Allah nama teragung Sang Pencipta subhanahu wa ta’ala, dan nama sebagai pusat nama-nama-Nya. Kata yang tidak diduakan dan tidak pula dijamakkan Alif dan lam dari bentukannya tidak berarti untuk makrifat (sesuatu yang sudah diketahui), sebab nama-Nya yang paling makrifat. Al-Khathâbî[41] berkata: “Dalilnya adalah masuknya huruf nida’ (panggilan) di dalamnya.” Seperti ucapanmu: Ya Allah. Huruf nida’ biasanya bertemu alif dan lam. Bukankah engkau tidak boleh mengatakan: Yâ ar-Rahman dan Yâ ar-Râhîm sebagaimana engkau mengatakan ‘Ya Allah.’ Ini menunjukkan bahwa keduanya adalah bentukan isim.
Allah adalah nama yang mulia untuk Dzat Yang Maujud, al-Haq. Yang Maha Pencipta. Dialah Pencipta yang disifati dengan sifat Rubbubiyah. Sendiri dalam wujud hakiki. Tidak ada Tuhan selain Dia. Janganlah Anda menyangka bahwa saya berusaha menafsirkannya untuk membatasi sifat-sifat Allah subhanahu wa ta’ala. Kesempurnaan Allah subhanahu wa ta’ala melebihi ini! Tetapi saya ingin meringkaskan kepada Anda pandangan Islam yang mengenyangkan ruh dan menenangkan hati di dalam hal-hal yang wajib diyakini di dalam Dzat dan sifat-sifat Pencipta, dengan harapan dapat memenuhi sedikit dari yang banyak. Dan ketahuilah bahwa Islam menjelaskan garis besar perkara sebagai berikut:
Ringkasan sesuatu yang wajib diyakini oleh Muslim:
(1). Tidak ada perbedaan antara hakikat dan mâhiyah (eksistensi). Ini sangat berbeda dengan mâhiyah Tuhan dan mâhiyah ciptaan. Al-Qur’an berkata:
“(Yang memiliki sifat-sifat yang) demikian itu ialah Allah Tuhan kamu; tidak ada Tuhan selain Dia; Pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Dia; dan Dia adalah Pemelihara segala sesuatu. Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-An’âm [6]: 102-103)
Ayat ini mengisyaratkan tentang tidak adanya pertentangan bagi mâhiyah. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan- pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.” (QS. Asy-Syûrâ’ [42] : 11)
Ayat ini menjelaskan secara implisit terdapat perbedaan besar antara pencipta dan makhluk. Di dalam hadits Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam bersabda: berpikirlah tentang nikmat Allah dan jangan berpikir tentang ciptaan Allah.[42] Sudah semestinya peran ini tidak diambil oleh Islam, sebab akal manusia sebagai tiang akidah Islam sampai sekarang tidak dapat berfungsi secara total di hadapan semua eksistensi sesuatu (hakikat). Dan setiap yang sampai kepada akal adalah nisbat-nisbat, sifat-sifat dan akibat-akibat, sedangkan hakikat sesuatu tidak akan pernah dijangkau oleh akal. Islam tidak pernah membebankan kepada manusia sesuatu yang tidak dapat diketahui oleh akal dan pikiran.
(2). Mencapai puncak makrifat sifat-sifat Allah subhanahu wa ta’ala, mengetahui kesempurnaan dan karakteristik uluhiyah dengan cara berfikir tentang alam dan membebaskan akal dari pengaruh, hawa nafsu, dan tujuan sesaat agar sampai kepada hukum yang benar.
Al-Qur’an dipenuhi dengan motivasi untuk merenungkan alam dan makhluk-makhluk Allah subhanahu wa ta’ala. Al-Qur’an telah menyebut akal pada lebih dari 40 tempat, yang diiringi dengan penghargaan dan penghormatan, mendorong untuk bersungguh-sungguh bekerja, mengetahui hakikat serta berjalan dalam menyibak tabir misterinya. Hal tersebut dicontohkan dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan”. (QS. Al-Baqarah [2] : 164)
“Tidakkah kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan dari langit lalu Kami hasilkan dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka macam jenisnya. Dan di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat. Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Fâthir [35] : 27-28)
Di dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala memberi semangat agar manusia mengungkap misteri tumbuh-tumbuhan, hewan, dan benda dengan segala macamnya. Kemudian timbul ketakutan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, karena terdapat hubungan antara makrifat kauni dengan makrifat penciptanya. Demikian juga di dalam ayat-ayat Al-Qur’an pada surat Ar-Ra’du.
(3). Pengukuhan sifat-sifat kesempurnaan bagi Sang Pencipta sebagai hasil perenungan terhadap alam ini.
Di dalam Islam Allah subhanahu wa ta’ala disifati dengan wujud, ilmu, kuasa, hidup, mendengar, melihat, keindahan, kebijaksanaan, kehendak dan lain-lain dengan ikrar bahwa cara dan batasan-batasannya tidak diketahui, sebab melekat pada Dzat-Nya. Akan tetapi, kita mengetahuinya dengan yakin dari kejelasan efeknya di alam ini. Allah subhanahu wa ta’ala Mahabijaksana dalam menampakkan di dalam alam-Nya rahasia-rahasia kebijakan-Nya. Dia Mahakuasa dan Maha Mengetahui atas segala sesuatu. Sebab, alam yang indah ini tidak akan terwujud kecuali karena ilmu yang luas dan kekuasaan yang tak terbatas. Dan Al-Qur’an menghitung sifat-sifat ini di dalam berbagai kesempatan, seperti firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Katakanlah: “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.” (QS. Al-Ikhlâsh [112] : 1-4)
(4). Menghilangkan sifat-sifat persamaan dan kekurangan diri Sang Pencipta.
Maka, pen-jasad-an kepada-Nya harus dihilangkan. Sebab, materi terus berubah, sedangkan Pencipta harus tetap selamanya. Demikian juga tatslîts (trinitas) harus dinafikan. Sebab, trinitas itu susunan (hierarki), sedangkan Tuhan adalah Esa. Kebapakan dan keanakan terpisah dari sifat-sifat al-Khalik, karena keduanya adalah bagian, padahal Pencipta tidak terbagi-bagi. Dan demikian seterusnya, Al-Qur’an telah menetapkan hal itu dan memperdebatkannya dengan mantik yang cerdas dan hujjah yang kuat.
“Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai ‘Arsy daripada apa yang mereka sifatkan. Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai.” (QS. Al-Anbiyâ’ [21] : 22-23)
“Katakanlah: “Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui?” Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.” Katakanlah: “Maka apakah kamu tidak ingat?” Katakanlah: “Siapakah Yang Empunya langit yang tujuh dan Yang Empunya ‘Arsy yang besar?” Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.” Katakanlah: “Maka apakah kamu tidak bertakwa?” Katakanlah: “Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (azab)-Nya, jika kamu mengetahui?” Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.” Katakanlah: “(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu?” Sebenarnya Kami telah membawa kebenarankepada mereka, dan sesungguhnya mereka benar-benar orang-orang yang berdusta. Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada tuhan (yang lain) beserta-Nya, kalau ada tuhan beserta-Nya, masing-masing tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakannya, dan sebagian dari tuhan-tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain. Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan itu.” (QS. Al-Mu’minûn [23] : 84-91)
Dan penjelasan tentang trinitas atau semacamnya di dalam Al-Qur’an lebih sedikit jumlahnya.
(5). Menguatkan hubungan antara hati nurani manusia dan Pencipta agar manusia sampai pada ma’rifah ruhiyah.
Dan makrifat semacam ini merupakan jenis makrifat yang tinggi dan benar. Sebab, hati nurani manusia lebih berkompeten dalam menyingkap misteri nonmateri daripada berpikir tentang materi dan angka-angka. Islam banyak berbicara dengan hati nurani manusia dan membangkitkan panca indera agar sampai kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan terbang menuju dermaga surga yang paling tinggi. Al-Qur’an berkata:
“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’du [13] : 28)
Berkenaan dengan itu, seorang filosof-kosmologi berkata: “Sesungguhnya hati nurani kami lebih dulu menyaksikan wujud Allah subhanahu wa ta’ala daripada akal kami.” Dan Al-Qur’an menggambarkan makna ini di dalam ayat:
“Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilanglah siapa yang kamu seru kecuali Dia. Maka tatkala Dia menyelamatkan kamu ke daratan, kamu berpaling. Dan manusia itu adalah selalu tidak berterima kasih.” (QS. Al-Isrâ’ [17] : 67)
Inilah hubungan yang tersembunyi dari hati nurani manusia dengan Sang Pencipta yang tampak jelas saat angan-angan memecahkan kebuntuan-kebuntuan. Hubungan seperti inilah yang banyak dilakukan oleh Islam, agar menjadi cahaya yang dapat menyinari manusia dalam mengenal Penciptanya.
(6). Perintah kepada orang-orang mukmin agar mendapatkan nilai akidah amaliah ini.
Ketika seorang mukmin meyakini bahwa Rabbnya Mahakuasa, maka nilai dari akidah amaliahnya adalah bertawakkal dan bersandar kepada-Nya. Jika ia percaya bahwa Allah subhanahu wa ta’ala Maha Mengetahui, maka ia akan merasa khawatir dan takut. Andaikata ia meyakini bahwa Dia Esa, maka ia tak akan meminta kepada yang lain dan tidak menghadapkan wajahnya kecuali hanya kepada-Nya. Dan apabila ia memercayai bahwa Dia Mahaagung, maka ia akan mengagungkan dan mencintai-Nya. Demikian seterusnya. Beberapa ayat Al-Qur’an secara implisit menjelaskan dalam banyak tempat. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman[594] ialah mereka yang bila disebut nama Allah[595] gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. (Yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezeki (nikmat) yang mulia.” (QS. Al-Anfâl [8] : 2-4)
Ayat-ayat semacam ini banyak terdapat di dalam kitab Allah subhanahu wa ta’ala. Setiap akidah yang pengaruhnya tidak jelas dan tidak dapat membawa pemilliknya pada kebutuhan-kebutuhan pokoknya, maka dia adalah akidah kosong yang lemah dan tidak dapat mengantarkannya kepada iman yang sempurna!
Barangkali untuk lebih menyempurnakan tulisan ini, akan saya nukilkan di hadapan akhi pembaca beberapa ungkapan orang-orang mukmin yang benar dalam makrifat kepada Rabb yang Mahaagung dan Mahasuci:
Dza’lab telah bertanya kepada ‘Ali bin Abi Thalib: “Apakah engkau melihat Tuhanmu wahai Amirul Mukminin?” Lantas beliau menjawab: “Apakah aku menyembah sesuatu yang tidak aku lihat?” Kemudian penanya bertanya: “Bagaimana engkau melihatnya?” Lalu beliau menjawab: “Pandangan tidak akan dapat mengetahui-Nya dengan penglihatan mata, akan tetapi mengetahuinya dengan hakikat keimanan. Dekat dengan sesuatu namun tidak menyentuh, jauh dari sesuatu tetapi tidak berpisah, berkehendak tetapi dengan niat, berbuat tetapi tidak dengan anggota badan, lembut tetapi tidak disifati dengan kesamaan, besar yang tidak disifati dengan kekasaran, melihat tetapi tidak disifati dengan indra. Penyayang yang tidak disifati dengan kelembutan hati. Setiap mata terpesona melihat keagungan-Nya. Dan setiap hati akan gemetar karena takut kepada-Nya.”
Dan di antara ucapan tentang hal ini adalah tidak dapat dicapai oleh jauhnya keinginan dan tidak diperoleh oleh kedalaman kecerdasan. Sifat-Nya tidak terbatas dan tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Hukum yang pertama adalah mengenalinya (ma’’rifah). Kesempurnaan makrifatnya adalah memercayai-Nya. Kesempurnaan memercayai-Nya adalah menauhidkan-Nya. Dan kesempurnaan menauhidkan-Nya adalah ikhlas kepada-Nya.[43]
Beberapa ulama ditanya tentang sifat-sifat-Nya, mereka berkata: “Dia Esa sebelum ada batasan-batasan huruf-huruf.” Yang lain ditanya tentang tauhid, mereka menjawab: “Engkau mengetahui bahwa Dia tidak sama dengan dzat-dzat, namun tidak menafikan sifat.”
Sebaik-baik pendapat yang tanzîh (pensucian adalah pendapat beberapa orang-orang yang saleh: “Engkau mensucikan Tuhan kami dari keadaan makhluk-Nya. Tidak ada manunggal dengan makhluk-Nya. Tidak ada peraikan dalam perbuatan-Nya. Mereka dibedakan dengan kedahuluan-Nya sebagaimana Dia dibedakan dengan kebaruan mereka. Jika engkau bertanya: kapan? Jawabnnya: keberadaan-Nya mendahului waktu! Jika engkau bertanya: huwa? Padahal ha dan wawu adalah ciptaan-Nya! Jika engkau bertanya: di mana? Wujud-Nya mendahului tempat. Makrifat-Nya adalah Tauhid-Nya, dan tauhid-Nya membedakan dengan makhluk-Nya. Sesuatu yang terlintas dalam benak berbeda dengan-Nya. Orang yang membuat Dia terlintas di benaknya, maka akan menuju kepada penggambaran tentang Dia. Dia tidak dapat disorot oleh mata. Dia tidak dapat diterima oleh dugaan-dugaan tanpa pendalaman. Dan kedatangan-Nya tanpa ada perpindahan.”
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dialah yang awal dan yang akhir, yang lahir dan yang bathin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu” [Q.s. al-Hadîd [57] : 3)
“(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan- pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat. (Q.s. Asy Syûra [42] : 11)
“Allah-lah Yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arasy, dan menundukkan matahari dan bulan. Masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan (makhluk-Nya), menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), supaya kamu meyakini pertemuan (mu) dengan Tuhanmu.” (Q.s. ar-Ra’du [13] : 2)
Sebelum membicarakan tentang peninggian langit, saya memalingkan pandangan kepada dua hal penting, yaitu hikmah disebutkannya fenomena alam di dalam Al-Qur’an. Dan mengetahui proses sampainya akal manusia dalam mengenal hakikat fenomena tersebut.
[41] Namanya Hamid bin Muhammad bin Ibrâhim bin al-Khaththâb al-Basanî, Muhaddits dari ahli Basan (dari Negara Kabil), keturunan Zayd bin Khaththâb, saudara ‘Umar bin Khaththâb. Dia mengarang Ma’âlim as-Sunnah wa Bayân I’jaz Al-Wur’an wa Ishlâhu Ghalath al-Muhadditsîn, Gharîb al-Hadîts. Lahir pada tahun 319 H/ 931 m. MENINGGAL TAHUN 386 h/998 M. Lihat Wafiyât al-A’yân wa Anbâ’u Abnâ’I az-Zamân karya Ibnu Khalkân Jilid 1 hlm 166 cetakan Yaman-Mesir, 130 H. Lihat Itsbât ar-Ruwah Jillid 1 hlm. 125; al-A’lam karya Zarkalî Jilid 2 hlm. 273, cetakan kedua, 1373 H/1954 M.
[42] Imam asy-Syahid telah mengomentari hadis ini: Hadis ini diriwayatkan dengan beberapa lafadz yang berbeda, namun artinya sama. Al-Hafidz al-‘Iraqî di dalam takhrij hadis-hadis Ihya’ berkata: hadis ini diriwayatkan oleh Abu Na’im di buku al-Hilyah Marfu’ah dengan sanad yang dhaif. Diriwayatkan juga oleh al-Ashbahâni di dalam buku at-Targhîb wa at-Tarhîb dari sisi lain yang lebih sahih. Diriwayatkan oleh ath-Thabrâni di buku al-Awsath dan Bayhaqî di buku asy-Sya’bu dari hadis Ibnu ‘Umar, dia berkata: sanadnya bermasalah. Aku berpendapat, di dalamnya ada Wazi’ bin Nafi’; dia adalah matrûk. Tirmidzî menambahkan di buku asy-Syarah, aku berkata: hadis Ibnu ‘Umar lafadznya: “Berpikirlah tentang rahmat Allah dan jangan berpikir tentang Allah.” Demikian juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dunyâ di dalam buku at-Tafakur, Abû Syekh di al-Azamah, ath-Thabrânî di al-Awsath. Ibnu ‘Adî, Ibnu Mardawaih, al-Bayhaqî mendhaifkan. Al-Ashbahânî dan Abû Nashr di al-Ibânah dan dia berkata: gharb. Diriwayatkan oleh Abû Syekh dari hadis-hadis Ibnu Abbas: “berfikirlah tentang ciptaan dan jangan berpikir tentang pencipta, karena kalian tidakakan mampu meraih-Nya.” Dan diriwayatkan oleh Ibnu Najjâr dan ar-Râfi’I, dari dari hadis Abû Hurairah: Berpikirlah tentang ciptaan Allah dan jangan berpikir tentang Allah.” Riwayat-riwayat ini jumlahnya banyak. Berkumpulnya akan menghasilkan kekuatan. Oleh karena itu, menjadi sahih, sebagaimana dikatakan oleh al-Hafidz as-Sakhâwî di buku al-Maqâshid.
[43] Imam Asy Syahid menyebutkan bahwa penisbatan isi Nahjul Balâghah kepada ‘Ali bin Abi Thalibmasih diperselisihkan oleh para sastrawan; apakah ini ucapan Ali atau ucaoan Syarif. Maka, artinya dari sisi pengagungan Allah SWT dan memperindah pujian kepada-Nya