Saya Harus Mengislamkan Akhlak Saya

Berakhlak mulia merupakan tujuan pokok dari risalah Islam. Sebagaimana yang ditegaskan oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam sebuah haditsnya, “Sesungguhnya aku diutus oleh Allah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Ahmad)

Demikian pula telah ditegaskan oleh Allah dalam Al Quran, Orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang makruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah lah kembali segala urusan.” (Al Hajj: 41)

Dan dalam ayat lain dikatakan, Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah Timur dan Barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan), dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (Al Baqarah: 177)

Akhlak mulia merupakan bukti dan buah keimanan. Keimanan tidak ada nilainya tanpa akhlak. Inilah makna yang diisyaratkan oleh Rasulullah dalam sabda beliau, Iman bukanlah dengan angan-angan, akan tetapi apa yang bersemayam di hati dan dibuktikan oleh perbuatan. (HR. Dailami dalam musanadnya)

Rasulullah pernah ditanya, “Apa agama itu?”

Beliau menjawab, “Akhlak yang baik.”

Kemudian beliau ditanya tentang kesialan. Beliau menjawab, “Akhlak yang buruk.” (HR. Ahmad)

Akhlak akan menjadikan timbangan amal seorang hamba menjadi berat pada hari kiamat. Barang siapa memiliki akhlak yang buruk dan amalan yang  buruk, maka nasabnya tidak akan bisa mempercepat masuk surga.

Rasulullah pernah bersabda, Tidak ada sesuatu yang lebih berat dalam timbangan amal seseorang damba pada hari kiamat dari pada akhlak yang baik. (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)

Akhlak mulia adalah buah ibadah dalam Islam. Tanpa itu, ibadah tak ubahnya upacara dan gerakan-gerakan yang tidak memiliki nilai dan faedah sama sekali. Mengenai shalat, telah ada firman Allah subhanahu wa ta’ala,

Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar . (Al Ankabut: 45)

Juga sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, Barangsiapa shalatnya tidak mencegahnya dari perbuatan keji dan mungkar, maka ia akan semakin jauh dari Allah. (HR. Thabrani)

Mengenai puasa, terdapat sabda beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, Bila datang hari berpuasanya salah seorang dari kamu, maka janganlah ia berkata-kata kotor atau berkata-kata keras dan kasar. Jika seorang mencelanya atau menyerangnya, hendaklah ia mengatakan, “Aku berpuasa.” (Mutafaq alaih)

Mengenai haji, terdapat firman Allah subhanahu wa ta’ala, “Yang (Musim) haji ada beberapa bulan yang dimaklumi. Barangsiapa menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh berkata-kata kotor, berbuat fasik, dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah akan mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku, hai orang-orang yang berakal.” (Al Baqarah: 197)

Juga sabda beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Barangsiapa berhaji, kemudian tidak berkata-kata kotor dan tidak melakukan kefasikan maka ia kembali sebagaimana pada hari dilahirkan oleh ibunya.” (Mutafaq alaih)

Kemudian di antara sifat-sifat yang seyogyanya terdapat pada seseorang agar ia berakhlak Islam adalah sebagai berikut:

1. Bersikap wara’ (hati-hati) terhadap syubhat.

Hendaklah manusia berhati-hati terhadap hal-hal yang diharamkan dan segala syubhat. Hal itu sebagai pelaksanaan dari sabda Rasul Shalallahu ‘Alaihi wa sallam, “Yang halal itu jelas, yang haram itu jelas, dan di antara keduanya terdapat perkara-perkara yang samar yang tidak diketahui oleh banyak manusia. Maka barang siapa yang memelihara dari syubhat-syubhat, berarti telah membersihkan agama dan kehormatannya. Dan barang siapa yang terjatuh dalam syubhat, berarti telah terjatuh dalam hal yang diharamkan. Seperti pengembala yang mengembala di sekeliling daerah larangan, maka ia hampir-hampir merumput di dalamnya. Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki daerah larangan, dan daerah larangan bagi Allah adalah hal-hal yang diharamkan-Nya. Ketahuilah bahwa di dalam jasad terdapat segumpal daging, apabila ia baik maka seluruh jasad menjadi baik, tetapi jika ia rusak, maka seluruh jasadnya rusak. Ketahuilah, itulah hati.” (Mutafaq alaih)

Sikap wara’ yang paling tinggi tingkatannya adalah yang disebut oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam hadits beliau, Tidaklah seorang hamba mencapai derajat orang yang bertakwa sampai ia meninggalkan apa yang tidak haram karena berhati-hati terhadap apa yang haram. (HR. Tirmidzi)

2. Menahan pandangan (ghadhul bashar)

Hendaklah ia menahan pandangannya dari segala yang diharamkan oleh Allah, karena pandangan itu menimbulkan keinginan, dan secara bertahap akan membawa pelakunya untuk melakukan dosa dan kemaksiatan. Karena itu, Al Quranul Karim memperingatkan bahaya pandangan yang berlebihan.

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman, “Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya…”

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Pandangan adalah salah satu anak panah iblis.”

Beliau juga bersabda, “Hendaklah kalian sungguh-sungguh menahan pandangan kalian dan memelihara kemaluan kalian, atau jika tidak, niscaya Allah akan menjadikan wajah kalian masam.” (HR. Thabrani)

3. Menjaga lidah

Hendaklah ia menjaga lidahnya dari berbicara yang berlebihan, kata-kata kotor, kalimat-kalimat yang kasar, pembicaraan yang sia-sia, bergunjing dan mengadu domba. Imam Nawawi berkata, “Ketahuilah bahwa seyogyanya setiap mukalaf (orang yang telah terkena beban kewajiban agama) menjaga lidahnya dari semua ucapan, kecuali ucapan yang jelas mengandung kemaslahatan. Apabila berbicara dan diam itu sama-sama mengandung kemaslahatan, maka yang disunnahkan adalah diam. Karena kadang-kadang ucapan yang mubah bisa menyeret kepada sesuatu yang haram atau makruh. Itu biasanya sering terjadi . Tidak ada sesuatu yang nilainya setara dengan keselamatan.”

Telah banyak hadits dari Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam yang menjelaskan akibat buruk yang ditimbulkan oleh lidah. Diantaranya sabda beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Bukankah manusia tidak akan ditelungkupkan wajahnya di neraka, kecuali akibat lidah mereka?” (HR Tirmidzi)

Juga sabda beliau, “Seorang mukmin bukanlah orang yang suka mencela, bukan orang yang suka mengutuk, bukan orang yang berperangai keji, dan bukan orang yang suka berbicara kasar.” (HR. Tirmidzi)

Juga sabda beliau, “Barang siapa yang banyak berbicara, maka banyak kesalahannya; barang siapa yang banyak kesalahannya, maka banyak dosanya; barang siapa yang banyak dosanya, maka neraka lebih layak baginya.” (HR. Baihaqi)

4. Malu (haya’)

Hendaklah ia menjadi seorang yang pemalu dalam segala keadaan, namun sifat pemalu ini jangan sampai menghalanginya untuk berani dalam kebenaran. Salah satu bentuk sifat pemalu adalah tidak suka turut campur dalam urusan orang lain, menahan pandangan, rendah hati, tidak meninggikan suara, menerima keadaan, dan sifat-sifat yang serupa dengan itu. Telah diriwayatkan dari Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa beliau lebih pemalu daripada gadis yang dipingit.

Beliau bersabda, “Iman itu terdiri dari tujuh puluh lebih cabang, atau enam puluh lebih cabang, yang paling utama adalah ucapan La Illaha ilallah dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan malu merupakan salah satu cabang iman.” (Mutafaq ‘alaih)

Para ulama berkomentar mengenai sifat pemalu, “Hakikat malu adalah suatu karakter yang menyebabkan seseorang meninggalkan keburukan, mencegahnya dari tindakan melalaikan kewajiban, atau melanggar hak orang lain.”

5. Pemaaf dan sabar

Salah satu sifat paling menonjol yang harus terdapat pada diri seorang Muslim adalah sifat pemaaf dan sabar. Perjuangan Islam ini penuh dengan berbagai hal yang tidak mengenakkan, jalan dakwah ini dikelilingi berbagai kesukaran. Tindakan menyakitkan, penangkapan, tuduhan, celaan, dan cemoohan, semuanya merupakan kendala-kendala yang banyak merintangi para aktivis dakwah, agar semangat mereka kendur serta gerakan dan aktivitas mereka dalam mendakwahkan agama Allah menjadi lumpuh.

Dari sini, jelaslah bahwa tugas seorang ikhwan juru dakwah adalah salah satu tugas yang paling berat. Ia berkewajiban membawa dakwah ini kepada semua orang, dengan berbagai temperamen, penalaran, dan karakter masing-masing. Ia harus membawanya kepada orang yang bodoh maupun yang pandai, orang yang rasional maupun yang emosional, orang yang fleksibel maupun yang kaku, orang yang tenang maupun yang reaktif. Selanjutnya ia harus berbicara kepada manusia sesuai dengan kadar penalaran mereka, menampung mereka secara keseluruhan, berusaha menarik simpati mereka semua. Ini saja membutuhkan kekuatan, kesabaran, ketabahan, dan sifat pemaaf yang luar biasa.

Karena itu, banyak ajaran Al Quran maupun Nabi yang mendorong untuk memiliki sifat sabar, pemaaf dan tenang.

Di antara ajaran-ajaran Al Quran adalah:

Barangsiapa bersabar dan memaafkan, sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan. (Asy Syura: 43)

…maka maafkanlah (mereka) dengan cara yang baik. (Al Hijr: 85)

…sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabar yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. (Az Zumar: 10)

…dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? (An Nur: 22)

…dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik. (Al Furqon: 63)

Di antara ajaran-ajaran Nabi:

“Sesungguhnya seorang hamba bisa meraih derajat orang yang banyak melaksanakan puasa dan qiyamulail, dengan sifat pemaaf.”

“Maukah kutunjukkan kepada kalian apa yang dijadikan oleh Allah untul meninggikan bangunan dan menaikkan derajat?”

Para sahabat menjawab, “Ya, wahai Rasulullah.”

Beliau bersabda, “Kamu memaafkan orang yang berbuat jahil terhadapmu, mengampuni orang yang menzalimimu, memberi orang yang enggan memberi kepadamu, dan menyambung hubungan dengan orang yang memutus hubungan denganmu.”

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Jika Allah telah mengumpulkan segenap makhluk, maka berserulah seorang penyeru, ‘Dimanakah orang-orang yang memiliki keutamaan?’ Beliau bersabda lagi, “Maka berdirilah sejumlah orang, jumlah mereka sedikit. Mereka bergegas menuju surga. Maka, mereka disambut oleh para malaikat. Para malaikat itu bertanya kepada mereka, ‘Apakah yang telah menjadikan kalian orang-orang yang memiliki keutamaan?’ Mereka menjawab, ‘Kami dahulu apabila dizalimi, kami bersabar dan apabila kami disakiti, kami tabah menghadapinya.’ Maka dikatakan kepada mereka, “Masuklah surga, ia merupakan sebaik-baik pahala bagi orang-orang yang beramal!

Bebarapa contoh praktis mengenai kebesaran Nabi:

1. Pada masa Perang Hunain, seseorang berkata, “Demi Allah, pembagian ini tidak adil dan tidak dimaksudkan untuk mencari ridha Allah.”

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam diberi tahu (tentang perkataan itu), maka beliau bersabda, “Semoga Allah merahmati Musa, ia telah disakiti lebih daripada hal ini, lantas bersabar.”

2. Dari Anas berkata, “Pada suatu hari Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam memasuki masjid dengan mengenakan burdah Najran yang tebal. Datanglah seorang Arab Badui dari belakang beliau, lantas menarik salah satu ujung selendang beliau sehingga membekas di leher Rasul Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Lantas ia berkata, “Wahai Muhammad, berilah kami sebagian dari harta Allah yang ada pada kamu!”

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menoleh, lantas tersenyum.

Beliau bersabda, ‘Perintahkan agar ia diberi.’

3. ”Abu Hurairah telah meriwayatkan bahwa seorang Arab Badui pernah berkata kepada Rasul: “Hai Muhammad, berilah aku muatan dua ekor unta, karena sebenarnya kamu tidak memberiku muatan dari harta milikmu, bukan pula dari harta milik ayahmu.” Orang Arab Badui itu menarik selendang beliau katika berhadapan dengan beliau, sehingga lehar beliau memerah. Maka Rasulullah memerintahkan agar orang Arab Badui itu siberi satu muatan gandum dan satu muatan kurma

4. Ath Thabrani meriwayatkan bahwa ada seorang perempuan yang sering berbicara kotor kepada para lelaki. Suatu ketika ia di hadapan Nabi, padahal saat itu beliau sedang makan tsarid (makanan yang terdiri dari roti dan daging cincang –penerj.). Maka, perempuan itu berkata, “Lihatlah dia, duduk seperti duduknya budak dan makan seperti makannya budak.”

5. Dari Abu Hurairah bahwa seseorang pernah berkata, “Ya Rasulullah, saya mempunyai beberapa kerabat yang saya selalu menjalin silaturahmi dengan mereka, tetapi mereka selalu memutus hubungan dariku; saya berbuat baik kepada mereka, namun mereka selalu berbuat buruk terhadapku; saya bersikap lapang dada terhadap mereka, tetapi mereka selalu menjahiliku.”

Maka beliau bersabda, “Jika kamu seperti apa yang baru saja kamu katakan, maka seakan-akan kamu menjadikan mereka melumuri tubuh mereka sendiri dengan abu panas dan senantiasa ada pembela dari Allah yang menyertaimu, selama kamu tetap dalam keadaan begitu.”

6. Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah bersabda kepada Umar bin Khathab ketika ia ingin memenggal leher seorang Yahudi yang datang untuk menagih utang kepada Rasul seraya berkata, “Sesungguhnya kalian, wahai Bani Abdi Manaf, benar-benar suka menunda pembayaran.”

Beliau bersabda, “Seharusnya kamu memintanya untuk menagih dengan baik, dan memintaku untuk melunasi utang dengan baik, wahai Umar!”

7. Diriwayatkan bahwa suatu ketika Isa as. berkeliling ke beberapa desa ditemani oleh para sahabatnya (kaum Hawari). Beliau senantiasa berbicara baik kepada orang-orang, tetapi mereka berbicara kasar kepada beliau, bahkan mencela dan mengecamnya. Maka, heranlah para Hawari atas sikap beliau ini. Mereka bertanya kepada beliau mengebai rahasia tindakan beliau itu. Beliau pun menjawab, “Semua orang membelanjakan apa yang menjadi miliknya.”

Peristiwa-peristiwa di atas dan masih banyak lagi, menegaskan betapa pentingnya para juru dakwah itu memiliki sifat lapang dada, sabar, dan pemaaf, khususnya apabila tindakan yang menyakitkan itu berasal dari kerabat, teman, orang-orang tercinta, sahabat-sahabat, dan saudara-saudara.

Hal itu akan menimbulkan kecintaan dan keakraban serta menghilangkan perpecahan dan perselisihan. Di samping itu bisa mewujudkan apa yang diridhai oleh Allah.

6. Jujur

 Ia harus jujur, tidak berdusta, mengatakan yang benar walaupun terhadap diri sendiri, tanpa merasa takut akan celaan orang yang mencela demi mendapat ridha Allah.

Dusta merupakan salah satu sifat paling buruk dan paling rendah. Ia juga merupakan pintu masuk bagi berbagai perangkat setan. Berhati-hati terhadap kedustaan-kedustaan kecil akan memberikan imunitas (mana’ah) pada jiwa seseorang yang bisa melindunginya dari godaan-godaan setan sehingga ia tetap jernih, bersih, dan mulia.

Dusta bisa menghancurkan jiwa dan menghinakan kepribadian seseorang. Karena itulah Islam mengharamkan dusta dan menganggapnya sebagai salah satu bencana terkutuk.

Rasul Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya, kejujuran itu membimbing kepada kebajikan, dan kebajikan itu akan membimbing menuju surga. Sungguh, (jika) seseorang itu terus-menerus berkata jujur, maka di sisi Allah ia akan ditulis sebagai shidiq (orang yang jujur). Sesungguhnya kedustaan itu dapat menyerempet kepada perbuatan dosa dan perbuatan dosa itu dapat menyeret ke neraka. Sungguh, (jika) seseorang itu terus-menerus berdusta, maka ia akan ditulis di sisi Allah sebagai kadzab (pendusta).(Mutafaq alaih)

7. Rendah hati

Ia harus bersikap rendah hati, khususnya terhadap saudara-saudaranya sesama muslim, tanpa membeda-bedakan dalam sikap tersebut antara yang kaya dan yang miskin.

Rasul Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam selalu berlindung kepada Allah dari kesombongan. Beliau juga bersabda, ‘Tidak akan masuk surga seseorang yang di hatinya terdapat kesombongan seberat biji Shalallahu ‘alaihi wa sallami.” (HR. Muslim)

Beliau meriwayatkan pula dari Tuhannya yang berfirman, Bangga diri adalah sarung-Ku, kesombongan adalah selendang-Ku; barangsiapa yang menyaingi-Ku dalam salah satu dari keduanya, niscaya Aku mengazabnya. (HR. Muslim)

8. Menjauhi prasangka, ghibah, dan mencari cela sesama muslim

Hal itu sebagai pelaksanaan firman Allah subhanahu wa ta’ala, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang. (Al Hujarat: 12)

Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata. (Al Ahzab: 58)

Juga sebagai pelaksanaan sabda Rasul Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Wahai kalian yang mengaku beriman dengan ucapannya, sedangkan keimanan belum merasuk ke dalam hatinya, janganlah kalian menggunjing orang-orang muslim dan jangan mencari-cari cela mereka. Sesungguhnya barang siapa yang mencari-cari cela saudaranya yang muslim, niscaya Allah akan membuka aibnya walaupun berada di dalam rumahnya sendiri.” (HR. Abu Daud).

9. Dermawan dan Pemurah

Hendaklah ia menjadi seorang yang dermawan dan murah hati, siap mengorbankan jiwa dan hartanya di jalan Allah. Di antara hal paling menonjol yang menampakkan kebakhilan jiwa seseorang adalah selalu bergelimang dengan harta. Betapa banyak kedudukan dan tugas yang hancur dan berguguran lantaran cacat mental seseorang dalalm berinteraksi di bidang materi. Dalam Al Quranul Karim telah disebutkan berpuluh-puluh ayat yang mengaitkan sifat iman dengan suka berinfak,

…menafkahkan sebahagian rezeki yang kami anugerahkan kepada mereka. (Al Baqarah: 3)

…dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridhaan Allah. Dan apa saja harta yang baik kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikit pun tidak akan dianiaya (dirugikan) (Al Baqarah: 272)

Hendaklah orang yang bakhil mendengarkan sabda Rasul Shalallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidak ada satu pun hari yang pada pagi harinya seorang hamba melaluinya kecuali pasti ada dua malaikat yang turun. Salah satunya mengatakan, “Ya Allah, berilah orang yang berinfaq itu penggantian!” Sedangkan yang satu lagi mengatakan, “Ya Allah, berilah orang yang bakhil itu kehancuran!” (Mutafaq alaih)

10. Menjadi teladan yang baik

Akhirnya, tetapi bukan yang paling akhir, hendaklah ia menjadi teladan yang baik di tengah-tengah masyarakat, menjadi terjemahan nyata bagi prinsip-prinsip dan adab Islam, baik dalam makan, minum, berpakaian, berbicara, mengucapkan salam, melaksanakan perjalanan jauh (safar), bermukim, serta dalam seluruh gerak dan diamnya.  (Buku-buku yang dianjurkan untuk dibaca dan direnungkan dalam tema ini adalah: Riyadhus Shalihin, Khuluqul Muslim (tulisan Muhammad Al Ghazali-editor), tulisan Al Ghazali (maksudnya Hujjatul Islam Abu Hamid Al Ghazali-editor), yaitu Ihya’ Ulumidin (pada bab khusus yang membahas tentang adab-adab Islam), dan Hayatush Shahabah.

About Redaktur

https://slotjitu.id/ https://adslotgacor.com https://adslotgacor.com/bandar-togel-online-4d-hadiah-10-juta https://linkslotjitu.com/ https://slotgacor77.id https://slotjudi4d.org/slot-gacor-gampang-menang https://slotjudi4d.org/ https://togelsgp2023.com https://s017.top https://slotjitugacor.com/