Baru saja akan berkembang Agama Islam di Indonesia dari Semenanjung, Portugis telah masuk. Kaum Muslimin baru dalam tahun 1942 terusir habis dari Spanyol, hingga sampai sekarang bekas rupa-wajah orang Arab masih terdapat pada bangsa Spanyol dan Portugis. Dalam tahun kejatuhan kerajaan Islam penghabisan, Banil Ahmar di Granada itu, Christopus Columbus mengembara mencari India, tetapi bertemu dengan Amerika.
Kejayaan yang dicapai Columbus mendapat Amerika itu, menimbulkan semangat pengembaraan pada bangsa Spanyol dan Portugis, sehingga untuk membendung perselisihan, Paus terpaksa campur tangan, dunia dibagi dua, separo buat Spanyol dan separo buat Portugis.
Di awal abad ke enam belas, Portugis dapat merebut Goa, dan di tahun 1511 dapatlah direbutnya Malaka, Kerajaan Islam yang pertama itu. Dan dilanjutkannya pula ke Maluku. Sebelum itu pantai-pantai Teluk Persia pun telah jatuh ke bawah kuasanya. Syukurlah, karena di Indonesia timbul dua buah kerajaan baru, yang menggantikan Malaka, dan kelak akan memegang peranan besar di dalam membendung kekuasaan Portugis. Berdiri kembali Kerajaan Aceh, dan rajanya yang pertama ialah Sultan Ali Mogayat Syah (1514), dan di Jawa berdiri Kerajaan Demak. Rajanya yang pertama ialah Raden Patah (1520).
Portugis pun mencoba memasukkan pengaruhnya ke Jawa. Dia membuat perjanjian yang teguh dengan Raja Hindu Pajajaran, hendak mempertahankan Jawa Barat daripada kekuasaan Islam. Batu bersurat tempat melukiskan isi perjanjian persahabatan itu belum puluhan tahun berselang didapat orang di Prinsenstraat (jalan Prinsens di daerah Mangga Besar) Jakarta. Raja Hindu Pajajaran meminta bantuan Portugis mempertahankan daerahnya dari serbuan orang Islam. Tetapi sebelum maksud itu berhasil, pahlawan Falatehan (Fatahillah) telah dapat menduduki Sunda Kelapa dan kemudian ditukarnya nama menjadi Jayakarta. Falatehan mendirikan dua kerajaan kembar, yaitu Bantam dan Cirebon. Di Bantam dirajakannya puteranya Hasanuddin (1552). Cucunya Penembahan Ratu, putera Pangeran Swarga, dirajakannya di Cirebon. Dan beliaupun duduklah menjadi pemimpin agama yang terbesar dan dimuliakan, yang setelah mangkat terkenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati (1570).
Setelah perpecahan dan huru-hara di Demak, memaklumkan kemerdekaan dan berdiri sendiri. Selain dari menyiarkan Agama Islam dan membesarkan pengaruhnya di Jawa Barat, jasa baginda yang terbesar ialah menegakkan kekuasaan dan kebesaran, agar dapat membendung kekuatan Portugis, yang dikenal oleh sejarah, lebih banyak terpengaruh oleh ke hendak menyiarkan Agama Kristen dan mendapat berkat pengestu dari Paus.
Maka kelihatanlah sejarah yang gemilang dari dua buah Kerajaan Islam yang terbesar pada masa itu, satu di Bantam, dan satu lagi di Aceh. Keduanya kerajaan di tepi laut dan berdasar kekuatan perdagangan dan armada (maritim). Dengan usaha kedua kerajaan ini, sempatlah Islam bernafas dan akan mengembangkan sayapnya di seluruh tanah air kita. Selat Malaka dan Selat Sunda penuh dengan pelayaran kapal-kapal dagang. Seluruh bangsa, baik Eropa ataupun bangsa-bangsa Timur, berdagang di Aceh dan di Bantam. Kedua kerajaan itu berkirim-kiriman utusan dan surat. Ulama-ulama dan ahli sastra Islam bertindak bebas mengembangkan ajaran Islam di bawah pimpinan kerajaan.
Aceh telah melebarkan sayap kuasanya di Pesisir Barat Pulau Perca dan berkali-kali juga berusaha hendak mengusir Portugis dari Malaka. Dan suatu ketika Bantam pun melebarkan kuasanya ke Lampung. Karena negeri itu belum memeluk Islam, maka atas usaha Bantam, tersiarlah Islam di sana. Sedang di sebelah Barat, yaitu di Seleber (Bengkulu) telah masuk ke dalam wilayah Kerajaan Aceh. Di Indrapura, terletak di antara Minangkabau dengan Bengkulu duduklah seorang wakil Sultan Aceh, tetapi menjadi sultan berkuasa penuh dalam perlindungan Aceh. Sehingga bilamana datang waktunya, Sultan Indrapura itu boleh pulang ke Aceh buat naik takhta Kerajaan Aceh.
Ketika Sultan Aceh mengetahui bahwa Hasanuddin telah melebarkan Agama Islam ke Lampung, dan telah hampir sampai ke dalam tanah wilayahnya, timbullah suatu soal yang musykil, apakah akan diperangi Raja Bantam itu? Ahli-ahli negara dan Alim Ulama memberi advis kepada Sultan, bahwasanya berperang sesama Islam, dari dua kerajaan harapan, tidaklah selayaknya. Maksud buat membendung kuasa Bantam itu dapat juga dilaksanakan tanpa perang. Maka putuslah mufakat mengirimkan suatu perutusan ke Lampung, menyambut dan mengelu-elukan kedatangan Raja Bantam yang gagah perkasa itu, dan mempersilakan baginda berorak-sila buat datang ziarah ke Indrapura. Ziarah ke Indrapura sama artinya dengan datang ke Aceh sendiri. Perutusan yang datang dengan sikap perdamaian itu tidaklah dapat dielakkan oleh Hasanuddin. Baginda pun datanglah ke Indrapura, disambut dengan serba kebesaran.
Setelah menjadi tetamu beberapa hari lamanya, Sultan Indrapura menawarkan kepada baginda sudi kiranya menyambut nasib puterinya (jadi menantunya). Karena menurut silsilah sejarah kenasya’an di antara Sultan Aceh dan Sultan Bantam, adalah pertemuan jodoh (kufu), sebab sama-sama mengalir dalam dirinya keturunan ahli-ahli Agama Islam dari Pasai. Permintaan itu tidaklah dapat ditolak oleh Hasanuddin, perkawinan politik senantiasa terjadi di antara raja-raja. Suatu perayaan perkawinan yang besar terjadilah di Indrapura. Dan seketika Hasanuddin hendak pulang ke Bantam, sambil senyum Sultan Indrapura, yang telah mendapat persetujuan dari Aceh, berkata kepada menantunya. “Jika Ananda sudah berniat hendak pulang ke Bantam dan hendak membawa istri Ananda, betapalah ayahanda hendak menghalanginya. Ajarlah istrimu agama yang benar, dan layaklah hendaknya dia duduk menjadi istri dari raja yang besar.”
Dengan susunan kata mertuanya yang demikian rupa, mengertilah Sultan Bantam apa maksud yang terkandung di dalamnya. Dan sebelum baginda dapat menjawab, Sultan Indrapura meneruskan percakapannya pula: “Sekarang Ananda telah menjadi keluarga kami. Dengan sebab itu berpadulah kekuatan Islam di Sumatera dan di Jawa, sehingga kita dapat melanjutkan kewajiban suci kita, yaitu menegakkan Agama Rasul di seluruh alam negeri kita ini.”
Dalam perjalanan pulang kembali, keraplah Hasanuddin tersenyum menertawakan dirinya sendiri, karena bingung memikirkan siapakah di antara mereka yang menang! Tidaklah kecewa pengharapan kedua sultan itu. Sebab sekarang masih dapat kita lihat bekasnya, bahwasanya penduduk Bantam, Minangkabau, dan Aceh, adalah ummat Indonesia yang sangat teguh dan cinta kepada Islam agamanya.