Syi’ah Imamiyah: Pioner Pembukuan Ilmu Ushul Fiqh adalah Muhammad Al Baqir

Pengakuan Syi’ah Imamiyah bahwa yang Pertama Kali Membukukan Ilmu Ushul Fiqh adalah Muhammad Al Baqir

9. Syi’ah Imamiyah mengaku bahwa orang yang pertama kali membukukan ilmu Ushul Fiqh adalah Muhammad Al Baqir bin Ali ibn Zainal Abidin, yang kemudian diikuti oleh puteranya yang bernama Imam Abu Abdillah Ja’far Ash Shadiq, sebagaimana dikatakan oleh Ayatullah Sayyid Hasan Ash Shadiq, sebagai berikut:

“Ketahuilah bahwa orang yang pertama kali menyusun ushul fiqh, membuka pintunya serta memecahkan permasalahannya adalah Imam Abu Ja’far Muhammad Al Baqir, kemudian berikutnya adalah putranya yang bemama Al Imam Abu Abdillah Ja’far Ash Shadiq. Beliau berdua telah mendiktekan kaidah-kaidah ushul fiqh tersebut kepada murid-muridnya. Kemudian para muridnya menghimpun masalah-masalah fiqh yang disusun oleh ulama mutaakhkhirin sesuai dengan sistematika karangan dengan riwayat-riwayat yang disandarkan kepada beliau berdua secara bersambung (muttashil)”

Kritik kita cukup pada kata-kata Sayyid Hasan Ash Shadr saja, tanpa harus membantahnya dalam menghubungkan ushul fiqh ini kepada kedua imam tersebut. Kata-kata Sayyid Hasan Ash Shadr bahwa “Keduanya telah mendiktekan”, bukan “keduanya telah mengarang”. Padahal pembicaraan kita mengenai imam Syafi’i sebagai orang pertama dalam masalah penyusunan satu kitab yang khusus membahas ilmu Ushul Fiqh ini. Sedangkan kedua imam Syi’ah tersebut sama sekali tidak meninggalkan kitab ushul fiqh yang didiktekan atau ditulis sendiri.

Dengan demikian dapat kita katakan, bahwa menghubungkan ushul fiqh ini kepada kedua imam Syi’ah tersebut adalah sama dengan ulama mazhab Hanafi yang menghubungkan dasar-dasar ijtihad kepada imam mereka. Sebagaimana perkataan mereka, bahwa lafazh yang ‘am (umum) menurut pendapat Abu Hanifah dan sahabatnya adalah menunjukkan pengertian yang pasti (dilalah qath’iyah), juga pendapat mereka bahwa lafazh yang khash itu tidak dapat mentakhshish lafazh yang ‘am, kecuali bila lafazh yang khash itu terpisah dan bersamaan waktunya itu mempengaruhi di dalam penerapan masalah-masalah cabang.

Ayatullah Sayyid Hasan Ash Shadr mengatakan bahwa kedua imam Syi’ah tersebut tidak mempunyai karangan, yang ada hanya buku didiktekan secara tidak teratur. Jika dikatakan bahwa pemikiran kedua imam tersebut adalah mendahului Imam Syafi’i, maka sebenarnya metode untuk menetapkan/menggali hukum-hukum syara’ itu sudah ada dalam pemikiran para imam mujtahid sejak periode sahabat, tabi’in dan ulama berikutnya, yang disampaikan secara lisan dan menjadi dasar bagi fiqh mereka. Kalau Imam Ja’far telah mendiktekan sebagian kaidah ushul fiqh tersebut kepada murid-muridnya, kemudian diterima oleh orang-orang sesudahnya secara sistematis, maka sebenarnya ushul fiqh pada masa Imam Abi Abdillah bin Ja’far dan bapaknya Imam Muhammad Al Baqir adalah baru mengarah pada penyimpulan metode-metode tersebut. Oleh karena itu, mazhab-mazhab fiqh berbeda dalam metode-metodenya.

10. Jika kedua imam Syi’ah tersebut tidak menyusun satu kitab ushul fiqh secara sistematis, berarti kedua imam Syi’ah tidak mendahului Imam Syafi’i di dalam menyusun ilmu Ushul Fiqh. Karena Imam Syafi’i menyusun ilmu ini secara sistematis per bab dan per pasal yang tidak hanya terbatas pada suatu pembahasan yang terputus dari pembahasan yang lain. Dia telah membahas tentang Al Qur’an, Sunnah, penetapan Sunnah, kedudukan Sunnah terhadap Al Qur’an dan dilalah lafzhiyah yang meliputi ‘am, khas, musytarak, mujmal dan mufashshal. Masalah ijma’ dan hakikat ijma’ juga didiskusikan secara ilmiah yang belum pernah dilakukan oleh seorangpun sebelumnya. Demikian pula tentang qiyas dan istihsan.

Cara Imam Syafi’i menjelaskan tentang hakikat ilmu Ushul Fiqn per-bab dan per-pasal demikian tidak didahului oleh siapapun. Atau dengan kata lain, sampai sekarang tidak diketahui orang yang mendahuluinya. Hal ini bukan berarti merendahkan kedudukan ulama sebelumnya, seperti Imam Malik yang menjadi gurunya dan Imam Abu Hanifah yang menjadi guru para fuqaha ahli qiyas, karena pembukuan pada masa kedua imam itu belumlah sempurna.

Kami tidak mengatakan bahwa Imam Syafi’i menguasai semua ilmu secara sempuma dan segala segi, sehingga tidak bisa dijangkau oleh mujtahid sesudahnya. Akan tetapi mujtahid yang datang berikutnya sifatnya hanya menambah dan mengembangkan serta memperjelas permasalahan yang banyak dalam ilmu Ushul Fiqh ini. Sebagaimana dalam bidang filsafat dan logika, orang-orang yang hidup setelah Aristoteles baik di Timur maupun di Barat, sifatnya hanya mengembangkan dan memperjelas ilmu logika (manthiq). Sedangkan penyusun ilmu tersebut secara sistematis adalah tetap Aristoteles.

About Redaktur

https://slotjitu.id/ https://adslotgacor.com https://adslotgacor.com/bandar-togel-online-4d-hadiah-10-juta https://linkslotjitu.com/ https://slotgacor77.id https://slotjudi4d.org/slot-gacor-gampang-menang https://slotjudi4d.org/ https://togelsgp2023.com https://s017.top https://slotjitugacor.com/