Tafsir dan Mufassir (1)

Buku-buku Tafsir yang Populer

Kami membagi macam-macam tafsir menjadi dua bagian: tafsir bil ma’tsûr dan tafsir bil ra’yi. Tafsir bil ma’tsûr adalah penafsiran yang dilakukan oleh seorang mufassir dengan cara mengumpulkan hadits-hadits Rasulullah, ucapan para shahabat dan pemahaman para tabiin dari golongan salafu ash-shâlih, dengan cara memerhatikan sanad-sanadnya, memilih yang shahih dan mentarjih masalah-masalah yang bertolak belakang. Contoh konkret dari tafsir semacam ini adalah tafsir Imam Ibnu Jarîr Ath Thabârî (310 H) yang lebih dikenal dengan tafsir Jâmi’at Al Bayân fî Tafsîr Al Qur’an. Imam Qurthubî berkata: “Muhammad Ibnu Jarîr telah mengoleksi banyak tafsir, mendekatkan yang jauh dan mengoreksi sanad-sanadnya.”[1] Contoh lain dari tafisr bil ma’tsûr adalah Tafsir Ibnu Katsîr. Tafsir ini memiliki kelebihan dibandingkan tafsir ath-Thabarî dari sisi kelengkapan sanad, kesederhanaan bahasa dan kejelasan fikrah (ide utama).

Sedangkan tafsir bil ra’yi keberadaannya menimbulkan polemik di antara para ulama: ada yang melarang dan ada yang membolehkan. Ulama-ulama yang melarang dan berhati-hati dalam penafsiran memperkuat pendapatnya dengan beberapa komentar. Di antaranya komentar Ibnu ‘Athiyah: “Ulama salafu ash-shâlih berpengaruh seperti Said bin Musayyib, Amir bin Sya’bi dan lain-lain sangat mengagungkan tafsir Al Qur’an. Mereka sangat berhati-hati sekalipun mereka sangat alim dan mumpuni.” Abû Bakar Al Anshari berkata: “Ulama-ulama salaf terdahulu sangat berhati-hati dalam menafsirkan ayat Al Qur’an.” Beberapa diantaranya menilai bahwa orang yang menafsirkan Al Qur’an dengan akalnya tidak sesuai dengan kehendak Allah subhanahu wa ta’ala, maka ucapannya ditolak. Bahkan di antaranya sangat ketakutan jika dijadikan sebagai tokoh tafsir yang berpengaruh dan diikuti banyak orang. Kemudian datang suatu masa ada orang yang salah menafsirkan suatu huruf dalam Al Qur’an berkata: “Imamku dalam penafsiran Al Qur’an adalah Imam Fulan dari ulama salaf.”

Dari Abî Malîkah berkata: Abu Bakar Ash Shidiq radhliyallahu ‘anhu ditanya tentang tafsir huruf di dalam Al Qur’an. Lantas beliau menjawab: “Langit mana yang mau menaungiku? Bumi mana yang mau aku injak, ke mana aku akan pergi? Apa yang akan aku lakukan jika aku menafsirkan satu huruf dalam Al Qur’an dan tidak sesuai dengan apa yang diinginkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala.?”[2]

Argumentasi yang paling penting bagi kelompok yang menentang tafsir bil ra’yi adalah dua hadits yaitu:

1.  Hadis yang diriwayatkan oleh Tirmidzî dan Abû Dâwud dari hadis Jandub, ia berkata: Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam bersabda: “Barangsiapa menafsirkan Al Qur’an dengan akalnya, maka dia dianggap salah, meskipun penafsirannya benar.”[3]

Ahli ra’yi (rasionalis) menjawab argumentasi ini. Mereka mengatakan bahwa yang dimaksud dengan menafsirkan ayat dengan akal (rasio) di dalam hadits tersebut adalah menafsirkan ayat tanpa menggunakan ilmu, baik karena malah atau kesulitan atau karena tidak ingin dikatakan bodoh. Atau, dia menafsirkan ayat menurut keinginan hawa nafsunya dan disesuaikan dengan tujuan-tujuan yang dapat memalingkan sesorang dari jalan kebenaran. Orang dengan niat semacam ini, meski penafsirannya benar, namun ia dianggap salah dan berdosa. Lain halnya dengan orang yang serius dalam mencari kebenaran dan menjauhkan diri dari bisikan-bisikan hawa nafsu; orang semacam ini akan mendapat pahala. Jika penafsirannya salah, ia mendapat satu pahala, dan jika benar ia memperoleh dua pahala, insya Allah. Dengan demikian kita dapat melihat adanya jalan tengah antara kecintaan ulama salaf kepada tafsir dan penghargaan mereka kepada ahli tafsir, dengan kekhawatiran mereka terhadap tafsir bil ra’yi (tafsir rasio) dan hadis yang melarang tafsir bil ra’yi.[4]

2. Hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzî, dari Ibnu Abbas, dari Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam, beliau bersabda: ”Berhati-hatilah dalam berbicara tentang aku, kecuali jika kalian mengetahui. Barangsiapa sengaja berdusta tentangku, maka tempatnya adalah neraka, dan barangsiapa menafsirkan Al Qur’an dengan akalnya, maka tempatnya adalah neraka.”

Ahli tafsir rasionalis menjawab hadits di atas dengan mengemukakan ucapan Abû Bakar bin Al Qâsim bin Basyâr bin Muhammad Al Nahwî Al Lughawî di dalam buku Ar Radd. Hadis Ibnu Abbas tersebut ditafsirkan dengan dua penafsiran. Pertama, barangsiapa menafsirkan Al Qur’an dengan penafsiran yang tidak terdapat dalam mazhab para shahabat dan tabi’in, mala dia layak mendapat murka Allah subhanahu wa ta’alaKedua, barangsiapa mengatakan tentang Al Qur’an bahwa kebenaran ada pada yang lainnya, maka tempatnya adalah neraka. Dan ini adalah bantahan yang paling benar dan kuat dibandingkan jawaban yang pertama. Oleh karena itu, seseorang yang akan menafsirkan Al Qur’an harus selalu memerhatikan dengan serius hal-hal penting sebagai berikut:

    • Jangan menafsirkan Al Qur’an dengan tujuan-tujuan tertentu;
    • Hendaklah menghindari keinginan-keinginan pribadi;
    • Janganlah menafsirkan Al Qur’an berdasarkan peristiwa yang sedang terjadi.

Jika seseorang sudah memerhatikan hal-hal di atas secara baik, maka tidak diragukan lagi Al Qur’an akan selalu menjadi pemimpin dalam setiap gerak langkahnya. Hawa nafsunya akan selalu mengikuti hadis Rasulullah Shalallahu ‘alayhi wa sallam.

Imam Asy Sûyûthi telah meletakkan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang ingin menafsirkan Al Qur’an. Dinukil dari Az Zarkasyi, syarat-syarat tersebut adalah:

  1. Menukil hal-hal yang datang dari Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam (hadits) dan menghilangkan yang dhaif dan maudhu’;
  2. Mencantumkan ucapan shahabat, karena ditetapkan sebagai hadis marfu’ secara mutlak;
  3. Mengacu kepada bahasa Arab dan berhati-hati menggunakannya dalam menafsirkan ayat;
  4. Memilih kaidah-kaidah mantik yang benar dan dikuatkan oleh aturan syara’ (agama).

Buku-buku tafsir popular yang sudah memenuhi syarat-syarat di atas antara lain:

  1. Tafsir Mafâtîh Al Ghayb, karya Ar Razî (tahun 606 H)
  2. Tafsir Anwâr At Tanzîl wa Asrâr at Ta’wîl, karya Imam Al Baydhâwî (tahun 691 H)
  3. Tafsir Madârik At Tanzîl wa Haqa’iq at Ta’wil, karya Imam an-Nasafî (tahun 710 H)

Perkembangan Tafsir Al Qur’an

Tidak diragukan lagi bahwa gaya penulisan tafsir selalu dipengaruhi oleh perkembangan sosial dan pemikiran pada masa perkembangan Islam. Pada mulanya, bentuk tafsir  masih sangat sederhana. Sedikit demi sedikit ayat Al Qur’an ditafsirkan melalui penjelasan makna lafadz per lafadz dengan merujuk kepada bahasa yang digunakan pada saat itu, sehingga masyarakat Arab pada saat itu merasa cukup dengan apa yang telah mereka miliki, karena mereka dapat memahami langsung makna dan tujuan ayat Al Qur’an lewat  bahasa yang mereka ucapkan sehari-hari.  Di samping itu, mereka juga menyaksikan dan mempraktikkan sunnah amaliyah bersama-sama Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam, para shahabat dan para tabi’in. Dan kami telah menjelaskan bentuk perhatian salaf, shahabat, dan tabi’in, terhadap tafsir Al Qur’an pada bab terdahulu.

Kemudian tiba masa pembukuan dan cerita. Pada masa ini tafsir ditulis dalam bentuk risalah-risalah (surAt surat) agar dapat diriwayatkan dan dipindahkan. Selain bentuk risalah, penulisan juga berbentuk cerita-cerita pendek. Sebagian cerita ada yang berhubungan dengan asbâb an-nuzûl dan realitas hukum. Beberapa di antaranya diadopsi oleh Ahli Kitab, seperti cerita si kurus dan si gemuk. Para ahli tafsir mengetahui hal itu. Ibnu ‘Athiyah berkata: “Para ulama yang menulis tafsir pada masa ini adalah ‘Abd Ar Razak, Al Mufadhal, ‘Ali bin Abi Thalhah, Bukhari dan lain-lain.[5] Dan karya intelektual yang paling besar pada zaman ini adalah Imam Muhammad Ibnu Jarîr ath-Thabarî (tahun 310 H) dengan Jâmi’ Al Bayân fî Tafsîr Al Qur’an.

Masa pembukuan telah berakhir dan tiba masa terjemahan, filsafat, dan interaksi dengan ilmu-ilmu Persia dan Yunani. Mulailah timbul perbedaan antara filsafat Islam dan ulama dalam banyak hal yang menyangkut akidah dan perkara-perkara fikih, dan lain-lain. Dan buku-buku tafsir ditulis dengan model seperti itu, sehingga pemikiran dan filsafat menghiasi dan memenuhi isi buku-buku tafsir kala itu, selain banyaknya buku-buku yang memuat penafsiran ayat dengan menggunakan dalil dari teori-teori dan aliran-aliran rasionalis yang bermacam-macam. Bahkan dalam masalah-masalah furu’ (cabang) banyak mufassir melakukan ijtihad dan mengambil dalil ayat Al Qur’an yang sesuai dengan mazhabnya. Hal ini dianggap biasa. Selain itu, terdapat banyak ulama yang menulis tafsir dengan tujuan hanya untuk mengkritik beberapa buku terdahulu. Hal itu dapat dilihat dengan jelas dalam buku tafsir Fakhru Ar Râzî (tahun 606 H) yang diberi nama Mafâtîh Al Ghayb. Di dalam tafsir ini Ar Râzî mengikuti gaya dan metode ahli kalam yang menggunakan argumentasi logika dan mantik. Kadang-kadang beliau juga memerhatikan ilmu-ilmu alam secara khusus. Beliau membagi ayat atau beberapa ayat menjadi beberapa masa’il (permasalahan). Kemudian secara beruntun menafsirkan ayat untuk membela akidah Ahlu Sunnah wal Jamaah.

Selain Tafsir Ar Râzî, ada juga tafsir sejenis, yaitu Tafsir Al Baydhâwî (tahun 691 H). Tafsir ini lebih banyak mengekspose penguatan argumentasi dan untuk membela Ahlu Sunnah, di samping membahas kaidah-kaidah bahasa. Di ujung tiap surat, Al Baydhâwî juga memiliki hasyiah (catatan pinggir) yang jumlahnya sangat banyak. Hasyiah yang paling spektakuler adalah Asy Syihâb Al Khafâjî.

Tak ketinggalan juga para ahli bahasa; di antara mereka banyak yang menafsirkan Al Qur’an dari sisi bahasa. Mereka lebih banyak membahas balaghah, sastra, nahwu, dan sisi-sisi bahasa lainnya. Pembaca dapat melihatnya di dalam tafsir Az ZujâjAl Wâhidi, dan tafsir Abû Hayân Al Andalusî. Dan di hadapan kita terpampang dengan jelas buku Al Mufradât karya Ar Râghib Al Ashfahânî yang hidup pada abad keenam hijriah.[6]

Sedangkan mufassir kontemporer yang paling kompeten dan berpengaruh sebelum masa Imam Hasan Al Banna adalah Syaikh Thanthawi Jawhari dan Syaikh Rasyid Ridha. Syaikh Thanthawi menulis buku tafsir yang diberi nama Al Jawâhir. Buku ini identik dengan kebangkitan ilmu pengetahuan. Buku ini memuat persoalan-persoalan yang diisyaratkan Al Qur’an berupa dasar-dasar ilmu alam, sistem alam raya dan fenomena alam. Sedangkan tafsir Syaikh Rasyid Ridha diberi nama Al Manâr. Buku ini mengikuti manhaj Ustadz Muhammad Abduh, guru Syaikh Muhammad Rasyid Ridha. Di sini Syaikh Rasyid menjelaskan hukum sosial, cara mengarahkan diri dan sebab-sebab perubahan sejarah. Beliau juga berusaha ber-istinbat dengan ayAt ayat Al Qur’an agar umat Islam dapat mengembalikan masa kejayaannya dengan Al Qur’an. Di samping itu, beliau juga ingin menghubungkan kehidupan mereka dengan tarbiyah Al Qur’an dan hukum-hukumnya.

Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa model tafsir terus berubah sesuai dengan kondisi mufassir dan masanya. Ini sudah menjadi hukum alam, seperti apa yang telah kami ungkapkan terdahulu. Para mufassir ketika menulis tafsir ayat Al Qur’an pada dasarnya mereka menuangkan pemahamannya tentang Al Qur’an. Alatnya adalah akal mereka. Objek ilmunya adalah lingkungan dan ilmu pengetahuan zaman mereka. Oleh karena itu, hal-hal di atas  harus tergambar dengan jelas di dalam literatur dan wadah gagasan-gagasan mereka.

Imam Hasan Al Banna pernah ditanya tentang tafsir yang baik dan metode memahami Al Qur’an yang paling tepat. Beliau menjawab: “Hatimu.” Hati seorang mukmin tidak diragukan lagi adalah tafsir Kitabullah yang paling baik. Sedangkan metode memahami Al Qur’an yang paling tepat adalah membaca Al Qur’an dengan tadabbur dan khusyuk, memohon kepada Allah subhanahu wa ta’ala petunjuk dan kebenaran, memusatkan pikiran saat tilawah, mengiringi tilawah dengan membaca sirah nabawiyah, memerhatikan asbâb an-nuzûl dan kaitannya dengan sirah. Dengan metode seperti ini, seseorang akan mendapatkan pertolongan terbesar dalam pemahaman yang benar lagi sempurna.

Jika seseorang membaca buku-buku tafsir, hendaklah berkonsentrasi pada makna lafadz yang tersirat atau pada kalimat yang belum tahu maksudnya, atau mengundang rasa keingintahuan dalam memahami Al Qur’an. Sebab semua itu dapat membantu pemahaman, sementara pemahaman itu adalah cahaya yang memancar dari dalam hati yang paling dalam. Di antara wasiat Ustadz Imam Syaikh Muhammad Abduh kepada murid-muridnya adalah:

“Dawamkan (kontinukan) membaca Al Qur’an, mempelajari perintah dan larangan-Nya, nasihAt nasihat dan hikmahnya, sebagaimana dibacakan kepada kaum mukminin saat turun wahyu. Dan perhatikanlah sendi-sendi tafsir agar dapat memahami lafadz yang belum kalian ketahui artinya, atau hubungan kata dengan yang lain, yang disembunyikan penghubungnya. Kemudian pergilah kepada apa yang diajarkan oleh Al Qur’an. Dan bawalah dirimu kepada apa yang dibawa olehnya.”

Dengan demikian, tidak diragukan lagi bahwa orang yang menempuh jalan seperti di atas, pada suatu saat ia akan menemukan dampak positif di dalam dirinya, kerajaan yang akan membuat pemahaman memasuki jiwanya, serta cahaya yang akan menerangi kehidupan dunia dan akhiratnya, insya Allah.[7]


[1] Lihat Al Jâmi’ li Ahkâm Al Qur’an karya ath-Thabrânî Jilid 1 hlm. 342 dari Abû Hurairah, tahqiq oleh Hamdi bin Abdul Majid as-Salafi, Beirut: Muassasah Ar Risâlah, cetakan 1 tahun 1405 H/1984 M. dan Mujma’ az Zawâ’id.

[2] Lihat Al Jami’li Ahkâm Al Qur’an karya Al Qurthubî, Jilid 1, hlm. 29.

[3] Lihat Sunan Tirmidzî, Jilid 5 hlm. 200, “Kitab Tafsir Al Qur’an dari Rasulullah Shalallahu ‘alayhi wa sallam Bab. Penafsiran Al Qur’an dengan Rasio. “Tirmidnuî berkata: “Hadis ini hasan gharib.”Al Qurthubî berkata: “Salah satu perawinya dipermasalahkan.”

[4] Majalah Asy Syihâb, Tahun 1 Edisi 1, hal. 10-23, 10 Muharram 1367 H/ 14 November 1947 M. pendapat ini dipilih oleh Imam Al Banna, di samping Ibnu ‘Athiyah dan beberapa ahli ilmu. Lihat Al Jami’ Li Ahkâm Al Qur’an Jilid 1 hlm. 27-28.

[5] Lihat Al Jâmi’ li Ahkâm Al Qur’an karya Al Qurthubî, Jilid 1 hlm. 13.

[6] Hasan Al Banna, majalah Asy Syihâb, Tahun pertama Edisi 1, hlm. 1-14, 1 Muharram 1367 H/ 14 Nopember 1947 M.

[7] Ibid