Ini adalah warna langka dari warna-warna peradaban kita yang cemerlang. Majelis dan forum keilmuan dalam peradaban kita mempunyai pengaruh besar dalam penyebaran kebudayaan, penyiaran ilmu, pengangkatan kelas sosial dan rasa keilmuan di lingkungan kebudayaan. Di ibukota-ibukota besar kita banyak sekali terdapat majelis dan forum-forum ilmiah selain sekolah, lembaga dan perpustakaan. Majelis-majelisnya, baik yang khusus maupun yang umum. Majelis-majelis itu digunakan sebagai perlombaan keilmuan, kesusastraan dan kefilsafatan. Jika Anda telah mengetahui dengan jelas bagaimana majelis peradaban kita telah mencapai peringkat dalam kegemaran terhadap ilmu dan kehausan untuk mendatangi sumber-sumbernya.
Majelis-majelis ini banyak dan bermacam-macam. Majelis di lingkungan para khalifah dipimpin langsung oleh khalifah sendiri. Penyelenggaraannya digabung dengan para ulama, sastrawan dan ahli-ahli fiqh yang termasyhur di ibukotanya. Majelis-majelis para khalifah berkembang sesuai dengan perkembangan peradaban Islam dan pertumbuhan kebudayaannya. Pada masa Khulafaur rasyidin, majelis-majelis itu membicarakan urusan-urusan negara dan tindakan-tindakan para penguasa. Majelis serupa dengan parlemen dimana para pembesar membicarakan berbagai urusan dan perkara yang menyangkut kepentingan negara.
Suatu hari Umar bin Khattab memerlukan seorang penguasa untuk memegang jabatan penting negara. Umar berkata kepada orang-orang majelisnya, “Tunjukkan kepadaku seseorang yang bisa kuangkat untuk melaksanakan suatu urusan penting!” Mereka lalu berkata, “Si Fulan.” Umar berkata, “Kami tidak memerlukannya.” Mereka bertanya, “Lalu siapa yang Anda kehendaki, wahai Aamirul mukminin?” Umar menjawab, “Aku menghendaki seseorang yang apabila berada di tengah orang banyak dan bukan pemimpin mereka tapi ia seolah-olah pemimpin mereka. Apabila ia pemimpin mereka seolah-olah ia salah seorang dari mereka.” Orang-orang di majelis itu berkata, “Yang kami ketahui orang yang mempunyai sifat ini hanyalah Rabi bin Ziyad al Haritsi.” Umar berkata, “Kalian benar.” Maka diangkatnyalah Rabi bin Ziyad untuk memegang jabatan penting itu.
Pada masa bani Umayah majelis-majelis para khalifah menjadi majelis-majelis sastra, hikmah dan syi`ir. Suatu hari Abdullah ibnu Hasyim menghadiri majelis Muawiyah. Muawiyah bertanya, “Siapa yang bisa memberitahu aku mengenai al jud, an najdah, dan al muruah?” Abdullah menjawab, “Wahai Amirul mukminin, al jud ialah mendermakan harta pemberian sebelum diminta, an najdah ia berani maju dan sabar ketika mengalami cobaan, sedang al muruah ia keshalehan dalam agama, memperbaiki keadaan dan melindungi tetangga.”
Pada suatu hari Abdul Malik pernah berkata dalam majelisnya, “Siapa di antara kalian yang bisa menyebutkan huruf-huruf leksikal di badannya secara berturut-turut. Jika ada yang bisa dia akan memperoleh apa yang diinginkannya dariku.” Suwaid bin Ghaflah berkata, “Saya, wahai Amirul mukminin.” Abdul Malik berkata, “Cobalah!” Suwaid lantas menerangkan, “Anf (hidung), bathn (perut), tarquwat (tulang selangka yaitu tulang yang menghubungkan tulang dada dengan tulang belikat), tsaghr (gigi depan), jumjumah (tengkorak), khadd (pipi), dimagh (orak),…” Yang lain berkata, “Wahai Amirul mukminin, saya bisa menyebutkannya dua kali. Suwaid langsung berkata lagi, Saya bisa menyebutnya tiga kali yaitu anf (hidung), asnan (gigi), udzun (telinga),…”
Seorang Arab badui pernah hadir ke majelis Abdul Malik. Di situ ada penyair Jarir. Abdul Malik bertanya kepada orang itu, “Apakah engkau punya pengetahuan tentang syi`ir?” Orang Badui itu menjawab, “Tanyailah saya apa yang anda kehendaki, wahai Amirul mukminin!” Abdul Malik bertanya, “Bait mana yang paling memuji (madah) yang diucapkan penyair Arab?” Orang Badui itu menjawab, “Ucapan Jarir.” Kemudian ia menyebutkan bunyinya:
“Bukankah Tuan penunggang terbaik dan paling dermawan sealam semesta?”
Jarir mengangkat kepalanya dengan pongah. Kemudian Abdul Malik bertanya lagi, “Bait mana yang paling mengejek (hija)?” Orang Badui itu menjawab, “Ucapan Jarir.” Kemudian ia menyebutkan bunyinya:
“Pejamkan mata bahwa engkau dari suku Numair engkau tak akan menyaingi suku Ka`bah atau Kalib.”
Jarir berbinar-binar karenanya, Abdul Malik kemudian bertanya lagi, “Bait mana yang paling romantis (ghazal)?” Orang Badui itu menjawab, “Ucapan Jarir,” Kemudian ia menyebutkan bunyinya:
“Mata-mata kejora yang indah itu
telah membunuh kita dan tak menghidupkan lagi.”
Jarir bergoyang kegirangan. Abdul Malik bertanya lagi, “Bait mana yang paling bagus perumpamaannya?” Orang Badui menjawab, “Ucapan Jarir.” Kemudian ia menyebutkan bunyinya:
“Malam berjalan kearah mereka
bintang-bintangnya seolah-olah
kendil-kendil yang di dalamnya
ada sumbu-sumbu terpilin”
Jarir yang disesaki kebanggaan dan kegembiraan berkata, “Wahai Amirul mukminin, hadiahku untuk orang ini saja.” Abdul Malik berkata, “Hadiahmu tetap, tidak berkurang.” Orang Badui itupun ke luar dengan menbawa 8.000 dirham di tangan kanannya dan setumpuk baju di tangan kirinya.
Setelah majelis-majelis para khalifah berkembang pada masa dinasti Abbasiah sehingga majelis ini termasuk majelis yang paling cemerlang mengenai perlengkapannya yang bagus, ruangannya yang luas, ilmuwan dan sastrawannya pun beraneka macam. Ini selain majelis-majelis ringan yang didomisi oleh warna kesastraan dengan segala yang diungkapan di dalamnya berupa pembicaraan mengenai syi`ir dan para penyair serta penafsiran kata-kata yang disenandungkan oleh penyanyi.
Di antara khalifah-khalifah bani Abbas yang paling masyhur dalam kemegahan majelisnya dan kecemerlangannya adalah Ar Rasyid dan Al Ma`mun. Di majelis-majelis Ar Rasyid selalu berkumpul tokoh-tokoh ilmuwan dari setiap cabang seni dan ilmu. Pelopor-pelopor majelis dari kalangan penyair dalam peradaban kita antara lain, Abu Nuwas, Abu Atahiyah, Di`bil, Muslim bin Walid, adan Abbas bin Ahnaf. Dari kalangan fuqaha antara lain Abu Yusuf, As Syafi`i, Muhammad bin Hasan. Dari kalangan ahli bahasa yaitu Abu Ubaidah, Asmai, dan Al Kisai. Dari kalangan sejarawan yaitu Al Waqidi (sejarawan yang tersohor). Dari kalangan penyanyi yaitu Ibrahim al Mousili yang berlangsung dan puternya, Ishaq.
Salah satu contoh perdebatan sastra yang berlangsung di majelis Ar Rasyid adalah sebagai berikut.
Suatu hari di sisi Ar Rasyid berkumpul Sibawaih, Al Kisai, dan guru-guru besar bahasa dan sastra. Al Kisai mengklaim bahwa orang Arab mengatakan: kuntu azhunnuz zanbura asyadda las`an minan nahlah, faidza huwa iyyaha (Aku kira tabuhan lebih keras sengatannya daripada tawon, ternyata sama saja). Sibawaih berkata, “Yang benar adalah faidza huwa hiya.” Maka terjadilah perdebatan panjang antara Al Kisaidengan Sibawaih. Mereka akhirnya bersepakat untuk merujuk kepada orang Arab asli yang perkataannya bersepakat tidak tercampur oleh perkataan penduduk kota. Ar Rasyid sangat mencintai dan memperhatikan Al Kisai karena sebelum menjadi khalifah ia selalu diajari berbagai hal oleh Al Kisai. Maka Ar Rasyid mengundang seorang Arab asli dan ia bertanya mengenai perkataan tersebut. Orang Arab asli itu mengucapkan kalimat seperti yang diucapkan oleh Sibawaih. Ar Rasyid berkata kepadanya, “Kami ingin engkau mengucapkannya seperti yang di ucapkan oleh Al Kisai.” Orang itu berkata, “Lidahku tidak menyetujuiku untuk itu.” Akhirnya ia pun sepakat dengan mereka bahwa jika mereka menanyainya tentang masalah itu, kemudian yang benar harus salah seorang dari keduanya maka benar adalah Al Kisai. Hal itu berlangsung di tengah hadirin yang banyak. Sibawaih pun tahu bahwa mereka menentangnya untuk Al Kisai. Ia ke luar dari Bagdad dengan sedih. Dikatakan, tak lama kemudian ia meninggal dalam keadaan berduka.
Di antara perdebatan fiqhiyah yang berlangsung di majelis Ar Rasyid ialah bahwa Muhammad bin Hasan, sahabat Abu Hanifah menggambarkan Al Kisai sebagai orang yang tidak mengerti fiqih. Ia hanya mengerti sedikit ilmu bahasa Arab. Al Kisai berkata, Barangsiapa mempunyai pengetahuan mendalam mengenai sebuah ilmu maka ia akan memahami ilmu-ilmu lainnya. Muhammad bin Hasan bertanya kepadanya, “Apa pendapatmu tentang orang yang lupa melakukan sujud sahwi. Apakah ia harus sujud sekali saja?” Al Kisai menjawab, “Tidak.” Muhammad bertanya, “Mengapa?” Al Kisai menjawab, “Karena ahli-ahli nahwu mengatakan, bentuk kata yang dikecilkan tidak bisa dikecilkan lagi, Majelis-majelis Al Ma`mun merupakan majelis ilmiah yang paling cemerlang dalam sejarah peradaban Islam karena Al Ma`mun sendiri termasuk ulama ahli pikir. Istananya penuh dengan tokoh-tokoh besar dri kalangan ilmuwan, sastrawan, penyair, dokter dan filsuf yang didatangkannya dari berbagai penjuru kerajaannya.”
Al Ma`mun sangat memperhatikan para tokoh besar itu walaupun kecenderungan dan kebangsaan mereka berbeda. Seringkali yang memulai diskusi dan membangkitkan ahli-ahli ilmu kepada pembahasan. Ia melarang para filsuf dan ulama mengemukakan dalil Kitab Suci mereka. Ia berkata kepada mereka, “Janganlah kalian berdalilkan Qur`an atau Injil dengan harapan bisa memikatku. Demi Allah, aku ingin hal itu tidak terjadi pada kalian. Meskipun misalnya aku bukan orang Arab namun aku tidak suka pengakuan akan kebenaran itu lenyap dariku.” Ia kemudian menerangkan kepada mereka pengutamaannya terhadap bngsa Arab atas bangsa-bangsa lain. Bangsa Arab pada mulanya tidak mempunyai buku dan ilmu. Meskipun begitu, dengan kefitrahannya mereka bisa mengenal tumbuh-tumbuhan di bumi dan apa yang layak dimakan untuk kambing dan unta. Mereka manlar musim dan pergantiannya, kemudian membaginya menjadi musim semi, panas, rontok dan dingin. Mereka mengetahui bahwa minuman mereka dari langit sehingga mereka mengenal tanda-tanda hujan dan perubahan musim. Dengan berpedoman kepada bintang di langit mereka mencari tempat-tempat penggembalaan ternak. Mereka menjadikan di antara mereka sesuatu yang digunakan untuk mencegah kemungkaran, mendorong kepada kebaikan, menjauhi kerendahan, serta mendorong mereka kepada akhlak yang mulia sehingga seseorang dari mereka yang tinggal di lembah-lembah dan hidup dengan keras bisa menggambarkan seluruh akhlak mulia, tak satupun yang tertinggal. Mereka juga sangat mengecam kerendahan budi. Mereka hanya mengucapkan perkataan yang menganjurkan pada kebaikan. Mereka juga menjaga hubungan dengan tetangga, mendermakan harta serta membangun tindak-tanduk terpuji. Setiap orang dari mereka mencapai hal itu dengan akalnya dan mengeluarkannya dengan kecerdasan dan fitrahnya tanpa melalui pelajaran dan pendidikan. Semua itu karena pembawaan yang terlatih dan akal yang arif. Ibnu Muqaffa berkata, “Karena itu kukatakan pada Anda, mereka adalah umat yang paling berakal karena fitrahnya sehat, pembawaannya lurus, pikirannya yang tepat dan pemahamannya yang cendekia.”
Tak ketinggalan kami sebutkan pula toko-toko buku juga merupakan majelis-majelis bagi para ulama (ilmuwan). Di situ mereka saling mengungkapkan pembicaraan yang terbaik tentang ilmu. Setiap orang bebicara tentang ilmu yang menjadi spesialisasinya. Penjual-penjual buku kebanyakan sastrawan-sastrawan yang berpendidikan. Meraka memanfaatkan pekerjaan mereka untuk memenuhi kegairahan mereka di bidang ilmu. Ibnu Nadim, pengarang buku Al Fihrisat dan Yaqut pengarang buku Mu`jamul Udaba dan Mu`jamul Buldan, mereka semua adalah penjual buku. Seringkali Abul Faraj al Asfahani perang buku Al Aghani dan Abu Nasr az Zajjaj, sastrawan dan ahli bahasa tersohor bertemu di toko-toko buku. Mereka membicarakan syi`ir dan sastra bersama para penyair yang datang ke toko itu.
Di salah satu forum mereka, penyair Abu Hasan Ali Ibnu Yusuf duduk di sisi Abu Fath bin Hazzaz al Warraq. Dia menyenandungkan bait-bait Ibrahim bin Abbas as Souli. Ketika sampai di salah satu bait, Abu Fath menyanjung bait itu dan iapun mengulanginya. Mendengar itu Abul Faraj membahas bait Ibrahim, bagian mana yang dinilai bagus oleh Abu Fath. Di forum itu pula seorang sastrawan pernah mengungkapkan:
“Pasar tempat tercela
tetapi ada pula yang berguna
jangan dekati kecuali
pasar kuda, senjata dan buku
Yang satu alat ahli perang
yang lain alat ahli sastra”
Memang benar ucapan itu. Kebutuhan mengenal senjata dan perang serta mengenal ilmu dan sastra adalah kebutuhan setiap manusia mulia yang ingin hidup mulia. Umat yang layak hidup terlebih dahulu memperoleh makanan nya dalam ilmu, dan umat kita ketika membangkitkan kehidupan pada umat-umat dan bangsa-bangsa senantiasa meniti setiap jalan untuk pembekalan diri dengan ilmu, penyebaran dan penyiarannya. Bahkan putra-putra umat kita mulai dari khalifah hingga ulama dan pedagang selalu berlomba dalam memperbanyak sarana-sarana ilmu, buku-buku dan sekolah-sekolah. Yang dibicarakan adalah hal-hal yang dapat menambah ilmu, membuka pikiran dan menjernihkan akal. Mereka selalu melakukan penyelidikan terhadap masalah, penyikapan misteri atau pelurusan kesalahan, seperti yang kita rasakan dalam pristiwa-peristiwa sejarah umat kita dalam kaitan tersebut.
Di sini kami memang tidak membicarakan majelis-majelis para fuqaha, ahli hadits dan para penasehat karena hal itu sudah umum dan tersebar di setiap kota dan desa. Singkat kata, peradaban kita pada masa-masa kejayaannya telah memenuhi dunia Islam dengan cahaya ilmu yang menyelubungi rumah-rumah, masjd-masjid, sekolah-sekolah, forum-forum, majelis-majelis, dan toko-toko sehingga benarlah apa yang dikatakan oleh Gustave Lebon. Katanya, Kecintaan bangsa Arab terhadap ilmu besar sekali. Mereka telah mencapai derajat kebudayaan yang tinggi setelah mereka menyelesaikan penaklukan-penaklukan dalm waktu yang sangat singkat. Karena itulah mereka mampu menciptakan sebuah peradaban yang membuat ilmu-ilmu, sastra-sastra dan seni-seni menjadi matang dan mencapai puncaknya.