Sistematika Penulisan Risalah ‘Keterasingan Islam’

Sebelum memaparkan metode penulisan risalah ini, akan lebih bermanfaat bila saya terlebih dahulu mengemukakan tahapan tahapan dalam mempersiapkan risalah ini.

Ketika ide menulis topik ini muncul, saya berpikir bahwa masalah ini tidak terikat dengan kata kata ‘al ghurbah’ sebagaimana anggapan banyak orang. Namun, temanya mencakup banyak buku buku hadits yang telah tersebar luas.

Karena itu, saya merasa tidak puas jika hanya bersandar pada buku indeks hadits hadits atau daftar isi buku buku hadits, namun saya bertekad untuk membaca berbagai kitab hadits yang ada dengan seksama dan teliti, hingga saya merasa betul betul yakin bahwa tidak ada masalah penting yang terlewatkan. Karena saya juga termotivasi oleh arti pentingnya menelaah dan melakukan kajian pustaka terhadap kitab kitab hadits.

Saya pun membuat jadwal untuk merealisasikan rencana tersebut. Dimulai dengan mengkaji Kitab Ash Shahihain (Bukhari dan Muslim), kemudian As Sunan Al Arba’ah(Abu Dawud, An Nasa’i, At Tirmidzi, dan Ibnu Majah), Ad Darimi dan Al Muwaththa’. Selanjutnya, apa yang telah dibukukan dari Shahih Ibnu Khuzaimah, lalu Shahih ibnu Hibban yang berjudul Al Ihsan milik Ala’uddin Al Farisi (yang dicetak darinya), lalu Al Mustadrak karangan Al Hakim, Sunan Al Baihaqi, dan Kitab Musykilul Atsar karangan Ath Thahawi (yang dicetak darinya).

Kemudian kitab-kitab Az Zawa’id, yakni Mawariduz Zham’an ila Zawa’idi Ibnu Hibban (dan kitab ini juga berfungsi sebagai pelengkap bab dan kitab kitab yang belum dicetak dari kitab shahih).[1] Kitab Kasyful Astar’an Zawa’idi Al Bazzar, Majma’uz Zawa’id  yang bisa dimanfaatkan sebagai penisbatan kepada Musnad Imam Ahmad Bin Hambal, juga ath Thabrani di dalam tiga kitab Mu’jam (Al Kabir, Ash Shaghir, dan Al Ausath) karangannya, dan Abu Ya’la (beserta Zawa’idu Al Bazzar).

Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama, bahwa semua kitab kitab Az Zawa’idtersebut adalah karangan Al Hafizh Nuruddin Al Haitsami yang sudah tersusun secara tematik untuk mempermudah para peneliti dalam menemukan masalah yang ia inginkan. Meskipun demikian, masih tetap diperlukan merujuk kitab kitab asli yang telah dicetak atau manuskrip (jika bisa), juga untuk menisbatkan dan mentakhrij hadits hadits darinya. Demikianlah metode penelitian yang saya tempuh.

Setelah itu, baru saya membaca kitab kitab dari berbagai disiplin ilmu dan pokok pembahasan tertentu, seperti:

  1. Di bidang akidah: Kitab At Tauhid karangan Imam Al Hafizh Ibnu Mandah (dua risalah induk) dan Kitab Syarhu Ushulil I’tiqad, karangan Imam Al Lalika’i (yang dicetak darinya).
  2. Di bidang zuhud : Kitab Az Zuhd karangan Waki’, Az Zuhd karangan Hinad Bin As Sirri, Az Zuhd karangan Imam Ahmad, Az Zuhd karangan Ibnu Abu Ashim,  Az Zuhd karangan Abdullah Bin Mubarak, dan kitab Az Zuhd Al Kabir karangan Al Baihaqi.
  3. Beberapa kitab di berbagai disiplin ilmu : kitab Fadha’ilush Shahabah karangan Imam Ahmad, Al ‘Uzlah karangan Al Khaththabi, Shifatul Ghuraba karangan Al Ajurri, dan yang lainnya.

Saya perlu waktu lama untuk membaca serta menelaah kitab kitab tersebut. Di sela membacanya, saya salin teks teks yang berkaitan dengan topik pembahasan, sehingga terkumpullah teks tulisan yang berhubungan dengan pokok bahasan ini.

Mengenai metode saya dalam melakukan pembahasan ini, secara singkat saya sebutkan sebagai berikut:

(1).  Mengumpulkan teks teks hadits penting yang berkaitan dengan pokok bahasan, mengelompokkannya berdasarkan unsur unsur dan paragraf pokok pembahasan, kemudian mengkaji hadits hadits tersebut dengan menggabungkan ayat ayat Al Qur’an yang berkaitan dengan pembahasan ini, dengan tetap bersandar pada pendapat dan perkataan para ulama terdahulu yang saya temukan disela sela menelaah.

Namun bila tidak ada, maka saya akan berusaha untuk berijtihad dengan tidak keluar dari koridor dan isyarat teks. Sebagaimana yang telah kita ketahui, terkadang antara perkataan dan pendapat para ulama terjadi perbedaan, dan disinilah posisi seorang peneliti; yaitu menyaring semua pendapat ulama tersebut untuk kemudian memilih salah satu pendapat yang lebih dekat pada kebenaran dengan berlandaskan dalil dalil syar’i.

(2).  Saya juga sertakan beberapa  ringkasan dan poin poin penting. Sebab, hal inilah yang diinginkan dalam setiap pembahasan, disamping kita semua juga lebih memfokuskan perhatian padanya terlebih lagi para pelajar dan peneliti. Oleh karena itu, terkadang penjelasan saya agak luas, kemudian saya kaitkan dengan realitas yang ada dengan harapan semua teori yang kita kaji dapat dilaksanakan dalam bentuk kerjaan konkrit.

(3).  Saya mentakhrij hadits hadits yang ada dari sumber sumber aslinya, atau yang mewakilinya jika tidak didapati di sumber aslinya atau karena kesulitan. Takhrij ini saya lakukan sebagai berikut:

  1. Kalau haditsnya terdapat di dalam kitab Ash Shahihain atau salah satunya, maka saya cukup menisbatkannya kepada kedua kitab tersebut dan kepada sumber sumber lain yang mana hadits ini terdapat di dalamnya, tanpa mengkaji lagi mengenai thariq (jalan) atau rijal (perawi), karena yang dimaksud adalah keshahihan dan ketetapan hadits tersebut. Hal ini dapat diperoleh dengan mendapatkannya di  dalam kitab Shahih Al Bukhari atau Shahih Muslim atau di dalam keduanya, karena kedua kitab ini sudah cukup dijadikan sebagai dasar akurat.
  2. Kalau haditsnya tidak didapatkan di dalam kitab Ash Shahihain atau salah satunya, maka saya akan mempelajari sanadnya, dan mengkaji matannya lalu baru saya putuskan. Dengan tetap memperhatikan penyelewengan atau cacat yang mungkin terjadi. Kalau haditsnya ternyata dha’if maka saya akan mempelajari sanad yang lain. Beginilah seterusnya hingga hadits itu dapat dijadikan sebagai landasan (shahih atau hasan). Baru kemudian saya sertakan hasil studi dan bukti yang menguatkan ketetapan hadits tersebut, dan terkadang hal itu tidak saya lakukan.
  3. Ketika melakukan studi terhadap rijal (periwayat hadits/rawi) saya hanya menyebutkannya secara singkat. Biasanya, saya hanya menghukumi rijal ditinjau dari yang paling diunggulkan setelah membaca perkataan perkataan para Imam terdahulu serta membandingkannya dengan hasil kesimpulan yang diperoleh oleh kedua imam hafizh yang agung, yaitu Al Hafizh Adz Dzahabi dan Al Hafizh Ibnu Hajar –semoga Allah merahmati keduanya  kecuali jika ada perawinya yang diperselisihkan oleh para ulama yang dapat mengakibatkan pembaca ragu atas pilihan saya, saat itu barulah saya sebutkan pendapat para ulama agar pembaca dapat menimbang mana yang diterima atau sebaliknya.
  4. Saya berupaya keras untuk senantiasa menyebutkan perkataan para imam dalam menentukan kategori hadits; shahih atau dhaif. Seperti Imam At Tirmidzi, Al Hakim, Adz Dzahabi, Al Iraqi, Al Haitsami, Ibnu Hajar, Ibnu Taimiyah, As Suyuthi, dan yang lainnya.

Semua ini saya tempuh karena menyadari keterbatasan saya sebagai seorang peneliti yang masih dalam taraf belajar. Sehingga akan mengalami kesulitan menilai sebuah hadits secara independen, baik karena keterbatasan pengetahuan yang saya miliki maupun ketidaktahuan saya akan hukum yang sudah ditetapkan oleh para imam terdahulu.

Maka, saya pun mempelajari karya para ulama yang telah memfokuskan diri dan berkonsentrasi penuh pada bidang ini, mereka betul betul memahami seluk beluk permasalahan yang berkaitan dengan sanad dan matan hadits. Hal tersebut menjadikan mereka pantas menetapkan mana hadits yang shahih, dha’if, dan mana yang terjaga atau terselewengkan.

Terkadang saya sebutkan koreksi atas sebagian pendapat, terutama pendapat Al Hakim dan Al Haitsami. Karena keduanya dikenal sebagai orang yang begitu mudah menshahihkan hadits. Biasanya orang yang tidak sepakat dengan pendapat seoorang imam itu karena ia memihak pendapat imam yang lain yang dianggapnya lebih mendekati kebenaran.


[1] Kemudian terbitlah cetakan lengkap dengan daftar isinya, tetapi banyak sekali penyimpangannya.