Tag Archives: Attabiq Luthfi

Menjadi Hamba-hamba yang Diridhai

الْحَمْدُ للهِ بِهَدْيِهِ يَهْتَدِي الْمُهْتَدُوْنَ وَاْلحَمْدُ للهِ بِنِعَمِهِ يَشْكُرُ الشَّاكِرُوْنَ وَالْحَمْدُ للهِ فِيْ سَبِيْلِهِ يُجَاهِدُ الْمُجَاهِدُوْنَ َواْلحَمْدُ للهِ وَعَلىَ اللهِ فَلْيَتَوَكَّلِ اْلمُؤْمِنُوْنَ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ اْلمَلِكُ اْلحَقُّ اْلمُبِيْنَ وَأشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ اْلمَبْعُوْثُ رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ، أَمَّا بَعْدُ: فَقَدْ قَالَ عَزَّ وَجَلَّ فِيْ كِتَابِهِ اْلعَزِيْزِ، أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ  بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ: وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَشۡرِى نَفۡسَهُ ٱبۡتِغَآءَ مَرۡضَاتِ ٱللَّهِ‌ۗ وَٱللَّهُ رَءُوفُۢ بِٱلۡعِبَادِ  (البقرة: ٢٠٧ )

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah.

Alhamdulillah, semakin kita bersyukur semakin baik amal ibadah kita dan semakin meningkat. Semoga rasa syukur ini akan senantiasa menjadi spirit terbesar kita untuk menghadirkan kebaikan dimanapun kita berada. Rasa syukur inilah yang selalu memotifasi Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam menjalankan ibadah shalat malam sampai kaki-kaki Rasulullah bengkak. Ketika ditanya oleh Aisyah Radhiyallahu ‘Anhtentang hal ini, maka jawaban singkat beliau adalah:

«أَفَلاَ أُحِبُّ أَنْ أَكُوْنَ عَبْدًا شَكُوْرًا»  (أخرجه البخاري و مسلم)

 “Tidakkah aku patut menjadi hamba Allah yang bersyukur”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Shalawat disertai salam senantiasa kita sampaikan kepada manusia pilihan sepanjang zaman Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam yang telah berjasa besar membalikkan kehidupan manusia dari keadaan jahiliyah menuju kehidupan yang baik (hayatan thoyyibah) dibawah naungan rahmat dan ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala. Semoga kita mampu mempertahankan estafeta perjuangan Rasulullah dan para sahabatnya hingga akhir zaman sehingga kita layak dan berhak mendapatkan syafa’atnya di hari kiamat kelak.

Jamaah Shalat Jum’at yang dimuliakan Allah,

Sesungguhnya generasi terbaik adalah generasi Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, kemudian dilanjutkan oleh generasi setelahnya dan begitu seterusnya sebagaimana yang dinyatakan dalam sebuah hadits:

عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « خَيْرُ الْقُرُونِ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ » (أخرجه البخاري)

“Sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian generasi setelahnya dan kemudian generasi berikutnya”. (HR. Bukhari)

Kebaikan generasi di era Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam ditandai dengan hadirnya manusia-manusia terbaik dari berbagai aspeknya; akidah, ibadah, akhlak, kepemimpinan, kejujuran, tawadhu’, zuhud dan sifat-sifat mulia lainnya. Mereka mampu mempertaruhkan raga, fikiran dan jiwa mereka semata-mata untuk meraih ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karenanya mereka berhak mendapat kehormatan berupa sebutanرضى الله عنهم “Orang-orang yang diridhai Allah” yang merupakan gelar tertinggi sepanjang zaman, dan tiada balasan lain bagi mereka yang telah mencapai gelar tersebut melainkan syurga yang penuh dengan kenikmatan:

جَزَآؤُهُمۡ عِندَ رَبِّہِمۡ جَنَّـٰتُ عَدۡنٍ۬ تَجۡرِى مِن تَحۡتِہَا ٱلۡأَنۡہَـٰرُ خَـٰلِدِينَ فِيہَآ أَبَدً۬ا‌ۖ رَّضِىَ ٱللَّهُ عَنۡہُمۡ وَرَضُواْ عَنۡهُ‌ۚ ذَٲلِكَ لِمَنۡ خَشِىَ رَبَّهُ (البينة: ٨ )

“Balasan mereka disisi Tuhan mereka adalah syurga ‘Adn yang mengalir dibawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya, mereka adalah orang-orang yang diridhai oleh Allah dan mereka ridha terhadapNya. Itulah (balasan) bagi yang takut kepada Tuhannya”. (QS. Al Bayyinah: 8)

Hadirin sidang Shalat Jum’at rahimakumullah

Karakteristik yang sangat menonjol dari generai terbaik umat ini seperti yang disepakati oleh mayoritas mufassir adalah kesiapan sekaligus kesigapan mereka untuk melaksanakan seluruh perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan penuh ketulusan semata-mata mengharapkan ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hal ini ditegaskan sendiri oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam salah satu firmanNya tentang mereka para sahabat Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam:

وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَشۡرِى نَفۡسَهُ ٱبۡتِغَآءَ مَرۡضَاتِ ٱللَّهِ‌ۗ وَٱللَّهُ رَءُوفُۢ بِٱلۡعِبَادِ  (البقرة: ٢٠٧ )

“Dan diantara manusia ada orang yang menjual dirinya semata-mata mengharapkan ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan Allah Maha Penyantun terhadap hamba-hambaNya”. (QS. Al Baqarah: 207)

Redaksi awal ayat di atas menggunakan ‘min tab’dh’ yang berarti sebagian. Namun muncul pertanyaan: apakah sebagian itu sebagian kecil yang berarti sedikit atau sebagian besar yang bermakna mayoritas. Dalam hal ini, terdapat sebuah kaidah “min lit tab’idh jika dalam konteks ketaatan maka maksudnya adalah sebagian kecil, namun jika dalam konteks keburukan, maka maksudnya adalah sebagian besar (mayoritas)”.  Di ayat ini, Allah berbicara tentang kebaikan yang sangat tinggi kedudukannya, yaitu mengorbankan jiwanya dalam rangka memenuhi perintah Allah semata-mata demi meraih anugerah ridhaNya. Maka, sebagian disini adalah sebagian kecil dari manusia hamba-hamba Allah yang mampu dan berhasil menunjukkan perilaku tersebut, yaitu sahabat Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. Namun sebagai bukti ‘ta’assi’ (mengambil keteladanan) kita dengan mereka, maka kita juga dituntut untuk berusaha melakukan hal yang sama sesuai dengan kemampuan sehingga kita mendapatkan kebaikan sekaligus kebahagiaan dunia dan akhirat.

Jamaah Shalat Jum’at yang berbahagia

Tentu untuk meraih sesuatu yang sangat besar nilainya memerlukan ujian, dan ujian itu merupakan sebuah keniscayaan agar benar-benar terbukti dan teruji ketaatannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala secara tulus ikhlas demi meraih ridhaNya. Diantara ujian tersebut adalah tiga hal:

Pertama, ujian dalam bentuk apa yang Allah kehendaki terjadi pada alam semesta ini  yang diistilahkan dengan konsepsi ما أراد اللهبالكون sejauh mana kita tetap yakin bahwa seluruhnya yang terjadi pada alam semesta yang berakibat baik atau buruk terhadap kehidupan kita merupakan batu ujian untuk membuktikan loyalitas kita yang tinggi kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika kita tidak ridha dengan fenomena alam, seperti banjir, kebakaran, bencana alam, gunung meletus dan lain sebagainya maka sampai disitulah keyakinan kita terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka bagaimana mungkin kita termasuk orang yang diridhaiNya apabila kita sendiri tidak ridha terhadap seluruh perbuatan Allah dalam alam semesta ini.

Kedua, ujian dalam bentuk apa yang Allah kehendaki terjadi pada diri kita yang sering disebut dengan istilah ما أراد الله بنا .  kita harus selalu yakin bahkan tambah bersyukur bahwa yang menentukan segala yang terjadi pada diri kita adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala sehingga pasti terbaik, paling bernilai maslahat, paling memberikan keberkahan dan sebagainya, karena tidak mungkin Allah memiliki ‘kepentingan’apapun dalam menentukan takdir bagi hamba-hambaNya karena memang sejatinya Allah tidak membutuhkan makhlukNya, justru sebaliknya makhluklah yang sangat berkepentingan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَمَا ڪَانَ ٱللَّهُ لِيَظۡلِمَهُمۡ وَلَـٰكِن ڪَانُوٓاْ أَنفُسَهُمۡ يَظۡلِمُونَ (العنكبوت: ٤٠ )

“Dan Allah tidak (akan pernah) menzalimi mereka (hamba-hambaNya), tetapi mereka sendiri yang berbuat zalim”. (QS. Al ‘Ankabuut: 40)

Sangat tidak tepat jika yang menentukan bukan Allah, karena jelas sangat dipengaruhi oleh berbagai kepentingan, dan sangat tidak subyektif, seperti yang sering terjadi dalam menentukan pejabat di instansi atau departemen, selalu saja dipengaruhi oleh berbagai faktor kepentingan dan keuntungan lainnya. subhanallah apa yang terjadi pada diri kita adalah untuk kebaikan dan kemaslahatan kita, baik dunia dan pastinya akhirat kelak. Dalam hal ini, Allah memberitahukan hikmah atas seluruh yang terjadi pada alam semesta dan pada diri manusia dalam salah satu firmanNya:

مَآ أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ۬ فِى ٱلۡأَرۡضِ وَلَا فِىٓ أَنفُسِكُمۡ إِلَّا فِى ڪِتَـٰبٍ۬ مِّن قَبۡلِ أَن نَّبۡرَأَهَآ‌ۚ إِنَّ ذَٲلِكَ عَلَى ٱللَّهِ يَسِيرٌ۬  (٢٢) لِّكَيۡلَا تَأۡسَوۡاْ عَلَىٰ مَا فَاتَكُمۡ وَلَا تَفۡرَحُواْ بِمَآ ءَاتَٮٰڪُمۡ‌ۗ وَٱللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخۡتَالٍ۬ فَخُورٍ (٢٣)  (الحديد: ٢٢ – ٢٣ )

“Dan musibah apa saja yang terjadi di muka bumi ini dan yang menimpa kalian melainkan seluruhnya termaktub dalam Al-Kitab (Lauh Mahfudz) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya hal yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (demikian itu) agar kalian tidak cepat berputus asa atas apa yang luput dari kalian, demikian juga agar kalian tidak menyombongkan diri terhadap apa yang Allah berikan kepada kalian. Dan Allah tidak mencintai setiap orang yang bangga lagi menyombongkan diri”.(QS. Al Hadiid: 22-23)

Hadirin jamaah Shalat Jum’at rahimakumullah

Ketiga, ujian untuk menguji apakah kita layak mendapat ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah melalui apa yang Allah tuntut dari kita untuk dilaksanakan “ما أراد الله منا”. Semakin banyak perintah Allah yang mampu kita hadirkan berarti semakin besar peluang kita meraih ridhaNya. Namun sebaliknya, semakin lamban, sedikit yang mampu kita laksanakan dari syariat Allah, berarti semakin kecil peluang tersebut. Oleh karenanya,secara korelatif Allah menyebutkan setelah ayat 207 surah Al-Baqarah adalah perintah kepada orang-orang yang beriman agar mengikuti Islam secara totalitas:

يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱدۡخُلُواْ فِى ٱلسِّلۡمِ ڪَآفَّةً۬ وَلَا تَتَّبِعُواْ خُطُوَٲتِ ٱلشَّيۡطَـٰنِ‌ۚ إِنَّهُ ۥ لَڪُمۡ عَدُوٌّ۬ مُّبِينٌ۬ (٢٠٨) البقرة: ٢٠٨

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam secara totalitas (keseluruhan), dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu”. (QS. Al Baqarah: 208)

Kaum Muslimin yang dimuliakan Allah

Perintah dalam ayat ini secara tidak langsung merupakan pengejewantahan dari kenyataan ayat sebelumnya, bahwa para sahabat rela mengorbankan segalanya dalam bentuk ketaatan atas segala perintah Allah demi meraih ridhaNya merupakan bukti bahwa mereka telah masuk ke dalam Islam secara utuh dan keseluruhan. Tidak pernah ada perintah Allah yang mereka abaikan, demikian juga tidak ada larangan Allah yang berani mereka langgar. Kepatuhan yang total terhadap seluruh perintah Allah tersebut menunjukkan bahwa mereka memang layak mendapat gelar “Radhiyallahu anhum  wa radhuu anhu”.

Disini kesungguhan kita dalam berIslam akan senantiasa diuji. Dan layaknya sebuah ujian pasti merupakan sesuatu yang tidak kita sukai dan bisa jadi berat untuk melaksanakannya. Bahkan ujian terkadang dalam bentuk benturan dengan kesenangan dan keinginan kita. Bagaimana seorang nabi Nuh As mampu bertahan dalam kebaikan sepanjang waktu yang sangat lama 950 tahun berhadapan dengan umatnya, bahkan dengan anak dan istrinya yang tidak mau beriman. Sungguh hal yang berat ujian yang menimpa nabi Nuh yang berlangsung sangat lama tersebut. Jika ia tidak yakin akan ketentuan Allah bahwa itu merupakan ujian untuk menguji ridhanya atas seluruh keputusan Allah, maka tentu ia akan berpatah arang dan berputus asa. Namun kekuatan ruhaninya yang memperkuat dirinya sehingga ia bertemu Allah dalam keadaan mendapat ridhaNya.

Siapapun kita, tentu kita berharap dapat meneladani mereka yang telah tercatat sebagai orang yang sukses dunia dan akhirat dengan bukti bahwa mereka mendapat ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala sepanjang hidup hingga wafat mereka. Mereka telah membuktikan diri bahwa untuk meraih ridha Allah membutuhkan pengorbanan yang tidak sedikit, namun balasan yang diperuntukkan juga sesuai dengan kepenatan, keperihan dan keberatan yang pernah mereka jalani. Mudah-mudahan kita mampu mencontoh kebaikan-kebaikan mereka hingga kita bertemu Allah Subhanahu wa Ta’ala nantinya dalam keadaan mendapat ridhaNya. Amiin.

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ، وَتَقَبَلَّ اللهُ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ، إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ.

Yang Menang dan Yang Gagal

“Dan demi jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaan. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”. (Asy Syams: 7-10) Sumpah Allah dengan jiwa (nafs) pada ayat ini … read more