Sultan Bayazid Menghadapi Timurlenk

Sultan Bayazid mewarisi sifat-sifat keperwiraan dari ayahnya dan kakeknya. Beliau juga mewarisi spirit besar dalam jihad di sabilillah. Tak jarang, spirit jihad yang menggebu itu membuat Sultan Bayazid kurang perhatian terhadap kondisi internal pemerintahannya dan ancaman eksternal yang sangat mungkin muncul. Saat beliau sedang intensif melakukan serangan ke Konstantinopel, muncul ancaman tak terduga dari sesama kerajaan Muslim, yaitu serangan Timurlenk.

Timurlenk lahir dari keluarga terhormat di wilayah Turkistan. Timurlenk adalah keturunan Mongol dan didukung oleh banyak kaum Mongol yang kemudian masuk Islam setelah penaklukkan Baghdad. Pada tahun 1369 M, dia berkuasa di Khurasan dengan pusat kekuasaan di Samarkand. Dengan kekuatan yang bengis dan menakutkan, dia mampu menguasai sebagian besar wilayah negeri-negeri muslim. Kekuasaannya meluas di Asia, dari New Delhi sampai Damaskus; dari Laut Aral hingga Teluk Arab. Dia juga menduduki Persia, Armenia, dataran tinggi sekitar sungai Eufrat-Tigris, dan wilayah-wilayah antara laut Qazwin sampai Laut Hitam.

Di Rusia, Timurlenk mampu menguasai wilayah-wilayah yang terbentang dari sungai Fulja, Dune, dan Daniber. Bahkan dia berambisi ingin menguasai seluruh bumi yang berpenghuni manusia, semua itu tunduk di bawah kekuasaannya. Dia selalu mengulang-ulang semboyannya, “Sesungguhnya wajib ada satu penguasa di atas muka bumi ini, karena di langit juga ada satu Tuhan”[1]

Secara pribadi, Timurlenk memiliki karakteristik sangat pemberani, ahli strategi perang, dan ahli politik. Sebelum memutuskan sesuatu, dia selalu mengumpulkan data-data dan menyebarkan sejumlah mata-mata. Dia baru akan mengeluarkan perintah setelah mengamati keadaan dengan penuh saksama dan hati-hati. Tindakan yang dia ambil tidak berdasarkan pada ketergesaan. Dia terkenal dengan seorang pemimpin yang berwibawa, sehingga bala tentaranya selalu mematuhi perintahnya, apapun perintah yang dia keluarkan. Sebagai seorang muslim, Timurlenk menaruh perhatian besar kepada para ulama dan tokoh-tokoh shufi, khususnya dari kalangan tarekat Naqsyabandiyah.[2]

Ada beberapa sebab yang menimbulkan pertempuran antara Timurlenk dan Bayazid I, yaitu antara lain sebagai berikut:

  1. Para pemimpin-pemimpin wilayah di Irak yang negerinya tunduk di bawah kekuasaan  Timurlenk, mereka meminta perlindungan kepada Bayazid. Sebaliknya, para penguasa wilayah di Asia Kecil meminta perlindungan kepada Timurlenk. Kedua pihak yang meminta perlindungan itu akhirnya membenturkan kekuatan Bayazid dan Timurlenk.
  2. Negara-negara Nasrani Eropa memprovokasi Timurlenk agar menyerang, menumpas, dan mengalahkan pemerintahan Bayazid.
  3. Adanya surat-surat yang membakar dari kedua belah pihak. Dalam salah satu surat yang dikirim Timurlenk kepada Bayazid, dia menyatakan penghinaan sangat pedas kepada Bayazid, tatkala dia mempertanyakan ketidakjelasan asal-usul garis keturunan Bayazid. Dia menawarkan pengampunan kepada Bayazid, karena dia telah mengklaim bahwa Bani Utsmani telah banyak membaktikan diri untuk kepentingan Islam. Dia mengakhiri suratnya dengan mengecilkan posisi Bayazid. Di sisi lain, Bayazid terang-terangan mengatakan, bahwa dia siap melawan Timurlenk yang berambisi merampas kesultanannya.[3]
  4. Kedua pemimpin ini, Timurlenk dan Bayazid, sama-sama berusaha untuk meluaskan wilayah kekuasaannya.

Konflik politik antara Kesultanan Utsmani dan kekuatan Timurlenk ini merupakan kenyataan sejarah yang sangat menarik. Mereka merupakan sama-sama penguasa wilayah muslim; namun Kesultanan Utsmani memiliki nilai lebih dari sisi komitmen mereka kepada sistem Daulah Islamiyah (Negara Islam). Timurlenk memang pemimpin muslim, namun masih terpengaruh hukum-hukum leluhurnya, kaum Mongol. Kenyataannya, saat itu baik Bayazid maupun Timurlenk sedang menghadapi pergolakan-pergolakan politik eksternal.

Idealnya, antar sesama penguasa muslim bisa saling sinergi untuk menghadapi musuh bersama. Tetapi itulah kenyataan sejarah. Para penguasa memiliki cara pandang sendiri di hadapan kepentingan-kepentingan politik negaranya. Ibarat persaingan antar perusahaan bisnis; meskipun sama-sama perusahaan milik muslim, tetapi ada persaingan antar mereka. Kadang persaingan itu lebih besar daripada persaingan dengan perusahaan-perusahaan non muslim.


[1] Ushul Al Tarikh Al-Utsmani, hlm.56

[2] Ibid, hlm.56

[3] Ibid: 51