عن أم المؤمنين أم عبد الله عائشة رضي الله عنها قالت : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ( من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد ) رواه البخاري ومسلم . وفي رواية مسلم : من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد
Artinya
Dari Ummul mukminin (ibunda orang-orang Mukmin), ‘Aisyah –Radhiyallahu ‘anha- ia berkata, Rasulullah Saw : “Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu dalam urusan (dien) ini yang tidak termasuk di dalamnya, hal itu ditolak.” Dilaporkan oleh Imam al-Bukhary dan Muslim.
Dalam riwayat Muslim : “Barangsiapa melakukan amalan, tanpa didasari perintah kami, maka ditolak.”
Tema Sentral :
Tema sentral dari hadits ini peringatan untuk menghindari perbuatan bid’ah, sebuah amalan atau ajaran yang masuk dalam rung lingkup dien, yaitu perkara yang memang telah diatur oleh syara’, tetapi tidak diwariskan oleh Rasulullah Saw, sahabatnya dan para Tabi’in. Adapun jika perbuatan itu di luar lingkup dien, seperti urusan dunia, seperti managemen, teknologi, dan sejenisnya yang tidak diatur secara eksplisit oleh syara’, maka berinovasi di sini tidak masuk perkara yang dilarang. Bahkan bisa jadi disuruh/diperintahkan.
Seperti kata Dr. Mushtafa al-Bugha, hadits ini menjadi barometer untuk mengukur suatu amalan dari aspek luar/lahir (perform, prosedur, formal). Apakah praktik sebuah ritual yang dilakukan seseorang diterima atau ditolak dari aspek zahir (formal), maka hadits ini yang menjadi ukurannya. Sedang dari sisi motif (batin) melakukan amalan, sehingga suatu ritual diterima atau ditolak, maka yang menjadi ukurannya adalah soal niat apakah karena Allah atau tidak, maka yang menjadi barometernya adalah hadits ke 1 yang lalu.
Penjelasan :
Perbedaan antara kedua riwayat :
Apakah perbedaan antara dua riwayat di atas? Riwayat yang pertama menerangkan perbuatan atau amalan yang sebelumnya tidak ada, lalu diada-adakan. Sedangkan riwayat kedua menerangkan, bahwa amalan bid’ah itu sebelumnya sudah ada, lalu amalan itu dilanjutkan oleh orang-orang sesudahnya, jadi orang itu bukan sebagai pemula yang mengada-adakan, tetapi sebagai penerus atau pelanjut, maka status keduanya sama, yakni ditolak. Jadi sebuah amalan yang tidak didasari oleh tuntunan dan petunjuk Rasulullah dalam ruang lingkup dien, baik amalan itu baru diadakan oleh penemunya, ataupun sudah ada sebelumnya, belakangan diteruskan oleh generasi berikutnya, sama-sama ditolak dan tidak diterima oleh Allah Swt.
Hadits ini memperingatkan kita –kaum Muslimin- agar memperhatikan ibadah dan ajaran yang kita amalkan, atau yang kita yakini, apakah amalan/keyakinan itu mempunyai landasan (dalil) baik secara langsung atau tidak langsung dari ayat al-Qur’an dan Hadits Nabi Saw. atau tidak. Apabila amalan tersebut tidak memiliki landasan, pijakan atau dasar, maka perbuatan itu harus ditinggalkan, siapapun yang menemukannya dahulu.
Definisi Bid’ah dan praktiknya:
Secara bahasa kata “bid’ah” berarti temuan baru. Makna yang dimaksud dalam hadits ini adalah praktik dalam menjalankan dien Islam yang tidak ditemukan sumbernya dari Rasul Saw, sahabat ataupun Tabi’in, tujuannya sebagai tandingan terhadap syari’at dan dalam rangka ibadah (ta’abbudy).
Jadi dari definisi ini dapat kita pahami, apabila “temuan baru” itu bukan termasuk masalah dien (perkara yang harus tunduk kepada aturan Syari’at), maka tidak ada salahnya membuat hal-hal yang baru. Umpamanya teknologi, administrasi, bisnis dan masalah-masalah yang terkait dengan teknik dalam menjalankan kehidupan yang bersifat eksperimental. Untuk bidang ini Islam justru merangsang umatnya agar mengembangkan daya cipta (innovation), selama tidak bertabrakan dengan ketentuan syari’at. Manusia diberi kebebasan untuk mengembangkan daya pikirnya di luar masalah dien itu. Bahkan menjanjikan pahala bagi penemunya selama produk itu mendatangkan manfaat bagi orang lain. Sesungguhnya ruang ini ruang yang amat sangat luas di mana manusia dapat berkiprah di dalamnya.
Demikian inilah dahulu keadaan para pendahulu umat ini –generasi sahabat, tabi’in dan sesudahnya. Untuk masalah ritual, keyakinan, dan dien, mereka hanya mengikut apa yang dilakukan oleh Nabi Saw. Sementara dalam urusan dunia, mereka inovatif, berjuang, kerja keras sehingga melahirkan peradaban Islam yang kental nuansa tawhidnya. Mereka berdakwah dan memenangkan perjuangan sehingga menaklukkan Imperium Persia dan Romawi. Kekuasaan Islam terbentang hingga ke Spanyol dan ke Nusantara sejak abad pertama Hijrah.
Tetapi kaum Muslimin di zaman sekarang justru mengambil sikap terbalik. Dalam masalah dunia, mereka cenderung mengekor kepada produk bangsa lain, tidak menciptakan produk sendiri. Sementara dalam masalah ibadah, ritual, pendekatan kepada Allah swt, mereka justru berinovasi dan membuat hal-hal baru yang tidak diterima oleh syari’at.
Banyak praktik ibadah dan berbau ibadah yang mereka ada-adakan; seperti merayakan hari kelahiran dan hari kematian. Apabila terjadi kematian, maka keluarga yang meninggal membuat acara lebih dari apa yang disunnahkan oleh Nabi Saw tiga hari untuk berta’ziyah. Mereka membuat acara makan-makan pada hari ke tujuh, hari ke empat puluh, hari ke seratus. Apalagi kalau yang meninggal itu tokoh, orang ‘Alim, pimpinan pesantren, keluarganya memperingati hari kematian orang tersebut tiap tahun. Jadi sekian banyak tokoh, tiap tahun diperingati kematiannya. Untuk memperingati kematian tokoh itu, mereka buat “pesta” dengan mengundang masyarakatnya untuk makan-makan di kuburan sang tokoh. Hal-hal yang berkaitan dengan kematian, orang mati, dan kuburan adalah perkara yang sarat dengan praktik amalan yang tertolak itu, karena memang praktik itu tidak dikerjakan oleh Rasul dan sahabatnya, akan tetapi dibuat-buat oleh orang yang datang belakangan.
Mereka ada-adakan cara-cara berzikir yang tidak diajarkan oleh Rasul Saw. Mereka menari dan bergoyang. Mereka ciptakan lagu-lagu dan senandung berbau pujian kepada Nabi.
Mereka habiskan waktu dan energi untuk hal-hal yang tak berfaedah itu. Kapan mereka akan menjadi maju?
Mindset inilah yang harus dirubah oleh umat Islam jika mereka ingin maju dan bersaing dengan umat lain. Untuk masalah Ibadah dan pendekatan pada Allah, mereka harus ber-ittiba’ (mengikut apa adanya) kepada Rasulullah Saw.
Bid’ah perbuatan tercela :
Perbuatan Bid’ah sangat tercela karena pengaruhnya sangat buruk terhadap Islam dan pelakunya. Bid’ah mengakibatkan hilangnya kemurnian dan pudarnya keaslian Islam sebagai dien yang diturunkan oleh Allah dan diwariskan oleh NabiNya Saw. Hal itu karena bid’ah berarti menambah atau mengurangi ajaran yang asli, sementara Islam adalah ajaran yang sempurna dari Allah Swt yang tidak memerlukan tambahan atau modifikasi yang dibuat oleh manusia, siapapun dia. Dengan adanya tambahan itu, seolah-olah manusia menganggap bahwa apa yang diwariskan oleh Nabi belum sempurna yang masih memerlukan tambahan. Tentu konsep berfikir seperti ini keliru besar. Karena Allah Swt telah menegaskan dalam firmanNya : “Pada hari ini telah Kusempurnakan bagimu agamamu…”.
Dengan adanya bid’ah mengakibatkan Islam menjadi tidak seragam di seluruh dunia. Sehingga ada embel-embel lain yang ditempelkan kepada Islam, seperti Islam Indonesia, Islam Timur Tengah, Islam Turki, Islam Pakistan, Islam mana lagi. Hal ini tak diperkenankan dalam Islam. Islam hanya satu. Kemanapun seseorang pergi dan ingin mengetahui tentang Islam, ia akan menemukan keseragaman; rujukannya sama, informasinya sama dan ajarannya sama. Inilah keistimewaan Islam.
Dengan keberadaan hadits ini, tidak seorangpun yang dapat merubah Islam dengan memberi tambahan pada ajarannya. Bayangkan jika tidak ada ajaran tegas seperti isi hadits ini, akan seperti apakah corak-corak Islam yang beraneka ragam, dan pasti akan membingungkan dalam pengamalannya. Karena ia diserahkan pada inovasi dan inspirasi manusia, ingin menambahi atau mengurangi yang sudah ada.
Islam harus dibiarkan apa adanya seperti diturunkan pertama kali oleh Allah Swt dan dipraktikkan oleh Rasulullah dan sahabatnya. Islam tidak boleh dibumbui oleh budaya, adat istiadat, kultur masyarakat, baik kultur masyarakat muslim sendiri apalagi yang bukan muslim.
Ahli Bid’ah Klasik :
Dalam literature Ilmu Hadits, kita sering jumpai sebutan “ahlul Ahwa’ wal bida'” yang berarti kelompok “pengikut hawa nafsu dan bid’ah”. Mereka adalah segolongan umat Islam yang mempunyai ajaran/pemahaman khusus (baca : aneh) yang tidak popular di kalangan umumnya umat Islam. Mereka mengikuti hawa nafsunya dalam menafsirkan Islam dan ajarannya serta melahirkan faham-faham baru yang asing. Misalnya Syi’ah, Khawarij, Mu’tazilah, Qadariyah dan lainnya.
Syi’ah termasuk kelompok Ahli Bid’ah yang parah, karena menyimpang terlalu jauh dari garis pemahaman Islam yang benar (al-Qur’an dan Sunnah). Dahulu, pada awalnya, “syi’ah” merupakan kelompok yang bernuansa politik (hizb siyasi) yang membela blok ‘Ali r.a yang berhadapan dengan blok Mu’awiyah r.a. Sementara soal pemahaman keagamaan, mereka dulu tidak berbeda dengan mayoritas umat Islam. Tetapi dalam perjalanannya, kelompok ini lama kelamaan mempunyai ajaran sendiri yang menyimpang jauh dari ajaran Islam yang murni, baik dalam soal ‘aqidah, ibadah maupun sisi-sisi lainnya. Merekapun mencela, menista para sahabat yang tidak berpihak kepada Ali, dan itu mayoritas sahabat Nabi, hingga mengkafirkan sahabat-sahabat utama Nabi seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, istrinya ‘Aisyah, radhiyallahu anhum ajma’in, Kelompok inilah yang dikenal dengan sebutan “Rafidhah”, bentuk jama’nya “Rawafidh”, yaitu golongan yang menolak kekhalifahan Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsman r.a. Abu Bakar dan Umar mereka tuduh sebagai perampas hak khalifah dari ‘Ali.
Bid’ah syi’ah mencakup beberapa aspek, di antaranya : aspek ‘aqidah, di mana mereka mempunyai keyakinan bahwa ‘Ali lah yang berhak menjadi khalifah pengganti Rasulullah setelah beliau wafat. Dalam ajaran mereka, ada aqidah “al-washiyyah”, yang artinya Nabi pernah berpesan bahwa yang menggantikan beliau adalah ‘Ali ibn Abi Thalib. Di antara mereka ada yang berkeyakinan bahwa yang berhak menerima wahyu sebenarnya adalah ‘Ali, bukan Muhammad Saw., tapi Jibril keliru dalam menurunkan wahyu. Na’uzu billah min zalik.
Mereka mengkultuskan ‘Ali dan keturunannya. Bahkan mereka lebih mengagungkan dan lebih sering menyebut ‘Ali daripada menyebut Rasulullah Saw. Mereka melaknat para Sahabat dan mengkafirkannya. Dalam ajaran syi’ah, melaknat sahabat itu adalah .’ibadah, untuk mendekatkan diri kepada Allah. Aneh bukan? Agama yang didasari pada kebencian dan melaknat generasi terbaik dari umat Islam.
Bid’ah mereka dalam soal Ibadah, cukup banyak. Jika kita hidup bersama mereka dan mengamati cara mereka beribadah, kita akan mempunyai kesan, bahwa agama mereka sudah terpisah dari Islam, saking jauhnya perbedaan-perbedaan itu, antara lain, dalam ajaran mereka, tidak ada shalat Jama’ah, tidak ada shalat Jum’at, waktu Shalat hanya tiga kali, pagi, siang dan malam. Puasa Ramadhan mereka mulai dari terbit fajar hingga malam. Mereka tak berbuka pada waktu maghrib. Lain lagi praktik shalat mereka, cukup aneh dan kita tak mengerti darimana sumbernya. Contohnya, mereka tak lupa membawa batu dan menaruhnya di tempat sujud. Kalau tidak ada batu, kertas pun jadi. Dalam berdiri, mereka melepas tangannya, tidak bersedekap, padahal hadits-hadits Shahih menyebutkan Rasul kalau shalat, menaruh tangan kanannya di atas tangan kirinya. Waktu salam, mereka menepuk-nepuk kedua tangannya ke paha. Itulah bentuk salam mereka. Bukan mengucapkan salam dengan menoleh ke sebelah kanan dan ke kiri, sebagaimana yang dipraktikka oleh Rasul Saw di dalam kitab-kitab hadits. Berbohong atau “tauriyah” dalam ajaran mereka merupakan “dien” (agama). Mut’ah (kawin kontrak) yang sudah diharamkan oleh Rasulullah belakangan (setelah pernah membolehkannya dalam beberapa keadaan), bagi mereka, boleh hingga sekarang. Mereka mengira secara keliru, bahwa yang melarangnya adalah Umar r.a. Apa saja yang dilarang oleh ‘Umar r.a adalah boleh, karena kebencian mereka padanya.
Bila Anda amati cara mereka beribadah dan pemahaman mereka, anda akan heran dan bingung, entah ajaran siapa yang mereka ikut, hadits mana yang mereka perpegangi. Itulah yang menyebabkan para Ulama dari dulu memasukkan mereka dalam sebutan “Ahli Bid’ah dan ahli Ahwa'” (pola beragama mengikuti hawa nafsu).
Jadi Syi’ah yang ada sekarang ini adalah jenis Rafidhah, yang oleh para Ulama dari dulu dihukumkan sebagai golongan yang telah keluar dari Islam.