Shalat

Kita panjatkan puji syukur ke hadirat Allah subhanahu wa ta’ala. Kita ucapkan shalawat dan salam untuk junjungan kita Nabi Muhammad, juga untuk segenap keluarga dan sahabatnya, serta siapa saja yang menyerukan dakwahnya hingga hari kiamat. Amma ba’du.

Kita memulai dengan cara yang paling baik: assalamu’alaikum warahmatullah wa barakatuh.

Ikhwan yang mulia, saya pernah berjanji bahwa suatu saat akan mengkaji tentang kedudukan shalat dalam Islam. Saya berpikir untuk membahas tema ini pada malam ini.

Shalat adalah kewajiban yang diwajibkan pada malam Isra’. Shalat adalah amal yang kita lakukan berulang-ulang setiap hari, yang apabila kita laksanakan dengan baik dan sempurna, kita pasti memperoleh keuntungan besar. Ikhwan semua, pada malam ini saya akan membahas tema shalat dari beberapa aspek, dengan sistematika yang tersusun secara wajar. Jangan mengira bahwa saya akan membahas aspek fikihnya, karena aspek ini memerlukan penjelasan, klasifikasi, dan perincian yang panjang. Bila membicarakannya dari aspek ini, tidak cukup kita membicarakannya beberapa malam, apalagi satu malam. Barangsiapa di antara Anda yang ingin memperoleh keterangan lebih luas, silakan membaca kitab-kitab yang menjelaskannya secara panjang lebar. Tetapi saya di sini, Ikhwan sekalian, hanya ingin mengingatkan tentang nilai shalat sebagai kewajiban mendasar dalam agama Allah subhanahu wa ta’ala.

Ikhwan sekalian, seringkah saya menyebut shalat dalam Islam itu sebagai manhaj yang lengkap untuk mentarbiyah umat Islam. Yang dimaksudkan bukanlah shalat sekedar sebagai kewajiban ritual yang dilaksanakan untuk melaksanakan agama Allah semata atau sekedar sebagai kewajiban bagi Anda, tanpa Anda pahami maknanya. Akan tetapi shalat adalah jati diri yang melekat di tubuh umat Islam dan ibadah yang mendidik setiap muslim dengan pendidikan yang menakjubkan, sehingga memformatnya menjadi seorang manusia sempurna. Apabila setiap orang terbentuk darinya sebagai seorang manusia sempurna, maka dari mereka itu akan terbentuk sebuah umat yang sempurna pula. Demikianlah, misi shalat adalah membentuk sebuah umat yang sempurna.

Ikhwan yang mulia. Marilah kita bertanya kepada para pakar pendidikan. Pengertian pendidikan yang sempurna menurut para pakar pendidikan adalah pendidikan yang bisa mengembangkan jasmani, akal, dan ruh. Karena manusia adalah wujud dari ketiga elemen itu, yaitu jasmani, akal, dan ruh. Pendidik yang sempurna adalah orang mampu mengembangkan akal, jasmani, dan ruh peserta didik secara bersamaan.

Para pendidik di zaman modern ini membuat kaidah-kaidah untuk mendidik jasmani yaitu pemeliharaan kesehatan; mereka juga membuat kaidah-kaidah untuk mendidik akal yaitu pengajaran serta kaidah-kaidah untuk mendidik jiwa yaitu ilmu jiwa dan falsafah moral. Mereka menyusun buku-buku besar dan berjilid-jilid dalam setiap bidang ilmu. Ikhwan yang mulia, Islam adalah agama praktis, yang telah meletakkan ilmu-ilmu ini secara praktis pula dalam satu “kapsul”. Islam memerintahkan Anda untuk meminumnya lima kali dalam sehari.

“Kapsul” ini adalah shalat. Anda meminumnya tanpa perlu mengerti komposisinya, tetapi hasilnya, akal, ruh, dan jasmani Anda menjadi sehat secara keseluruhan. Untuk melaksanakan shalat, wahai Akhi, Anda harus selalu dalam keadaan bersih: bersih pakaian, tempat shalat, dan badan. Ini merupakan intisari dari pemeliharaan kesehatan. Agar bisa melaksanakan shalat, Anda harus tidur di awal malam agar bisa bangun pagi-pagi sekali untuk melaksanakan shalat fajar. Inilah petunjuk kesehatan yang pertama kali diberikan kepada murid di sekolah. Anda  akan menjadi cekatan, karena Anda berdiri menuju pekerjaan ini di siang hari tiga kali: untuk melaksanakan shalat zhuhur, ashar, dan maghrib. Dengan demikian, peredaran darah bisa berjalan secara baik.

Shalat juga merupakan kesempatan bagi seluruh anggota badan untuk beristirahat, jadi, shalat menjadikan Anda cekatan, bersih, tidur di awal malam, dan bangun pagi. Karena itu, kakek-kakek kita yang melaksanakan shalat sebagaimana mestinya, usia mereka bisa mencapai lebih dari seratus tahun sedangkan kesehatan, kekuatan, dan ketangkasan jasmani mereka masih prima.

Setelah itu, wahai Akhi, Anda mendatangi tempat shalat, menghadap kiblat, mengkonsentrasikan pikiran untuk menghayati makna, dan menghilangkan pikiran tentang dunia. Ini mempunyai pengaruh dalam menguatkan kemauan dan menghimpun cahaya jiwa. Shalat adalah latihan paling efektif untuk memperkuat kemauan. Kemudian Anda mengucapkan, “Allahu Akbar (Allah Mahabesar)”, maka Anda membebaskan diri dari segala yang ada di sekitar Anda dan menghadap kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Anda melakukan rukuk untuk mengagungkan “Majikan” Anda. Anda mengucapkan “Subhana rabbiyal ‘adzim (Mahasuci Tuhanku Yang Mahaagung)”.

Kemudian Anda bersujud. Di sana nurani Anda bangkit, nurani manusia bangkit. Ketika nurani manusia bangkit, maka saat itulah ia mengerti barometer yang membedakan antara kebaikan dan keburukan. Kebangunan nurani ini tidak mungkin bisa dicapai hanya dengan mempelajari pendidikan moral atau membaca buku. Betapa banyak ulama yang keilmuan mereka telah mencapai tingkatan yang tinggi, tetapi nurani mereka rusak. Adapun nurani yang sehat, ia merupakan cahaya di dalam hati manusia yang dimasukkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala ke dalam dada siapa saja di antara hamba-hamba-Nya yang Dia kehendaki, sehingga hamba tersebut bisa membedakan antara kebaikan dan keburukan. Proses pembangkitan nurani ini terus berulang lima kali dalam sehari semalam.

“Sesungguhnya shalatitu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya daripada ibadah-ibadah lain).” (QS. Al-Ankabut: 45)

Adapun cara pengajaran dalam shalat, wahai Akhi, adalah mendengar ayat-ayat berikut setelah imam membaca Al-Fatihah.

“Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepada kalian dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang-orang yang buta? Hanyaorang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran. (Yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian. Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk. Dan orang-orang yang sabar karena mencari ridha Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik).” (QS. Ar-Ra’d: 19-22)

Pada rakaat kedua, Anda mendengarnya membaca, “Wahai orangorang yang beriman, janganlah kalian memasuki rumah yang bukan rumah kalian sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya.Yang demikian itu lebih baik bagi kalian, agar kalian (selalu) ingat. Jika kalian tidak menemui seorang pun di dalamnya, maka janganlah kalian masuk sebelum kalian mendapat izin. Dan jika dikatakankepada kalian, ‘Kembalilah!’, maka hendaklah kalian kembali. Itu lebih bersih bagi kalian dan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (QS. An-Nur: 27-28)

Di rakaat yang lain, wahai Akhi, Anda menerima pelajaran tentang aturan yang berlaku dalam perang.

“Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan rakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan kedua yang belum shalat, lalu shalatlah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus.” (QS. An-Nisa: 102)

Di rakaat keempat, wahai Akhi, Anda mendengar ayat yang merupakan pelajaran lengkap mengenai muamalah.

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kalian menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kalian menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhan-nya, dan janganlah ia mengurangi sedikit pun dari hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri ddak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Danpersaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antaramu.Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kalian ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi ituenggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlahkalian jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai bataswaktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah danlebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak(menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah muamalah itu) kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kalian jalankan di antara kalian, maka tak ada dosa bagi kalian, (jika) kalian tidak menulisnya. Dan persaksikanlahapabila kalian berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi salingmenyulitkan. Jika kalian lakukan (yang demikian), maka sesungguhnyahal itu adalah suatu kefasikan pada diri kalian. Dan bertaqwalah kepadaAllah; niscaya Allah mengajar kalian; dan Allah Maha Mengetahuisegala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah: 282)

Ikhwan sekalian, suatu ketika saya melaksanakan shalat tarawih dan membaca seperempat juz mulai: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi” (QS. Al-Baqarah: 219). Seusai shalat, salah seorang Ikhwan berkata, “Untuk menjelaskan seperempat juz ini diperlukan waktu beberapa malam, karena ia mengandung banyak hukum. Ia merupakan kurikulum panjang yang bisa dibaca seseorang dalam satu rakaat shalat saja.”

Andaikata kaum muslimin mengetahui tujuan-tujuan tinggi dari shalat ini, andaikata para imam mau memilihkan ayat-ayat yang akan mereka bacakan kepada para makmum di mihrab, ketika mereka bersama-sama berdiri di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala, jika mereka mampu menyinarkan cahaya Al-Qur’anul Karim kepada orang-orang yang shalat, maka ketika itu kita melihat bahwa shalat bisa menjadi ibarat “kapsul” yang bermanfaat serta bisa mendidik dan membentuk umat Islam. Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam telah berhasil meluluskan orang-orang yang menjadi pemimpin-pemimpin dunia melalui madrasah ini, madrasah shalat, dengan metode ini. Tokoh-tokoh itu, wahai Akhi, tidak lulus dari sekolah mana pun selain dari masjid yang berlantaikan kerikil dan beratapkan pelepah kurma.

Wahai Akhi, adapun manfaat ukhrawi dari shalat, aspek targhib di dalamnya, dan bagaimana Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam dengan lembut mengungkapkan keindahan yang terkandung dalam shalat ini kepada para sahabatnya, maka ada sebuah hadits shahih ketika Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam dalam perjalanan. Beliau mendapati sebuah ranting kering. Beliau menggenggam ujung ranting itu lantas menarik tangannya ke bawah sehingga daun-daunnya berguguran. Ranting itu bersih tanpa daun. Lalu beliau bersabda, “Kamu semua telah melihat apa yang baru saja kulakukan.” Mereka menjawab,“Benar, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Itulah pemisalan shalat lima waktu. Ia menggugurkan dosa-dosa.”

Diriwayatkan pula bahwa beliau shalallahu ‘alayhi wa sallam bersabda, “Bagaimanakah pendapatmu jika ada sebuah sungai di depan pintu salah seorang dari kamu, di mana ia mandi lima kali sehari, apakah ada kotoran yang masih tersisa di badannya?” Mereka menjawab, ‘Tidak, wahai Rasulullah. Beliau bersabda, “Itulah perumpamaan shalat lima waktu. Dengannya Allah menghapuskan dosa-dosa.”

Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam juga bersabda, ‘Kunci surga adalah shalat. Dan kunci shalat adalah kesucian.”

Beliau shalallahu ‘alayhi wa sallam juga bersabda, “Jika seorang hamba berwudhu dengan baik, maka kesalahan-kesalahannya keluar dari badannya, bahkan juga keluar dari bawah jari-jarinya.”

Perumpamaan ini merupakan simbolisasi makna yang dikehendaki oleh Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam, yaitu bahwa shalat tidak menyisakan dosa-dosa sedikit pun.

Wahai Ikhwan yang terhormat, pada kenyataannya, jika manusia melaksanakan shalat dengan benar, maka seluruh kesalahannya dibersihkan. Adapun dosa-dosa kecil, maka akan dibersihkan langsung, karena ia merupakan hak Allah subhanahu wa ta’ala. Adapun dosa yang tidak bisa dihapuskan kecuali dengan taubat, maka shalat yang benar ini akan memunculkan rasa penyesalan pada diri pelakunya, sehingga ia segera bertaubat. Adapun yang berkaitan dengan hak manusia, yaitu hak yang tidak bisa digugurkan kecuali dengan meminta maaf atau mengembalikan hak, maka jika shalat yang dilakukan benar, niscaya pelakunya bersegera meminta maaf. Allah subhanahu wa ta’ala akan memperlakukan manusia berdasarkan ketulusan hatinya.

Banyak akh mengadu bahwa hati mereka terpecah dan tidak bisa berkonsentrasi mengingat Allah subhanahu wa ta’ala dalam shalat. Satu kaidah penting yang perlu diperhatikan sebagai terapi yang bisa menyembuhkan atau minimal meringankan hal ini, yaitu hendaklah Anda, wahai Akhi, memahami hikmah setiap amal yang dilaksanakan di dalam shalat. Perhatikan ini, tetapi jangan berlebihan dalam memperhatikannya.

Ketika menghadap kiblat, berusahalah agar sebelum bertakbir bisa mengarahkan cahaya yang keluar dari hati Anda sampai ke Ka’bah. Bayangkanlah bahwa Allah subhanahu wa ta’ala memandang dan mengawasi Anda. Jika Anda bisa mengkonsentrasikan pikiran ketika itu, Anda akan mampu memegang kendalinya sehingga tidak akan berbelok setelahnya.

Ketika Anda membaca Al-Fatihah, ingatlah, sebuah hadits qudsi yang menyatakan,

“Shalat itu dibagi antara Aku dan hamba-Ku. Jika hamba-Ku mengucapkan, ‘Bismillahirrahmanirrahim (Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang),’ maka Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, ‘Hamba-Ku telah menyebut-Ku.’

Jika ia mengucapkan. ‘Alhamdulillahirabbil ‘alamin (Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam),’ maka Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah memuji-Ku.’

Jika hamba tersebut mengucapkan, ‘Arrahmanirrahim (Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang),’ maka Allah berfirman, Hamba-Ku telah mengagungkan-Ku.’

Jika ia mengucapkan, ‘Malikiyaumiddin (Yang Merajai Hari Pembalasan),’ maka Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah memuliakan-Ku.

‘Jika ia berkata, ‘Iyyaka na’budu (hanya kepada-Mu kami beribadah),’ maka Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, Hamba-Ku telah beribadah kepada-Ku.’

Apabila ia mengucapkan, ‘Wa iyyaka nasta’in (Dan hanya kepada-Mu Kami memohon pertolongan),’ maka Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, Hamba-Ku bertawakal kepada-Ku.’Dan dalam riwayat lain, ‘Jika ia berkata, ‘Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in(Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami memohonpertolongan)’ maka Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, ‘Ini adalah bagian untuk-Ku dan untuk hamba-Ku.

Dan jika ia mengucapkan, ‘Ihdinash shirathal mustaqim (Tunjukkanlah kami ke jalan yang lurus),’ maka Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, Ini adalah untuk hamba-Ku dan hamba-Ku akan mendapatkan apa yang dimintanya.”‘

Bayangkanlah hakikat yang mulia ini, wahai Akhi, ketika Anda membaca Al-Fatihah. Bayangkanlah di hadapan Anda ada megaphone yang mengeluarkan gema dan suara berkali-kali di lingkungan “Al- Malaul A’la”. Setelah itu Anda mulai bermunajat kepada “Majikan” Anda dengan membaca ayat-ayat kitab Allah subhanahu wa ta’ala yang dapat Anda baca dengan mudah. Berusahalah memahami makna sesuai dengan kadar kemampuan Anda, tanpa memaksa-maksakan diri.

“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” (QS. Al-Qamar: 17)

Jika Anda telah ruku’, bayangkan seakan-akan Anda tunduk memberikan penghormatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Berbicaralah kepada-Nya dengan ucapan, “Subhana rabbiyal ‘azhim (Mahasuci Tuhanku Yang Mahaagung)” dan dengan ucapan, “Allahumma laka raka’tu wa laka aslamtu wa bika amantu, khasya’a laka sam’i wa bashari wa mukhi wa ‘ayhmi wa ‘ashabi (Ya Allah, kepada-Mu aku patuh, kepada-Mu aku berserah diri, kepada-Mu aku beriman, serta kepada-Mu pendengaran, penglihatan, pikiran, tulang, dan urat sarafku tertunduk khusyu’).”

Kemudian Anda mengangkat kepala sampai seluruh anggota badan kembali ke ruas-ruas semula. Kemudian Anda mengucapkan, “Sami ‘allahu liman hamidah, rabbana wa lakal hamdu mil’as samawati wa mil’al ardhi wa mil’a ma syi’ta min syaiin ba’du, ahlats tsana’i wal majdi. Ahaqqu ma qalal ‘abdu wa kulluna laka ‘abd. Allahumma la mani’a lima a’thaita wa la mu’thiya lima mana’ta wa la radda lima qadhaita walayanfa’u dzaljaddi minkaljaddu (Allah mendengar siapa yang memuji-Nya, ya Tuhanku, untuk-Mu-lah segala puji, seisi langit, seisi bumi, dan seisi apa-apa yang Engkau kehendaki setelah itu, Engkau yang berhak dipuji dan diagungkan. Sebenar-benar perkataan yang diucapkan oleh seorang hamba yaitu masing-masing dari kami adalah hamba-Mu. Ya Allah, tidak ada yang bisa menghalangi apa yang telah Engkau berikan, tidak ada yang bisa memberikan apa yang telah Engkau halangi, tidak ada yang bisa menolak apa yang telah Engkau tetapkan, dan orang yang mulia, tidak bermanfaat kemuliaannya itu untuk menghalangi (ketetapan)-Mu.)”

Setelah itu Anda bersujud, tersungkur menghormat kepada Allah. Itulah saat Anda paling dekat kepada Allah, Nabi bersabda, “Seorang hamba dalam keadaan paling dekat kepada Tuhannya adalah ketika ia bersujud.”

Di sini Anda bermunajat kepada Tuhan Yang Mahatinggi, “Allahumma laka sajadtu wa bika amantu wa laka aslamtu, sajada wajhiya lillah khalaqahu wa shawwarahu wa syaqqa sam’ahu wa basharahu wa tabarakallahu ahsanul khaliqin (Ya Allah, kepada-Mu aku bersujud, beriman, dan tunduk patuh. Wajahku bersujud kepada Allah Yang telah menciptakan dan membentuknya, serta Yang telah membukakan pendengaran dan penglihatannya, dan Mahasuci Allah sebaik-baik Pencipta).”

Kemudian Anda mengangkat kepala dari sujud, sehingga anggota badan tegak dengan mantap. Anda mengucapkan, “Allahummaghfirli warhamni wajburni wahdini wa ‘afini war yuqni (Ya Allah, ampunilah aku, limpahkan kasih sayang kepadaku, cukupilah aku, tunjukilah aku, serta karuniakanlah kesehatan dan rezeki kepadaku).”

Di rakaat akhir, wahai Akhi, Anda menutup shalat dengan tasyahud.Tasyahud ini diawali dengan pengakuan bahwa segala penghormatanitu milik Allah, pengakuan kepada keesaan-Nya subhanahu wa ta’ala, dan kepada kerasulan Sayidina Muhammad shalallahu ‘alayhi wa sallam.Maka keadaan Anda seakan-akan sebagai orang yang melakukan perjalanan spiritual, di saat Anda meninggalkan dunia dan mencampakkannya sama sekali ke belakang punggung. Anda pergi menjumpai Tuhan seraya berkata, “Sesungguhnya aku pergi menghadap Tuhanku,dan Dia akan memberikan petunjuk kepadaku.” Karena Anda telah pergi meninggalkan manusia, kemudian akan kembali kepada mereka, maka Anda mengucapkan salam: assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wabarakatuh.

Jika Anda memperhatikan hakikat ini, wahai Akhi, ketika mengerjakan shalat, maka Anda bisa mengkonsentrasikan pikiran, menjernihkan jiwa dan ruhani, serta merasakan kenikmatan shalat yang tidak pernah dirasakan oleh orang lain yang melalaikannya. Semoga Allah memberikan taufiq kepada kita semua, wahai Ikhwan tercinta, untuk melaksanakan kebaikan dan semoga Dia menunjukkan kita kepada jalan yang lurus. Semoga Allah melimpahkan shalawat kepada Sayidina Muhammad, juga kepada segenap keluarga dan sahabatnya.