Shalat Gerhana yang Sering Kita Lewatkan

» وَمِنْ آيَاتِهِ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ ۚ لَا تَسْجُدُوا لِلشَّمْسِ وَلَا لِلْقَمَرِ وَاسْجُدُوا لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَهُنَّ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ «

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan. Janganlah sembah matahari maupun bulan, tapi sembahlah Allah Yang menciptakannya, Jika Ialah yang kamu hendak sembah.” (QS. Fushilat: 37).

Saudaraku,
Gerhana Bulan Total (GBT) muncul pada hari ini Rabu kemaren, 08 Oktober 2014. Fase Bulan Purnama ini berlangsung pada pukul 17.51 WIB dan dapat disaksikan di beberapa wilayah di Indonesia, kecuali Banda Aceh dan berakhir pada pukul 20. 34 WIB. Demikian yang dapat kita rangkum dari informasi valid dari media.

Sudahkah kita termasuk umat Islam yang telah melaksanakan Sunnah Rasulullah s.a.w saat terjadi gerhana bulan atau gerhana matahari?. Ada sebagian orang yang sama sekali belum mengenal shalat gerhana. Ada sebagian yang lain sudah mengenalnya, tapi belum pernah melaksanakannya. Ada sebagian yang lain yang melewatkan shalat gerhana hanya karena alasan kesibukan mengurusi hewan korban dan yang senada dengan itu.

Mengingat teramat pentingnya persoalan shalat gerhana, baik bulan maupun matahari, maka dalam bulletin ini kita bahas hal-hal yang terkait dengan shalat gerhana, besar harapan kita tidak lagi melewatkan Sunnah Nabi ini apapun sebab, kesibukan, dan alasannya. Dan agar lebih terarah, maka tulisan ini bersumber dari kitab “al-mulakhas al-fiqhi”, karya syekh Shalih al-Fauzan dan sumber lainnya.

Saudaraku,
Shalat gerhana merupakan Sunnah muakkadah (Sunnah yang sangat dianjurkan dan ditekankan untuk dilakukan), sesuai dengan konsensus para ulama, berdasarkan Sunnah Rasulullah s.a.w.

Gerhana adalah salah satu dari tanda-tanda kekuasaan Allah, yang dengannya Dia mengalirkan rasa khauf (takut) ke dalam hati hamba-hamba-Nya yang beriman. “Dan Kami tidak memberi tanda-tanda itu melainkan untuk menakuti.” (QS. Al-Isra’: 59).

Gerhana di masa Nabi s.a.w hanya sekali terjadi di Madinah setelah hijrah. Ketika itu beliau keluar dengan rida’ (selendang) dengan penuh khusyu’ dalam keadaan takut kepada Allah Ta’ala. Keadaan beliau kala itu seakan-akan terjadi kiamat. Setelah memimpin shalat gerhana, beliau memberikan nasehat kepada para sahabatnya. Bahwa gerhana merupakan tanda kekuasaan-Nya. Dengan-Nya Dia mengalirkan rasa takut ke dalam hati hamba-Nya. Bisa jadi gerhana itu merupakan sebab turunnya azab kepada manusia. Maka beliau memerintahkan manusia untuk melaksanakan shalat gerhana, banyak berdo’a dan istighfar, memperbanyak sedekah dana amal-amal shalih lainnya, untuk menahan turunnya siksa.

Di zaman jahiliyah, masyarakat Quraisy beranggapan bahwa terjadinya gerhana matahari atau bulan, ada relevansinya dengan kematian atau lahirnya seseorang. Asumsi ini muncul karena saat Ibrahim putera Nabi s.a.w meninggal dunia, terjadi gerhana matahari. Sehingga mereka menghubungkan gerhana itu terjadi karena kematian Ibrahim. Itulah keyakinan jahiliyah yang dibantah dan dipatahkan oleh Nabi s.a.w dengan sabdanya, “Matahari dan bulan adalah di antara tanda yang membuktikan kebesaran Allah. Gerhana itu muncul bukan karena sebab kematian seseorang atau kelahirannya.” (Muttafaq alaih).

Masyarakat jahiliyah di Indonesia lain lagi, ketika terjadi gerhana para ibu hamil diwajibkan untuk sembunyi di kolong tempat tidur, konon hal itu dilakukan agar janin yang dikandungnya tidak dimakan sangraksasa.

Para wanita hamil pun dilarang menggunting atau menjahit selama gerhana, kalau tak ingin bayinya lahir dengan cacat tubuh. Dan banyak lagi mitos-mitos syirik yang berkembang di masyarakat.

Syekh Shalih al-Fauzan menyebutkan bahwa sebagian masyarakat Arab ketika terjadinya gerhana, mereka menghabiskannya di padang pasir atau gurun dan meninggalkan shalat gerhana. Ini sungguh perbuatan orang jahil dan tanda kurangnya iman mereka. Padahal mereka bisa saja melaksanakan shalat gerhana di sana.

Saudaraku,
Sebagian orang menyangka bahwa terjadinya gerhana hanyalah peristiwa alamiah karena perputaran matahari dan bulan saja dan tiada korelasinya dengan keimanan dan siksa-Nya.

Gerhana ini bisa menjadi tanda awal-awal datangnya musibah. siapa yang mampu membuat sinar matahari akan terus bersinar, begitu pula dengan rembulan? Siapa pula yang dapat menjamin bahwa sinar matahari yang tertutup tadi bisa kembali, begitu pula rembulan? Bukankah jika sinar keduanya itu hilang menandakan tibanya hari kiamat? Bukankah bisa jadi peristiwa ini adalah awal-awal datangnya adzab? Nas-alullaha al ‘afiyah (kita meminta kepada Allah keselamatan).

Setelah Nabi berhijrah, gerhana hanya terjadi sekali, itu baru terjadi selama 10 tahun. Coba kita bandingkan dengan alam kita sekarang, gerhana terjadi hamper setiap tahun, yaitu terjadi gerhana matahari dan bulan silih berganti. Ini semua dengan kehendak Allah demi menakut-nakuti hamba-Nya. Nas-alullaha as salaamah wal ‘afiyah (kita meminta pada Allah keselamatan).

Inilah rahasianya mengapa saat terjadi gerhana kita disunnahkan untuk melakukan shalat gerhana, banyak berdzikir, do’a, istighfar, takbir dan sedekah. Agar kita terjauhkan dari bencana dan azab-Nya.

Imam Nawawi rahimahullah dalam “syarh shahih Muslim” menjelaskan mengenai maksud kenapa Nabi s.a.w takut, khawatir fenomena gerhana menjadi pangkal terjadi hari kiamat.

Di antara alasannya, “Gerhana tersebut merupakan tanda yang muncul sebelum tanda-tanda kiamat seperti terbitnya matahari dari barat atau keluarnya Dajjal. Atau mungkin gerhana tersebut merupakan sebagian tanda kiamat.”

Saudaraku,
Ringkasnya ada beberapa hal yang disunnahkan untuk kita perbuat terkait dengan terjadinya gerhana, baik matahari maupun bulan.

• Memperbanyak dzikir, istighfar, takbir, sedekah dan amal shalih. Sebagaimana sabda Nabi s.a.w, “Oleh karena itu, bila kalian melihatnya (gerhana), maka berdo’alah kepada Allah, bertakbirlah, shalat dan bersedekahlah.” (Muttafaqun ‘alaihi).

• Tata cara shalat gerhana, Aisyah r.a menuturkan bahwa gerhana matahari pernah terjadi pada masa Rasulullah s.a.w. Lantas beliau bangkit dan mengimami manusia dan beliau memanjangkan berdiri. Kemudian beliau ruku’ dan memperpanjang ruku’nya. Kemudian beliau berdiri lagi dan memperpanjang berdiri tersebut namun lebih singkat dari berdiri yang sebelumnya. Kemudian beliau ruku’ kembali dan memperpanjang ruku’ tersebut namun lebih singkat dari ruku’ yang sebelumnya. Kemudian beliau sujud dan memperpanjang sujud tersebut. Pada raka’at berikutnya beliau mengerjakannya seperti raka’at pertama. Lantas beliau beranjak (usai mengerjakan shalat tadi), sedangkan matahari telah nampak.” (HR. Bukhari).
• Shalat gerhana disunnahkan dengan berjama’ah di masjid. Sebagaimana disebutkan dalam hadits, “Maka Rasulullah s.a.w keluar menuju masjid, kemudian beliau berdiri, selanjutnya bertakbir dan sahabat berdiri dalam shaf di belakangnya.” (Muttafaq ‘alaih).

• Disunnahkan bagi kaum perempuan keluar dari rumah untuk menunaikan shalat gerhana, sebagaimana dalam hadits Asma’ binti Abu Bakr r.a ia berkata, “Aku mendatangi ‘Aisyah istri Nabi s.a.w tatkala terjadi gerhana matahari. Aku melihat orang-orang berdiri menunaikan shalat, demikian pula ‘Aisyah, aku melihatnya shalat.” (Muttafaq ‘alaih).

• Shalat gerhana (matahari dan bulan) tanpa adzan dan iqamah, akan tetapi diseru untuk shalat pada malam dan siang dengan ucapan “ash-shalatu jami’ah” (shalat akan didirikan dengan berjama’ah), sebagaimana disebutkan dalam hadits Abdullah bin ‘Amr r.a, ia berkata, “Ketika terjadi gerhana matahari pada zaman Rasulullah s.a.w diserukan “ash-shalatu jami’ah”. (HR Bukhari).

• Khutbah setelah shalat, sebagaimana disebutkan dalam hadits ‘Aisyah r.a, “Sesungguhnya Nabi s.a.w, tatkala selesai shalat, beliau berdiri menghadap manusia lalu berkhutbah.” (HR Bukhari).

Saudaraku,
Sudahkah kita mengamalkan Sunnah Nabi s.a.w terkait dengan gerhana bulan dua hari yang lalu?.

Bagi yang sudah mengamalkannya, pujilah Allah dan bersyukurlah kepada-Nya, yang telah memudahkan kita mengukir amal shalih dan melakukan keta’atan. Pertahankan dan tingkatkan kwalitas ubudiyah dan pengabdian kita terhadap-Nya.

Bagi yang lalai dan terledor, beristighfar dan bertaubatlah kepada-Nya atas kelalaian dan kelemahan azam untuk mentaati-Nya dan meraih surga-Nya. Berjanjilah kita di hadapan-Nya untuk menta’ati dan mengabdi kepada-Nya. Wallahu a’lam bishawab.

Metro, 09 Oktober 2014
Abu Ja’far Fir’adi