Mengisi Hari Raya ‘Idul Fithri
Hari raya Idul Fithri adalah saat-saat umat Islam mensyukuri atas kesuksesan mereka melaksanakan ibadah Ramdhan. Hari berbahagia dan bersuka cita. Hari Raya Idul Fithri disebut juga hari pengampunan, sebagaimana riwayat imam Az Zuhri, ketika datang hari Idul Fithri, maka manusia keluar menuju Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan Allah kemudian mendatangi mereka seraya berkata: “Wahai hamba-Ku! Karena Aku engkau semua berpuasa, karena Aku engkau semua beribadah. Oleh karena itu, maka pulanglah kalian semua (ke rumah masing-masing) sebagai orang yang telah mendapat ampunan (dari-Ku).”
Ketika Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam tiba di Madinah, kaum Anshar memiliki dua hari istimewa, mereka bermain-main di dalamnya, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Allah telah memberi ganti bagi kalian dua hari yang jauh lebih baik, (yaitu) ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha (HR. Ahmad, Abu Daud dan An-Nasa’i dengan sanad hasan).
Hadits ini menunjukkan bahwa menampakkan rasa suka cita di hari Raya adalah sunnah dan disyari’atkan. Maka diperkenankan memperluas hari Raya tersebut secara menyeluruh kepada segenap kerabat dengan berbagai hal yang tidak diharamkan yang bisa mendatangkan kesegaran badan dan melegakan jiwa, tetapi tidak menjadikannya lupa untuk ta’at kepada Allah.
Shalat Hari Raya ‘Idul Fithri
Shalat Hari Raya Idul Fithri hukumnya sunnah muaqqadah. Sebagian ulamanya menyatakan fardhu kifayah dan sebagian yang lain menyatakan fardhu ‘ain. Pada saat hari Raya ‘Idul Fithri, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengenakan pakaian terbaiknya dan makan kurma -dengan bilangan ganjil tiga, lima atau tujuh- sebelum pergi melaksanakan Shalat ‘Id. Tetapi pada ‘Idul Adha beliau tidak makan terlebih dahulu sampai beliau pulang, setelah itu baru memakan sebagian daging binatang sembelihannya.
Beliau mengakhirkan Shalat ‘Idul Fithri agar kaum muslimin memiliki kesempatan untuk membagikan zakat Fithrahnya, dan mempercepat pelaksanaan Shalat ‘Idul Adha supaya kaum muslimin bisa segera menyembelih binatang kurbannya. Ibnu Umar sungguh dalam mengikuti sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak keluar untuk Shalat ‘Id kecuali setelah terbit matahari, dan dari rumah sampai ke tempat shalat beliau senantiasa bertakbir.
Nabi shallallahu alaihi wasallam melaksanakan Shalat ‘Id terlebih dahulu baru berkhutbah, dan beliau shalat dua raka’at. Pada rakaat pertama beliau bertakbir 7 kali berturut-turut dengan Takbiratul Ihram, dan berhenti sebentar di antara tiap takbir. Beliau tidak mengajarkan dzikir tertentu yang dibaca saat itu. Hanya saja ada riwayat dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu, ia berkata: “Dia membaca hamdalah dan memuji Allah Ta ‘ala serta membaca shalawat.”
Dan diriwayatkan bahwa Ibnu Umar mengangkat kedua tangannya pada setiap bertakbir. Sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam setelah bertakbir membaca surat Al Fatihah dan “Qaf” pada raka’at pertama serta surat “Al Qamar” di raka’at kedua.
Kadang-kadang beliau membaca surat “Al A’la” pada raka’at pertama dan “Al Ghasyiyah” pada raka’at kedua. Kemudian beliau bertakbir lalu ruku’ dilanjutkan takbir 5 kali pada raka’at kedua membaca Al Fatihah dan surat. Setelah selesai beliau menghadap ke arah jamaah, sedang mereka tetap duduk di shaf masing-masing, lalu beliau menyampaikan khutbah yang berisi wejangan, anjuran dan larangan.
Beliau selalu melalui jalan yang berbeda ketika yang terkenal sangat bersungguh-mengikuti sunnah Nabi shallallahu berangkat dan pulang (dari shalat) ‘Id.’ Beliau selalu mandi sebelum Shalat ‘Id.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa memulai setiap khutbahnya dengan hamdalah, dan bersabda: “Setiap perkara yang tidak dimulai dengan hamdalah, maka ia terputus (dari berkah). ” (HR.Ahmad dan lainnya).
Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, ia berkata: “Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menunaikan Shalat ‘Id dua raka’at tanpa disertai shalat yang lain baik sebelumnya ataupun sesudahnya. ” (HR. Al Bukhari dan Muslim dan yang lain).
Hadits ini menunjukkan bahwa Shalat ‘Id itu hanya dua raka’at, demikian pula mengisyaratkan tidak disyari’atkan shalat sunnah yang lain, baik sebelum atau sesudahnya. Allah Maha Tahu segala sesuatu, shalawat serta salam semoga selalu dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, seluruh anggota keluarga dan segenap sahabatnya.