirah (batin)-nya. Sedangkan barangsiapa menampakkan keburukan kepada kami, maka kami tidak mempercayai dan tidak membenarkannya, meskipun ia mengatakan bahwa batinnya baik.” (Shahih IX/209).