Surat Makkiyah, 7 (tujuh) ayat
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّينَ
- Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
- Segala puji bagi Allah,Tuhan semesta alam.
- Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
- Yang menguasai di hari Pembalasan.
- Hanya Engkaulah yang Kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta pertolongan.
- Tunjukilah Kami jalan yang lurus,
- (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
Seorang Muslim mengulang-ulang surat pendek yang memiliki tujuh ayat ini minimal tujuh belas kali sehari semalam, dan lebih banyak lagi apabila ia melakukan shalat-shalat sunah. Bahkan tidak terbatas banyaknya bila ia selalu berdiri di hadapan Tuhannya dengan melakukan ibadah-ibadah nafilah, selain yang fardhu maupun yang sunah.
Shalat tidak akan tegak tanpa surat ini. Disebutkan di dalam Ash Shahihain dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari hadits ‘Ubadah bin Shamit bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
‘Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca surat Al Fatihah.”[1]
Di dalam surat ini terkandung pokok-pokok aqidah Islam, dasar-dasar tashawwur (persepsi) Islami dan prinsip-prinsip syi’ar (ibadah) dan haluan, yang mengisyaratkan sebagian hikmah mengapa surat ini harus diulang-ulang pada setiap raka’at, dan hikmah batalnya semua shalat yang di dalamnya tidak dibacakan surat ini.
***
Surat ini dimulai dengan:
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Sekalipun ada perbedaan pendapat seputar basmalah, apakah ia termasuk ayat pada setiap surat ataukah ia merupakan satu ayat dari Al Qur’an yang dibaca sebagai pembukaan setiap surat, namun pendapat lebih kuat menegaskan bahwa ia termasuk surat Al Fatihah sehingga dengan demikian ayat surat Al Fatihah sebanyak tujuh ayat. Ada pendapat yang mengatakan bahwa maksud dari firman Allah:
وَلَقَدْ آتَيْنَاكَ سَبْعًا مِنَ الْمَثَانِي وَالْقُرْآنَ الْعَظِيمَ
“Dan Sesungguhnya Kami telah berikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang dan Al Quran yang agung.” (Al Hijr[15]:87)
Adalah surat Al Fatihah, karena ia memiliki tujuh ayat yang “diulang-ulang” di dalam shalat.
Memulai sesuatu dengan menyebut nama Allah adalah adab yang diwahyukan kepada nabi-Nya – shallallahu ‘alaihi wa sallam- dalam ayat yang pertama kali diturunkan, sebagaimana disepakati para ulama, yaitu firmannya:
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ
Hal ini sejalan dengan kaidah tashawwur Islami yang agung, yaitu bahwa Allah adalah Al Awwal, Al Akhir, Azh Zhahir, dan Al Batin. Dia Mahaada lagi Mahabenar. Segala yang ada mengambil wujud (keberadaan) dirinya dari wujud-Nya, dan segala yang berpermulaan mengambil permulaan dari-Nya. Maka dengan nama-Nya segala permulaan itu terjadi dan dengan nama-Nya pula segala gerakan dan tujuan itu terwujud.
Penyebutan sifat-Nya dipermulaan dengan sifat Ar Rahman dan Ar Rahim, meliputi segala makna rahmat dan segenap kondisinya. Hanya Dia sendiri yang terhimpun pada-Nya dua sifat ini dan hanya Dia sendiri yang memiliki sifat Ar Rahman. Seorang hamba boleh saja mendapat sebutan penyayang (Ar Rahim), akan tetapi dari sudut pandang keimanan seorang hamba tidak boleh diberi sebutan pengasih (Ar Rahman), apalagi ia memiliki dua sifat pengasih dan penyayang. Meskipun terdapat perbedaan dalam makna kedua sifat itu, manakah di antara keduanya yang menunjukan makna rahmat secara lebih luas, perbedaan seperti ini tidak kami bahas dalam Zhilal ini, akan tetapi perlu kami tekankan bahwa kedua sifat itu sama-sama meliputi seluruh makna rahmat, segenap kondisi dan bidangnya.
Apabila memulai sesuatu dengan nama Allah berikut apa yang terkandung di dalamnya berupa tauhid kepada Allah dan adab terhadap-Nya, merupakan prinsip pertama dalam tashawwur Islami, maka terliputinya seluruh makna rahmat, berbagai kondisi dan aspeknya di dalam dua sifat “Ar Rahman” dan “Ar Rahim” merupakan prinsip kedua dalam tashawwur ini, di samping menegaskan hakikat hubungan antara Allah dan hamba-Nya.
***
Setelah memulai dengan nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, menyusul penyampaian segala puji kepada Allah dan penyebutan-Nya dengan sifat rububiyah yang mutlak bagi alam semesta:
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Alhamdulillah” adalah perasaan yang tercurahkan ke dalam hati seorang Mukmin setiap kali ia mengingat Allah. Karena keberadaanya sejak semula tidak lain dan tidak bukan hanya merupakan salah satu curahan dan limpahan rahmat Ilahiyah yang mengharuskan penyampaian puja dan puji. Dalam setiap langkah dan pada setiap saat, nikmat-nikmat Allah itu datang silih berganti, terhimpun dan berlimpah ruah meliputi seluruh makhluk-Nya terutama manusia. Karena, “segala puji bagi Allah” sebagai permulaan dan “segala puji bagi Allah” sebagai penutup adalah merupakan salah satu kaidah tashawwur Islami secara langsung,
وَهُوَ اللَّهُ لا إِلَهَ إِلا هُوَ لَهُ الْحَمْدُ فِي الأولَى وَالآخِرَةِ
“Dan Dialah Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, bagi-Nyalah segala puji di dunia dan di akhirat…” (Al Qashash[28]:70)
Sekalipun demikian, karunia dan limpahkan rahmat Allah kepada hamba-Nya yang beriman sampai pada tingkat, apabila hamba mengucapkan: “segala puji bagi Allah” maka Allah mencatatnya sebagian kebaikan yang mengalahkan semua timbangan. Di dalam Sunan Ibnu Majah disebutkan dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhu sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan hadits kepada mereka bahwa salah seorang di antara hamba Allah mengucapkan:
“Wahai Rabbi, bagi-Mu segala puji sebagaimana layaknya bagi kemuliaan wajah-Mu dan keagungan kekuasaan-Mu.”
Ucapan ini kemudian menyulitkan dua malaikat, keduanya tidak tahu bagaimana mencatatnya. Kemudian keduanya naik menemui Allah seraya berkata, “Wahai Rabb kami, sesungguhnya ada seorang hamba yang mengucapkan suatu ucapan yang tidak kami ketahui bagaimana mencatatnya,” Allah bertanya, -Dia lebih mengetahui tentang apa yang diucapkan hamba-Nya-: “Apa yang diucapkan hamba-Ku?” Kedua malaikat menjawab: “Wahai Rabb, sesungguhnya dia mengucapkan, ‘Bagi-Mu segala puji wahai Rabb sebagaimana layaknya bagi kemuliaan wajah-Mu dan keagungan kekuasaan-Mu’. Allah berfirman kepada kedua malaikat itu: ”Tulislah sebagaimana yang diucapkan hamba-Ku hingga dia menemui-Ku lalu Aku pasti membalasi ucapannya.”[2]
Penyampaian pujian kepada Allah mencerminkan perasaan seorang Mukmin yang telah mendaptkan limpahan karena mengingat Allah semata, sebagaimana telah kami sebutkan. Sedangkan penggalan kedua ayat tersebut: “Rabbil ‘alamin” mencerminkan kaidah thasawwur Islami, karena rububiyah yang mutlak dan meliputi itu merupakan salah satu pokok aqidah islam. Rabb berarti Pemilik yang bebas bertindak sesuai keinginan. Dalam bahasa Arab juga berarti tuan dan orang yang punya kebebasan bertindak untuk memperbaiki dan membina (tarbiyah). Kebebasan bertindak untuk memperbaiki dan membina itu meliputi semua makhluk, sedangkan Allah tidak menciptakan alam semesta kemudian membiarkannya begitu saja. Tetapi, Dia bertindak terhadapnya dengan memperbaiki, memelihara dan membinanya. Semua alam dan makhluk terpelihara dan terjaga dalam pemeliharaan Allah, Rabb alam semesta. Sedangkan hubungan antara Pencipta dan semua makhluk senantiasa ada dan terus berlangsung di setiap waktu dan keadaan.
Rububiyah yang mutlak merupakan persimpangan jalan antara kejelasan tauhid yang sempurna dan menyeluruh dengan kegelapan yang muncul akibat ketidakjelasan hakikat ini dalam bentuknya yang pasti. Masih banyak manusia yang mencampuradukan antara pengakuan akan Allah sebagai satu-satunya pencipta alam semesta dan keyakinan tentang banyak tuhan yang mengatur kehidupan. Hal ini nampak aneh dan lucu, tetapi ada sejak dahulu kala hingga sekarang. Al Qur’an yang mulia menceritakan kepada kita tentang sekelompok kaum musyrikin yang mengatakan tentang tuhan-tuhan mereka yang bermacam-macam:
مَا نَعْبُدُهُمْ إِلا لِيُقَرِّبُونَا
“…Kami tidak menyembah mereka, kecuali hanya untuk sedikit mendekatkan diri kami kepada Allah…” (Az Zumar [39]:3)
Sebagaimana Al Qur’an menceritakan tentang sekelompok ahlul kitab:
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ
“Mereka menjadikan pendeta-pendeta dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah…” (At Taubah [9]:31)
Semua ideologi jahiliyah yang berkembang di muka bumi pada hari kedatangan Islam, penuh dengan tuhan-tuhan yang beraneka ragam, sebagai tuhan-tuhan kecil yang berdiri di samping tuhan besar, sebagaimana mereka yakini.
Karena itu, pemaparan rububiyah di dalam surat ini, dan peliputan rububiyah ini terhadap semua alam, adalah merupakan persimpangan jalan antara adanya tata aturan (nizham) dan kekacauan dalam aqidah, agar seluruh alam mengarah pada satu Rabb, mengakui kekuasaan-Nya yang mutlak dan menghapuskan beban tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu dari pundaknya dan kebingungan akibat keberadaan tuhan-tuhan yang beraneka ragam itu. Juga agar hati nurani alam semesta ini merasa tenang dengan pemeliharan Allah yang terus menerus dan rububiyah-Nya yang senantiasa eksis. Merasa tenang bahwa pemeliharaan ini tidak akan pernah terputus, tidak mengenal lelah dan tidak akan sirna. Tidak seperti konsep paling ideal filsafat aristoteles, yang mengatakan bahwa setelah menciptakan alam semesta ini Allah tidak mengurusinya lagi, karena Allah terlalu tinggi untuk berfikir tentang selain-Nya. Dia tidak mau berfikir, kecuali tentang diri-Nya! Aristoteles –yang punya pemikiran seperti ini- adalah tokoh besar para ahli filsafat bahkan dianggap paling genius otaknya!
Islam datang ketika dunia tengah dipadati oleh reruntuhan berbagai ideologi, konsep, dongeng, filsafat, ilusi, dan pemikiran, di mana terjadi campur-aduk antara yang benar dan yang batil, antara yang asli dan yang palsu, antara agama dan khurafat, antara filsafat dan dongeng. Sedangkan hati nurani manusia, akibat himpitan reruntuhan yang besar ini, merasa galau dalam berbagai kegelapan dan angan-angan, tidak pernah merasakan adanya keyakinan dan kepastian.
Kebingungan yang tidak pernah menemukan ketenangan, kepastian dan cahaya, itulah yang membelenggu manusia tentang Tuhannya, tentang sifat-sifat-Nya, dan tentang hubungan-Nya dengan makhluk-Nya, khususnya tentang bentuk hubungan antara Allah dan manusia.
Hati nurani manusia tidak akan pernah bisa merasa tenang dan mantap dalam menghadapi masalah alam raya, masalah dirinya dan sistem kehidupannya, sebelum ia mendapatkan ketenangan dan kemantapan dalam masalah aqidah dan persepsinya tentang Tuhan dan sifat-sifat-Nya, sebelum sampai kepada keyakinan yang jelas dan lurus di tengah kebutaan, kebingungan dan reruntuhan yang teramat berat ini.
Manusia tidak akan menyadari perlunya ketenangan dan kemantapan ini sebelum ia melihat besarnya reruntuhan itu dan mencermati kebingungan tersebut dari berbagai kepercayaan, persepsi, dongeng, filsafat, ilusi, dan pemikiran yang mengotori hati manusia ketika Islam datang itu. Hal yang sebagiannya telah kami sebutkan terdahulu. (Sebagian besar diantaranya akan dipaparkan dalam pemaparan berbagai surat Al Qur’an ketika memberikan solusi yang tuntas, sempurna, dan menyeluruh).
Itulah sebabnya perhatian utama Islam tertuju kepada pembebasan masalah aqidah (dari berbagai reruntuhan tersebut) dan perumusan tashawwur (pandangan) yang memberikan kemantapan hati nurani tentang Allah, sifat-sifat-Nya, hubungan-Nya dengan makhluk, dan hubungan makhluk dengan-Nya secara pasti dan yakin.
Oleh sebab itu pula, tauhid yang sempurna, murni, jernih, dan menyeluruh, yang tidak terkontaminasi oleh kotoran apapun baik dari jauh ataupun dari dekat, adalah merupakan kaidah tashawwur yang dibawa oleh Islam. Islam secara terus menerus memperjelas tashawwur ini di dalam hati nurani, dan senantiasa mengawasi segala bentuk bisikan dan virus yang bergelayutan di seputar hakikat tauhid ini, hingga terbersihkan dari segala macam kotoran dan membiarkannya kokoh dan kuat, tidak terjamah oleh segala bentuk keraguan dan ilusi. Demikian pula Islam memberikan penjelasan yang sangat tegas tentang sifat-sifat Allah khususnya berkaitan dengan sifat-sifat rububiyah secara mutlak. Sementara itu, sebagian besar reruntuhan dalam kesesatan yang dialami oleh berbagai filsafat dan kepercayaan jahiliyah itu berkaitan dengan masalah yang sangat penting ini, masalah yang sangat besar pengaruhya baik dalam hati nurani manusia ataupun dalam perilakunya.
Orang yang mencermati jerih payah panjang yang telah dikerahkan oleh Islam untuk menjelaskan konsep yang tegas tentang dzat Allah, sifat-sifat-Nya dan hubungan-Nya dengan makhluk-Nya, jerih payah panjang yang termanifestasikan dalam ayat-ayat Al Qur’an yang sangat banyak, orang yang mencermati jerih payah panjang ini tanpa mencermati reruntuhan barat dalam kesesatan (jahiliyah) yang melanda seluruh umat manusia itu, boleh jadi ia tidak akan bisa menyadari betapa pentingnya penjelasan yang dipertegas dan diulang-ulang ini, betapa pentingnya uraian terperinci yang mencermati semua perilaku hati nurani. Tetapi pencermatan terhadap reruntuhan (jahiliyah) tersebut akan mampu mengungkapkan betapa pentingnya jerih payah panjang tersebut, sebagaimana akan mengungkapkan betapa besar peran yang dilakukan oleh aqidah ini –yakni membebaskan hati nurani manusia (dari belenggu reruntuhan ideologi dan persepsi Jahiliyah) dan membebaskannya dari kebingungan akibat persepsi banyak tuhan, ilusi, dan dongeng-dongeng!
Sesungguhnya keindahan, kesempurnaan, dan keserasian aqidah ini, demikian pula kesederhanaan hakikat besar yang dimanifestasikannya. Semuanya itu tidak akan bisa nampak jelas bagi hati dan akal sebagaimana akan nampak jelas dari kajian tentang reruntuhan ideologi, persepsi, dongeng, dan filsafat Jahiliyah! Khusunya masalah hakikat Ilahiyah dan hubungannya dengan alam. Saat itulah aqidah Islam nampak sebagai rahmat. Rahmat yang sesungguhnya bagi hati dan akal. Rahmat dengan segala keindahan dan kesederhanaan, kejelasan dan keserasian, kedekatan dan suka cita, dan responsif terhadap fitrah secara langsung dan mendalam.
[1] Shahih, diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Abu Daud, Nasa’i, dan lainnya. Lihat: Jami’ Al Ushul 5/326. (as).
[2] Dha’if, diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Thabrani. Di dalam sanadnya ada perawi bernawa Shadaqah bin Basyir dan Qudamah Al Jumahi. Keduanya dipermasalahkan oleh para ahli hadits. Lihat: Dha’ifus Sunan Ibnu Majah, hal. 306 dan Mu’jamuth Thabrani Al Kabir 12/343.(as)