Dalam Islam, ibadah adalah puncak ketundukan dan puncak kesadaran mengenai keagungan ma’bud (Tuhan yang disembah). Ia merupakan tangga yang menghubungkan makhluk denngan Khaliq. Ia juga memiliki pengaruh-pengaruh yang mendalam dalam interaksi antar sesama hamba Allah. Dalam hal itu, seluruh rukun Islam seperi shalat, zakat, puasa, dan hajji memiliki kedudukan yang sama dengan seluruh amalan lain yang seyogyanya menusia melaksanakan untuk mencari ridha Allah dan mengikuti tuntunan syariat-Nya. Logika Islam menetapkan agar kehidupan ini seutuhnya merupakan ibadah dan ketaatan. Inilah makna firman Allah Subhanahu wa ta’ala:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka member Aku makan. Sesungguhnya Allah-lah Maha Pemberi rezeki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kukuh.” (Adz Dzariyat: 56-58)
Juga firman-Nya,
“Katakanlah, ‘Sesungguhnya shalatku, penyembelihanku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.’” (Al An’am: 163)
Untuk mengislamkan ibadahku, maka konsekuensinya adalah sebagai berikut:
- Ibadahku harus “hidup” dan “tersambung” kepada ma’bud (Tuhan yang diibadahi). Inilah derajat ihsan dalam ibadah. Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam pernah ditanya mengenai ihsan, maka beliau menjawab,
Hendaklah kamu beribadah kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, jika kamu tidak bisa (seakan-akan) melihat-Nya, maka (sadarilah bahwa) Ia melihatmu.” (Mutafaq alaih)
- Ibadahku harus khusyuk, sehingga saya bisa menghayati kehangatan komunikasi dengan Allah dan nikmatnya kekhusyukan.
Aisyah radhiallahu anha berkata, “Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam biasa menajak kami berbicara atau kami mengajak beliau berbicara; tetapi apabila waktu shalat tiba, seakan-akan beliau tidak mengenal kami dan kami pun tidak mengenal beliau.” (HR. Al-Azdi)
Inilah yang diisyaratkan Rasul Shalallahu alaihi wasallam dalam sabda beliau,
Alalngkah banyaknya orang yang berdiri melaksanakan shalat, tetapi yang diperoleh dari shalatnya hanyalah kelelahan dan kepayahan.” (HR. An-Nasai)
Juga sabda beliau, “Alangkah banyaknya orang yang berpuasa, namun yang diperoleh dari puasanya hanyalah lapar dan dahaga.” (HR An Nasai)
- Dalam beribadah, hati saya harus hadir (sepenuh hati), melepaskan pikiran dari sekelilingku, yaitu segala kesibukan dan keinginan duniawi. Inilah yang diisyaratkan Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam dengan sabda beliau,
Allah tidak akan melihat shalat yang dilakukan oleh seseorang yang hatinya tidak hadir di dalamnya bersama badannya (tidak dilakukan sepenuh hati). (Musnad Al-Firdaus, isnadnya dhaif)
Dikatakan, “Shalat ada bagian dari akhirat. Maka, jika kamu telah memasuki akhirat, kamu harus keluar dari dunia.”
Diriwayatkan pula dari Al Hasan bahwa ia pernah berkata, “Setiap shalat yang tidak dilaksanakan dengan sepenuh hati, maka ia lebih cepat sampai kepada siksaan.”
- Dalam beribadah, saya harus tamak, tidak pernah puas dan rakus, tidak pernah kenyang. Saya ber-taqarub kepada Allah dengan melaksanakan ibadah-ibadah nafilah sebagai jawaban terhadap firman Allah dalam hadits qudsi,
Barang siapa memerangi kekasih-Ku, maka Aku mengizinkan untuk memeranginya. Tidaklah hamba-Ku bertaqarub kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada sesuatu yang telah Aku wajibkan atasnya. Hamba-Ku akan senantiasa bertaqarub kepada-Ku dengan melakukan nawafil (ibadah-ibadah sunnah), sampai Aku mencintainya. Dan apabila Aku sudah mencintainya, maka Aku akan menjadi telinganya yang dipakainya untuk mendengar, menjadi matanya yang dipakai untuk melihat, menjadi tangannya yang dipakai untuk memukul, dan kakinya yang dipakai untuk berjalan. Jika ia meminta-Ku, Aku pasti mengabulkannya, jika ia meminta perlindungan kepada-Ku, Aku pasti melindunginya. Aku tidak pernah ragu-ragu terhadap sesuatu yang akan Kulakukan seperti keraguan-Ku mencabut nyawa hamba-Ku mukmin yang tidak suka kematian sedangkan Aku tidak suka menyakitinya. (HR. Bukhari)
- Saya harus memiliki keinginan yang besar untuk melaksanakan qiyamulail (shalat malam) serta melatih diri untuk melaksanakannya sampai terbiasa, karena qiyamulail merupakan salah satu “mesin keimanan” yang paling besar. Mahabenar Allah yang telah berfirman,
“Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan.” (Al-Muzamil: 6)
Allah juga telah menyifati hamba-hamba-Nya yang beriman dengan firman-Nya,
“Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah).” (Adz Dzariyat: 17-18)
“Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedangkan mereka berdoa kepada Tuhannya denga rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.” (As Sajdah: 16)
Berikut ini beberapa ibadah nafilah yang seyogyianya kontinu dilaksanakan, yaitu qiyamulail, shalat Dhuha, shalat Tarawih, puasa Senin dan Kamis, puasa Arafah bagi yang tidak melaksanakan ibadah haji, puasa Asyura, puasa enam hari di bulan Syawal, puasa ayamul bidh (pada hari-hari putih) yaitu pada tanggal 13, 14, dan 15 setiap bulan qamariah, serta iktikaf.
- Hendaklah saya menyediakan waktu untuk membaca dan merenungkan Al Quranul Karim, khususnya pada waktu fajar, karena Allah telah berfirman,
…. Sesungguhnya bacaan pada waktu fajar (Shalat Subuh –penerj.) itu disaksikan (oleh malaikat). (Al Isra’: 78)
Saya membaca Al Quran seraya bertadabur, tafakur, khusyuj, dan sedih, karena Nabi Shalallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Al Quran ini turun dengan kesedihan, maka apabila kalian membacanya, hendaklah kalian menampakkan kesedihan.” (HR. Abu Ya’la dan Abu Na’im dalam Al Hidayah)
Saya harus senantiasa mengingat firman Allah Swt.
Kalau sekiranya Kami menurunkan Al Quran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah (Al Hasyr: 21)
Juga sabda Nabi Shalallahu alaihi wasallam,
Tidaklah beriman kepada Al Quran siapa saja yang menghalalkan segala yang diharamkan.” (HR. Tirmidzi)
Disebutkan pula dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu dari Nabi Shalallahu alaihi wasallam yang bersabda,
Sesungguhnya Al Quran adalah hidangan Allah, maka terimalah hidangan-Nya semampu kalian. Sesungguhnya Al Quran ini adalah hablullah (Tali Allah), nur (cahaya) yang menerangi, dan syifa’ (penyembuh) yang bermanfaat, perlindungan bagi siapa yang berpegang teguh kepadanya, keselamatan bagi siapa yang mengikutinya, tidak menyimpang sehingga perlu dicari-cari alasan, tidak bengkok sehingga perlu diluruskan, keajaiban-keajaibannya tidak akan habis, tidak akan usang karena diulang-ulang. Bacalah ia, karena sesungguhnya Allah memberikan pahala bacaan kepada kalian untuk setiap huruf sepuluh kebaikan. Ketahuilah, aku tidak mengatakan kepada kalian bahwa alif lam mim adalah satu huruf, tetapi, alif, lam, mim (masing-masing satu huruf). (HR. Hakim)
Dalam wasiat beliau kepada Abu Dzar,
Hendaklah kamu membaca Al Quran, karena ia merupakan cahaya bagimu dan simpanan bagimu di langit. (HR. Ibnu Hiban)