Tafsir dan Mufassir (2)

Imam Al Banna dan Tafsir

Imam Al Banna dalam menulis tafsir Al Qur’an menggunakan dua manhaj. Pertama, tafsir manhaji atau tafsir istilahi, atau yang lebih dikenal oleh mufassirîn bi ar-ra’yi (rasio). Kedua, manhaj azh-zhilâl dan khawâtiri Al Qur’aniyah. Menurut Imam Al Banna, perbedaan kedua manhaj ini sangat jelas.

Tafsir manhaj adalah tafsir yang ditulis oleh Imam Al Banna dengan menggunakan manhaj yang jelas dan ditentukan sebelumnya. Dengan manhaj ini, beliau melangkah mematuhi rambu-rambunya. Beliau menggunakan manhaj ini ketika menulis tafsir di majalah Asy Syihâb di mana beliau menentukan manhaj terlebih dahulu sebelum penulisan. Manhaj ini dinamakan “Maqâshid Al Qur’an” (maksud Al Qur’an). Beliau juga menerapkan manhaj ini di dalam majalah Al Manâr sebagai penerus manhaj Sayyid Rasyid Ridha.

Di dalam tafsir tipe pertama ini kita dapat melihat bahwa Imam Al Banna memulai penulisan tafsirnya dari awal Al Qur’an atau dari tempat tertentu. Sebab, beliau ingin menyelesaikan tafsirnya dengan menggunakan manhaj ini, dan ingin menjelaskan makna dan tujuan ayat serta hukum dan pelajaran-pelajaran yang terkandung di dalamnya. Di samping itu, di dalam tafsir ini, Imam Al Banna menambahkan beberapa perbaikan atau solusi yang beragam yang digali dari ayat-ayat Al Qur’an. Dan ini banyak kita temukan di dalam pembahasan pelengkap seputar ayat, baik dalam persoalan tarbiyah atau problem kemanusiaan atau masalah-masalah lainnya. Beliau, dalam kesempatan ini, banyak menghindari hal-hal yang berhubungan dengan filsafat. Sebab, dalam pandangannya, hal itu tidak ada manfaatnya sama sekali.

Imam Hasan Al Banna juga tidak lupa mencantumkan pendapat-pendapat yang ma’tsur (diriwayatkan secara sahih) dan hadist-hadist yang berhubungan dengan makna ayat. Di samping itu, beliau berusaha keras memadukan pendapat-pendapat yang berbeda atau bertentangan. Dan juga tidak ketinggalan, beliau mencoba mentarjih (menguatkan pendapat tertentu) apabila dibutuhkan dengan menggunakan perangkat-perangkatnya.

Adapun di dalam manhaj zhilâlî dan khawâtiri Imam Hasan Al Banna tidak menggunakan langkah-langkah di atas. Beliau lebih menitikberatkan pada pesan-pesan dan tujuan-tujuan mendasar yang terkandung di dalam Al Qur’an dan misi pembaruan yang tersirat di dalamnya serta perpaduan keduanya yang mengetuk hati sang imam untuk membahasnya, khususnya peristiwa-peristiwa yang terjadi pada hidupnya dan dapat menyentuh nuraninya yang paling dalam.

Oleh karena itu, Imam Al Banna tidak terlalu memedulikan urutan ayat dalam menulis tafsir model manhaj zhilâlî dan khawâtiri. Beliau memilih ayat atau surat yang berhubungan dengan realitas sosial yang akan dijadikan sebagai topik pembahasan, sehingga diharapkan bisa menjadi obat bagi penyakit-penyakit sosial atau dapat mentarbiyah individu atau dapat menyentuh hati nurani. Oleh karena itu, penulisan dilakukan dengan cara menjelaskan makna yang dimaksud oleh ayat secara langsung, kemudian mencantumkan makna yang lain secara global saja. Di sini, Imam Al Banna tidak banyak menyinggung masalah istinbâth (penggalian) hukum dan pelajaran-pelajaran yang dapat diambil. Dan tidak juga mengutip ucapan-ucapan yang ma’tsûr dan pendapat-pendapat yang terkait dengan topik, kecuali hanya mengungkap sekilas untuk menguatkan makna yang ingin diungkapkan.

Manhaj ini banyak diterapkan oleh Imam dalam tulisan-tulisannya di koran-koran dan majalah-majalah. Beliau juga banyak menggunakan dalam khutbah-khutbah dan ceramah yang disampaikan pada khutbah Jumat, dalam seminar-seminar dan kunjungan-kunjungannya. Contoh yang paling konkret adalah tulisannya di tabloid mingguan Al Ikhwân Al Muslimîn pada dekade tahun 1930-an, di majalah An Nadzîr dan majalah Al Ikhwân pada tahun 1940-an. Namun, sebagian besar yang beliau lakukan adalah ceramah di mimbar-mimbar dan berdiskusi bersama Ikhwan.

Untuk merealisasikan manhaj yang pertama (tafsir manhaji), Imam Al Banna melakukan tiga usaha yaitu:

  1. Ketika beliau menangani rubrik agama pada majalah mingguan Al Ikhwân Al Muslimîn, beliau menulis artikel “Bagaimana Aku Menulis Rubrik Agama pada Majalah Al Ikhwân Al Muslimîn?” Di dalam artikel tersebut, Imam membahas tentang manhaj komprehensif untuk menulis tafsir Al Qur’an. Manhaj sederhana ini mengacu pada penjelasan singkat makna ayat-ayat Al Qur’an yang memadukan antara pemahaman terhadap maksud (pesan) ayat dan pengaruhnya bagi para pembaca serta pengetahuan umum tentang hukum dan hikmah yang terkandung. Imam hanya sempat menafsirkan surat Al Fâtihah dengan manhaj ini. Dan seterusnya diserahkan kepada Syekh Mushtafa ath-Thayr.
  2. Pada saat beliau diserahi amanah untuk menulis bab pada majalah Al Manâr setelah Muhammad Rasyid Ridha, beliau menafsirkan Al Qur’an dengan metode yang sudah digariskan oleh Muhammad Rasyid Ridha yang mengadopsi dari Imam Muhammad Abduh. Namun, hal itu tidak berlangsung lama, sebab majalah tersebut disita setelah Imam Asy Syahid menerbitkan enam edisi yang memuat tafsir tujuh ayat surat ar-Ra’du, tepatnya setelah menyelesaikan jilid ke-35.
  3. Pada waktu menulis di majalah Asa-Syihâb, Imam Al Banna memulai tafsirnya dengan surat Al Fâtihah. Beliau berniat untuk menyelesaikan tafsirnya sampai di akhir mushaf. Manhaj yang beliau gunakan diberi nama Maqâshid Al Qur’an Al Karîm. Namun, majalah ini akhirnya disita juga setelah mengeluarkan edisi kelima. Pada majalah ini beliau hanya sempat menafsirkan surat Al Fâtihah dan lima ayat pertama surat Al Baqarah.

Sedangkan manhaj kedua manhaj zhilâl dan khawâthir qur’aniyah merupakan manhaj yang banyak ditempuh oleh Imam Hasan Al Banna dan diperlihatkan kepada Ikhwan di atas lembaran-lembaran, majalah-majalah atau pada kuliah mingguan atau ketika beliau melakukan kunjungan-kunjungan di wilayah Mesir.

Inilah pusaka intelektual Imam Al Banna yang sangat beragam. Kebanyakan membahas seputar satu ayat atau beberapa ayat Al Qur’an. Dan di antaranya menafsirkan semua ayat dalam satu surat Al Qur’an. Imam Hasan Al Banna biasanya memilih ayat yang akan ditafsirkan –yaitu ayat yang dapat memenuhi kebutuhan Ikhwan yang ingin mengetahui makna tertentu yang dapat mentarbiyah dirinya –atau barangkali untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan sosial dan agama Islam. Masyarakat tentunya sangat membutuhkan pengetahuan tentang  akar permasalahan, identifikasi dan opini yang berkembang, serta cara atau metode yang tepat untuk menyelesaikannya.

Manhaj Maqâshid Al Qur’an

Melihat banyaknya ayat Al Qur’an yang ditafsirkan oleh Imam Asy Syahid Hasan Al Banna, kami perlu membagi tulisan Imam seputar tafsir Al Qur’an kepada dua macam. Masing-masing kami bukukan dalam satu jilid.

Jilid pertama mengandung ayat-ayat yang ditafsirkan oleh Imam Asy Syahid secara manhaji (metode tafsir manhaji), yaitu ayat-ayat yang dimuat di majalah Al Manâr dan ditafsirkan dengan menggunakan manhajnya. Kemudian ayat-ayat yang sudah ditafsirkan dan dimuat di majalah Asy Syihâb dengan mengacu kepada manhaj yang beliau format sendiri, yaitu manhaj Maqâshid Al Qur’an Al Karîm, lalu kami tambahkan kajian-kajian hari Selasa (hadîts Ats tsulâtsa) yang dimuat oleh majalah Al Ikhwân Al Muslimîn pada dekade tahun 1940-an. Hadîts Ats Tsulâtsa dianggap sebagai realisasi awal manhaj Maqâshid Al Qur’an, karena Imam Asy Syahid dari sini memulai memerhatikan tema-tema tentang tujuan dan misi Al Qur’an di tengah-tengah ceramahnya, pada kajian Selasa (hadîts Ats tsulâtsa). Lantas beliau menulis tafsir Al Qur’an secara lengkap di majalah Asy Syihâb dan memilih manhaj Maqâshid Al Qur’an sebagai acuannya.

Oleh karena itu, Anda akan melihat manhaj Maqâshid Al Qur’an Al Karîm dalam bab “Tafsir Al Qur’an” di dalam Hadîts Ats Tsulâtsa lebih sederhana dibandingkan yang terdapat pada majalah Asy Syihâb. Ini adalah hal yang wajar, karena suatu fikrah pada awal dibentuknya dalam keadaaan sederhana dan lemah. Namun, setelah berkembang, ia akan menjadi semakin kuat dan sendi-sendinya akan tampak serta cahayanya akan meluas menyinari sekitarnya. Demikian juga hadîts Ats tsulâtsa, Imam Asy Syahid tidak menulisnya, akan tetapi ditulis oleh beberapa Ikhwan yang diambil dari ceramah-ceramah beliau yang disampaikan pada hari Selasa yang sejuk.

Di samping itu, karena Hadîts Ats Tsulâtsa (kajian Selasa) bukan murni kajian tafsir, akan tetapi merupakan kajian umum yang dirintis oleh Imam Al Banna untuk merespons fenomena yang berkembang dalam masyarakat Muslim.

Kami akan mempertahankan dan menjaga rentetan sejarah tahapan-tahapan perkembangan tafsir manhaji karya Imam Asy Syahid Hasan Al Banna ini. Kami mulai dengan tafsirnya yang dimuat pada majalah Al Manâr. Kemudian penafsiran Al Qur’an yang terdapat di Hadîts Ats Tsulâtsa yang melahirkan manhaj atau fikrah Al maqâshid berkembang menjadi matang.

Kami sengaja tidak memasukkan muhawalah Imam Al Banna dalam majalah mingguan Al Ikhwân Al Muslimîn pada dekade tahun 1930-an ke dalam bagian ini. Sebab, beliau hanya menulis satu artikel, yaitu tafsir surat Al Fâtihah. Kami menganggap bahwa hal itu belum dapat mewakili seluruh manhaj yang ditulis oleh Imam Al Banna saat itu.

Sedangkan jilid kedua khusus untuk pelajaran-pelajaran Al Qur’an yang digunakan oleh Imam Al Banna untuk mengobati penyakit-penyakit individu dan sosial. Hal tersebut dijelaskan oleh beliau di tengah-tengah penafsirannya terhadap ayat-ayat Al Qur’an yang disesuaikan dengan kondisi umat Islam saat itu. Dan kami akan menyajikan apa saja yang telah ditulis oleh Imam Asy Syahid di dalam jilid kedua ini berdasarkan urutan sejarahnya.

Kami mulai dengan tulisan Imam Asy Syahid di majalah Al Ikhwân Al Muslimîn pada dekade tahun 1930-an. Kemudian artikel-artikelnya yang dimuat pada majalah An Nidhâl, lalu artikel-artikel beliau yang terdapat di majalah An Nadzîr. Dan terakhir, tafsir Al Qur’an beliau yang ditulis di majalah mingguan Al Ikhwân Al Muslimîn pada dekade tahun 1940-an.

Jilid kedua kami beri judul Khawatîr min Wahyi Al Qur’an, untuk membedakan dari judul jilid pertama, yaitu Tafsîr. Hal itu dikarenakan perbedaan karakteristik manhaj yang disusun oleh Imam Al Banna pada masing-masing jilid.

Di dalam kedua jilid itu, kami berusaha keras untuk mentakhrij (mengeluarkan) ayat dan hadist, mencantumkan biografi tokoh dan menjelaskan istilah-istilah asing serta membuat mukadimah yang akan mengantarkan pembaca kepada isi pesan yang dimaksud. Di samping itu, kami juga menekankan sisi-sisi bahasa, serta memerhatikan tanda baca dan lain-lain. Kami juga tidak melakukan studi analisis pada kedua jilid tersebut, agar memberi kesempatan kepada generasi selanjutnya untuk melakukannya. Allah subhanahu wa ta’ala berada di balik semua keinginan. Dia segalanya bagi kami, dan Dia adalah sebaik-baik penolong.