Putusnya ikatan pernikahan adalah tindakan melepaskan ikatan nikah sehingga terputuslah ikatan pernikahan antara suami dan istri. Berikut ini kami sebutkan sebagian dari perceraian yang ada pada masyarakat Arab dan yang diberlakukan setelah Islam.
Talak
Talak dalam syari’at islam adalah melepaskan ikatan perkawinan dengan kalimat-kalimat tertentu.[1] Arab Jahiliyaah telah mengenal talak, namun mereka tidak memiliki batasan maksimum.[2] Seorang suami berhak mentalak istrinya kemudian kembali dalam masa ‘iddah, dan hal ini dapat dilakukan berulangkali. Dengan talak cara ini, seorang suami dapat merugikan istrinya dan menjadikannya seperti terkatung-katung, karena suami tidak menceraikannya sehingga dapat menikah dengan laki-laki lain, dan suami juga tidak menunaikan hak istri tersebut. Bahkan, suami yang menceraikan dapatr mencegah pernikahan istri yang dicerainya, sekalipun setelah masa ‘iddah-nya berakhir.
Syari’at Islam mengakui prinsip perceraian, namun tidak menjadikannya tanpa batas seperti yang terjadi pada masa Jahiliyyah. Syari’at Islam memberikan hak cerai kepada suami tiga kali. Dengan terjadinya talak ini, maka terjadinya pula perceraian antara suami istri. Allah berfirman,
“Perceraian batasnya dua kali, maka menahannya dengan cara yang baik, atau menceraikan dengan jalan yang ma’ruf” (Al Baqarah [2]:229)
Allah juga berfirman,
“jika suami menceraikannya maka tidak halal baginya kecuali setelah ia menikahi suami selinnya” (al-Baqarah [2]:230)
Suami berhak menjatuhkan talak dan ruju’ kepada isteri dalam masa ‘iddah jika talak itu adalah talak raj’i. demikian ini terjadi pada talak kedua.jika ia menjatuhkan talak ketiga,maka terjadilah perpisahaan di antara keduanya dan suami tidak berhak ruju’ kepadanya kecuali dengan akad baru setelah isteri menikah dengan laki-laki lain dan laki-laki lain itu menceraikannyaatau meninggal. Peraturan talak dalam syari’at islam merupakan peraturan yang sempurna, cermat, realistis, berusaha mempertahankan kelestarian ikatan pernikahan dan memberikan kesempatan yang cukup kepada kepada suami sebagai pihak yang menceraikan untuk ruju’ atau menarik talaknya jika saja talaknya ini dilakukan tanpa pikir – pikir panjang dan perenungan. Syari’at islam berharap ikatan pernikahan itu lestari dan tidak menyukai talak, namun mengakuinya untuk menyelesaikan pertikaian suami istri yang dinilai tidak mungkin lagi menjaga kelangsungan kehidupan rumah tangga. Jika perceraian telah terjadi, maka isteri dapat menikah lagi setelah selesai masa ‘iddah-nya. Dan suami tidak berhak untuk melarangnya untuk menikah. Dengan ketentuan ini, Islam membatalkan adat jahiliyyah yang memberikan hak kepada suami yang menceraikan untuk melarang isteri yang diceraikannya untuk menikah. Allah berfirman,
“Apabila kamu menceraikan istri-isteri kamu, lalu telah habis masa ‘iddah-nya, maka jangan halangi mereka menikah dengan bakal suami mereka apabila telah ada kerelaan di antara mereka dengan jalan yang ma’ruf” (Al Baqarah [2]:232)
Khulu’
Masyarakat Arab mengenal khulu’ sebagai salah satu cara untuk memutuskan iakatan pernikahan. Arti Khulu’ adalah isteri atau keluarganya memberikan sejumlah harta kepada suami sebagai ganti agar suami menceraikan isteri.[3] Jadi, Khulu’ adalah perceraian antara suami-isteri berdasarkan krelaan keduanya, dengan ganti rugi sejumlah harta yang diserahkan oleh isteri atau keluarganya kepada suami. Islam mengakui khulu’ dan para fuqaha telah menjelaskan syari’at dan ketentauan yang terkait dengan khulu’.[4]
Ila’
Secara bahasa berarti half (sumpah). Menurut terminology fiqih, ila’ adalah sampah yang terjadi dari pihak suami untuk tidak menyetubuhi istrinya. Ila’ bagi masyarakat Arab adalah talak yang terjadi setelah selesainya masa ila’, yang menurut mereka adalah satu tahun, atau mungkin mereka menetapkan dua tahun. Islam mengakui ila’ ini, tetapi membatasi waktunya empat bulan. Jika empat bulan telah berlalu sedangkan suami tidak menyetubuhi istrinya, maka terjadilah perceraian diantara keduanya secara bai’in menurut sebagian ulama fiqih, atau talak raj’i menurut sebagian ulama yang lain. [5]
[1] Syarh al-‘Inayah al-Hidayah ‘Ala al-Hidayah, Jilid 3. Hlm. 20 dan Fath al-Qadir, Jilid 3, hlm 21
[2] Tafsir al-manar, jilid 2, hlm. 402
[3] Farq az-Zawaj, Ali al-Khafif, hal 132
[4] Ahkam adz-Dzimmiyin wa al-Musta’minin fi Dar al-Islam, Prof Dr. Abdul Karim Zaidan, hal 390
[5] al- Jashshash, jilid 1, hlm, 357 dan nail al-Authar, jilid 6, hlm. 257-258