Tag Archives: Kebebasan Wanita

Salah Paham atas Hadits-hadits Shahih tentang Karakter Wanita (3)

Hadits Ketiga

1. Pengertian Khusus Hadits

Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika ditanya mengenai maksud ‘kurang agama’ dalam penggalan hadits di atas, beliau menyebutkan perkara yang jelas sekali, yaitu kurang shalat dan puasa pada hari-hari ketika kaum wanita mengalami haid dan nifas. Jadi kekurangan tersebut terdapat pada satu sisi, yaitu kekurangan parsial yang terbatas dalam ibadah, atau bahkan dalam beberapa syi’ar saja. Bagaimanapun, wanita haid atau nifas masih dapat melakukan manasik haji secara keseluruhan selain thawaf di Baitullah. Di samping itu dia juga tidak perlu meninggalkan dzikrullah. Agama yang benar adalah iman dan takwa itu mengikuti iman, kemudian ibadah, kemudian akhlak dan mu’amalah. Kekurangan pada sisi kedua adalah kekurangan sementara, bukan selama hidup seorang wanita. Hal itu hanya terjadi dalam masa yang pendek. Setelah itu haid akan berhenti karena terjadinya kehamilan –yaitu sekitar sembilan bulan– dan haid akan berhenti sama sekali pada usia lanjut. Terakhir, kekurangan tersebut bukanlah sesuatu yang diusahakan wanita untuk memperolehnya, bukan merupakan sesuatu yang menjadi pilihannya. Seorang wanita mukmin mungkin merasa kecewa karena meninggalkan shalat dan puasa. Akan tetapi dia rela dan sabar menghadapi suatu perkara yang telah ditakdirkan Allah atas dirinya. Untuk itu, Allah akan memberikan pahala atas kesabaran dan kerelaannya tersebut. Wanita mukminah dapat melakukan dua jenis amalan untuk mengganti shalat-shalatnya yang hilang tersebut, misalnya:

Penggantian segera dengan ibadah-ibadah lain, seperti membaca Al-Qur’an,[1] berdoa dan berdzikir dengan khusyu, kemudian memohon ampunan dari Allah, menyucikan, memuji, dan membesarkan-Nya. Jenis penggantian ini mengingatkan kita pada apa yang dilakukan oleh Aisyah Radhiyallahu ‘Anh ketika diwajibkan hijab atas sekalian ummul mukminin. Lantas mereka dilarang mengikuti jihad yang merupakan amalan yang paling afdal. Maka kesenangannya melaksanakan ibadah haji dijadikan sebagai pengganti bagi kewajiban jihad yang sudah tidak bisa lagi dilakukannya.

Dari Aisyah Radhiyallahu ‘Anh, dia berkata: “Wahai Rasulullah, apakah kami tidak boleh ikut berperang dan berjihad bersamamu?” –Dalam satu riwayat dikatakan: “Kami melihat jihad itu adalah amalan yang paling afdhal”[2]— Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Untuk kalian ada jihad yang paling baik, yaitu haji, haji mabrur.” Aisyah berkata: “Setelah itu aku tidak pernah lagi meninggalkan ibadah haji, sebab aku mendengar ini langsung dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam”[3]

Penggantian tidak menyegera dengan memperbanyak mengerjakan shalat sunnah setelah suci dari haid. Jenis penggantian yang tidak menyegera ini mengingatkan kita pada kebiasaan Aisyah menggganti umrah yang belum sempat dia lakukan karena haid. Aisyah berkata: “Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam datang menemuiku. Ketika itu aku sedang menangis.” Beliau bertanya: “Apa yang menyebabkanmu menangis?” Aku menjawab: “Aku terlarang melakukan umrah.” –Dalam satu riwayat, Aisyah berkata: “Wahai Rasulullah, apakah orang-orang kembali dengan membawa dua pahala sementara aku kembali hanya membawa satu pahala?”[4] — Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bertanya: “Ada apa denganmu?” Aku menjawab: “Aku sedang tidak boleh shalat.” Beliau berkata: “Itu tidak menjadi soal bagimu. Kamu sama dengan anak-anak perempuan Adam lainnya. Allah telah mentakdirkan atasmu seperti Dia takdirkan atas mereka. Karena itu tetaplah kamu dalam ibadah hajimu. Barangkali Allah ingin memberimu rezeki dua pahala.” Aisyah berkata: “Akhirnya aku terus melaksanakan ibadah hajiku hingga kami berangkat dari Mina. Kemudian kami singgah di Muhashshab. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memanggil Abdurrahman. Beliau berkata: “Pergilah kamu bersama saudara perempuan itu ke Haram, kemudian berihramlah untuk umrah!” (HR Bukhari dan Muslim)[5]

Dalam kitab Fathul Bari dipertanyakan hal seperti berikut: “Apakah wanita haid diberi pahala karena meninggalkan shalat lantaran shalat itu diwajibkan atasnya, seperti halnya orang sakit yang diberi pahala atas shalat-shalat sunnah yang selalu dia kerjakan sewaktu masih sehat, tetapi karena sakit dia tidak bisa lagi melakukannya? Ataukah di sini ada perbedaan, karena orang sakit itu telah memasang niat sejak sebelumnya akan terus melakukan shalat sunnah dan dia memang berhak untuk melakukan itu, sementara wanita haid tidak demikian? Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Menurut pendapatku, masalah tentang harus adanya perbedaan karena wanita haid itu tidak diberi pahala, masih tawaqquf.”[6] Artinya masalah pahala itu –menurut al-Hafizh Ibnu Hajar– adalah sesuatu yang mungkin muhtamal (bisa saja diberi). Jadi, coba perhatikan, bagaimana seorang wanita haid mungkin saja diberi pahala meskipun dia meninggalkan shalat. Hal itu dapat kita lihat dari berbagai kekurangan wanita dalam masalah agama yang terjadi melalui bentuk-bentuk berikut:

  1. Mungkin saja wanita yang lemah imannya merasa gembira karena tidak melakukan shalat, seolah-olah dia mendapat keringanan dari melakukan suatu kewajiban yang dia anggap berat. Sikap semacam ini menjauhkan dia dari pahala.
  2. Kekurangan yang terjadi karena tidak melakukan shalat tidak berkaitan dengan masalah pahala saja, tetapi berkaitan dengan khusyunya hati seorang mukmin karena dia tidak dapat tampil di hadapan Allah, khususnya ketika tidak ada penggantinya.
  3. Ada lagi kurangnya kekuatan untuk mengalahkan yang munkar, sebab shalat itu mencegah seseorang dari hal-hal yang keji dan munkar. Apabila penggantian dengan ibadah-ibadah lain tidak dilaksanakan, sudah pasti akan terjadi kekurangan.

Dengan demikian, kesimpulan mengenai kurang akal dan agama ini adalah bahwa kurang akal menyebabkan seseorang mengalami salah satu dari dua hal berikut ini:

  1. Kurangnya kemampuan akal; artinya adanya kekurangan dalam penciptaan akal.
  2. Kurangnya kegiatan akal; artinya kurangnya hasil kerja akal akibat berbagai faktor yang mempengaruhi kemampuan akal, baik faktor biologi atau sosial maupun kejiwaan. Dalam hal ini terdapat faktor kejiwaan yang sifatnya permanen, yaitu perasaan wanita yang sangat halus. Hal ini merupakan sesuatu yang sudah tetap dan permanen dalam sifat kaum wanita umumnya. Sementara pembicaraan kita di sini berkisar pada kekurangan yang berkaitan dengan kegiatan akal sebagaimana yang tercantum dalam firman Allah: “Supaya jika seorang lupa, maka seorang lagi mengingatkannya.”

Tetapi tentang hal yang berkaitan dengan adanya kekurangan ciptaan (dalam kelengkapan akal) di balik kurangnya kegiatan akal seorang wanita tidak disinggung dalam hadits yang sedang kita bicarakan ini. Rujukan masalah ini adalah penelitian ilmiah yang dapat dipercaya, sebagaimana yang telah kita bahas tadi. Selanjutnya, tentang masalah kurang agama, hal itu menyebabkan seseorang mengalami salah satu dari dua hal berikut ini:

  1. Kurangnya keberagaman seseorang; artinya kurangnya rasa takwa dan taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
  2. Kurangnya apa-apa yang diwajibkan Allah Subhanahu wa Ta’ala atas manusia berupa amal-amal fardu. Artinya berkurangnya kegiatan ibadah yang dilakukan seseorang, bukan akibat kelalaian dirinya, melainkan sudah merupakan ketentuan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hadits di sini mengambil dalil mengenai kekurangan yang terjadi berdasarkan ketentuan Allah atas wanita, yaitu, menghindari shalat dan puasa pada beberapa hari tertentu. Kekurangan semacam ini –artinya berkurangnya apa yang difardukan Allah atas wanita– dapat mengakibatkan berkurangnya rasa takwa wanita yang bersangkutan kepada Allah. Hal semacam ini diperkirakan bisa saja terjadi pada sebagian wanita, tidak pada semuanya.

Berdasarkan uraian di atas kita sudah semestinya berhenti sampai di batas penafsiran Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam terhadap makna kekurangan yang dimaksud, tidak melampauinya. Jika melewati batas-batas yang telah digariskan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, kita akan terjebak ke dalam perangkap berbagai macam perkiraan dan dugaan semata. Pada saat yang sama kita sudah tercebur ke dalam larangan mengikuti hal-hal yang syubhat. Hal-hal yang berkaitan dengan syubhat, di samping terdapat dalam Al-Qur’an, juga terdapat dalam Sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memperingatkan kita akan hal itu dalam firman-Nya:

“… Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya. Padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah …” (Ali Imran: 7)

Asy-Syaukani berkata: “Ayat tersebut menjelaskan bahwa orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan mengikuti ayat-ayat Al-Qur’an yang mutasyabihat. Makna mutasyabihat/mutasyabih itu adalah apa yang musykil/sulit maknanya dan tidak jelas maksudnya, baik yang berbentuk mutasyabih haqiqi –seperti lafaz-lafaz yang mujmal dan yang tampaknya ada kesamaan– atau yang berbentuk mutasyabih idhafi, yaitu suatu ayat yang untuk menjelaskan makna yang sebenarnya memerlukan dalil dari luar, meskipun bagi orang yang berpikir sederhana maknanya sudah jelas.”[7]

Adapun hadits-hadits maudhu’ dan dha’if yang menimbulkan keraguan tentang akal dan agama wanita tidak lebih dari pengaruh dugaan-dugaan yang tidak beralasan. Sumber dari dugaan itu adalah sisa-sisa pemahaman jahiliah kuno yang seharusnya sudah ditinggalkan oleh umat Islam. Namun sangat disayangkan, pemahaman semacam itu masih tersebar luas akibat banyak di antara umat Islam yang melampaui batas-batas penafsiran yang telah digariskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengenai maksud kurang akal dan agama tersebut.

Di antara hadits-hadits maudhu’ (palsu) tersebut adalah sebagai berikut

“Janganlah mereka (wanita) diajari menulis dan jangan biarkan mereka tinggal dalam kamar!”[8]

“Mematuhi wanita berarti penyesalan.”[9]

“Kalau bukan karena wanita, niscaya Allah sudah disembah dengan sebenar-benarnya.”[10]

“Bermusyawarahlah kalian (lelaki) dengan mereka (wanita) dan tentanglah mereka.”[11]

Selain itu ada juga beberapa hadits dan atsar dha’if (lemah), sebagai berikut ini:

“Celakalah kaum laki-laki ketika menaati kaum wanita.”[12]

“Musuh kamu yang paling berat adalah istrimu.”[13]

Kemudian ada juga atsar mauquf dari Umar ibnul Khattab yang berbunyi:

“Tentanglah olehmu pendapat kaum wanita, karena dalam menentang pendapatnya itu ada berkah.”[14]



[1] Imam Ibnu al-Qayyim berkata: “Wanita haid boleh membaca Al-Qur’an menurut Malik dan salah satu dari dua riwayat dari Ahmad dan salah satu dan dua pendapat S’afi’i. Nabi saw. tidak melarang wanita haid dari membaca Al-Qur’an. Adapun hadits: “Wanita haid dan orang junub tidak boleh sedikit pun membaca Al-Qur’an,” tidak sahih, tetapi ma’lul (cacat) menurut kesepakatan para ulama hadits. Silahkan baca I’Lam al-Muwaqqi’in, jilid 3, hlm. 23.

[2] Bukhari, Kitab: Haji, Bab: Keutamaan haji mabrur, jilid 4, hlm. 125.

[3] Bukhari, Kitab: Haji, Bab: Haji kaum wanita, jilid 4, hlm. 445.

[4] Muslim, Kitab: Haji, Bab: Penjelasan macam-macam ihram, jilid 4, hlm. 34.

[5] Bukhari, Kitab: Haji, Bab: Orang yang melaksanakan umrah apabila dia melakukan thawaf untuk umrah, jilid 4, hlm. 361. Muslim, Kitab: Haji, Bab: Penjelasan macam-macam ihram, jilid 4, hlm. 31.

[6] Fathul Bari, jilid 1, hlm. 422.

[7] Al-I’tisham oleh Asy-Syathibi, jilid 2, hlm. 233.

[8] Lihat hadits no. 178 dalam kitab Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah.

[9] Silsilah al-Ahadits adh-Dha’ifah, no. 435.

[10] Silsilah al-Ahadits adh-Dha’ifah, no. 56.

[11] Silsilah al-Ahadits adh-Dha’ifah, no. 430.

[12] Silsilah al-Ahadits adh-Dha’ifah, no. 436.

[13] Dha’if al-Jami’ ash-Shaghir no. 1033.

[14] Silsilah al-Ahadits adh-Dha’ifah, no. 430.

Salah Paham atas Hadits-hadits Shahih tentang Karakter Wanita (1)

A. Hadits Pertama Abdullah bin Abbas berkata, “Terjadi gerhana matahari… Lalu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melaksanakan shalat. Beliau berdiri lama sekali… selesai beliau shalat, matahari terlihat sudah muncul. Lalu beliau bersabda: ‘Sesungguhnya matahari dan rembulan adalah dua di antara … read more