Wacana tentang bughat dan pemakzulan pemimpin dalam perspektif hukum Islam semakin ramai dibicarakan ulama dan tokoh-tokoh Islam. Seperti diberitakan berbagai media massa, di tengah ketidakmampuan presiden Abdurrahman Wahid mengemban amanah reformasi, ditambah permasalahan lain, seperti cacat fisik dan moral serta dugaan kuat keterlibatannya dalam KKN, pada hari Senin (19/3/2001), sekitar 20 ulama Nahdlatul Ulama (NU) Jawa Timur membahas hukum agama tentang bughat. Mereka mempertanyakan apakah kritik dan upaya yang dilakukan anggota DPR, mahasiswa, dan masyarakat anti Gus Dur sudah tergolong bughat atau tidak.
Bughat berasal dari bahasa Arab dan merupakan istilah Islam. Secara etimologis bughat adalah jamak dari baghi, yaitu orang yang berlebih-lebihan atau melakukan kerusakan di muka bumi. Sedangkan secara terminologis, para ulama mendefinisikannya sbb: Kelompok umat Islam yang keluar dari ketaatan pemimpin Islam yang sah dengan suatu alasan, menentang hukumnya dengan kekuataan tentara dan senjata. Yang dimaksud keluar dari ketaatan pemimpin Islam yang sah adalah jika mereka tidak menaati perintah imam ketika memerintahkan sesuatu yang benar (hak), seperti perintah membayar zakat, perintah untuk berjihad, dan lain-lain.
Hukum bughat dengan segala konsekuensinya berlaku dalam pemerintahan Islam yang menerapkan Syariat Islam dan memiliki pemimpin yang sah menurut standar nilai-nilai Islam. Adapun pada negara yang tidak memberlakukan Syariat Islam, dan pemilihan pemimpin yang dilakukan tidak sesuai dengan standar Islam, hukum bughat dengan segala konsekuensinya dalam Islam tidak dapat diterapkan. Sebagaimana hukum orang yang berzina, membunuh, dan lain-lain. Sanksi menurut hukum Islam tidak dapat diterapkan jika pemerintah tersebut tidak
memberlakukan hukum Islam. Seperti di Indonesia, maka standar hukum makar yang berlaku di Indonesia harus mengacu pada hukum positif yang berlaku di Indonesia seperti UUD 45, Tap MPR, UU, dan lain-lain.
Hukum bughat menurut Islam adalah haram. Tapi mereka tidak keluar dari ajaran Islam, karena Allah menyebut mukmin pada dua kelompok yang bertikai tersebut, sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Hujuraat: 9: “Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”
Kelompok muslim yang bughat harus diperangi dan masyarakat wajib mendukung pemimpin dalam memerangi mereka. Dan berhenti memeranginya jika mereka kembali pada ajaran Allah. Di sebutkan dalam hadits, berkata Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada Ibnu Mas’ud, “Tahukah kamu hukum Allah pada orang yang menentang (bughat) dari umat ini”? Ibnu Mas’ud menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.”
Rasul Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Hukum Allah kepada mereka, orang-orang yang lari jangan dikejar, tidak boleh dibunuh tawanannya, dan tidak dianiaya orang-orang yang luka,” (HR Hakim). Berkata Ash Shan’ani, pengarang kitab Subulus Salam, “Jika sekelompok umat Islam memisahkan dari pemerintah tetapi tidak keluar memerangi pemerintah, maka dibiarkan saja. Karena berbeda pendapat dengan pemimpin tidak boleh diperangi.”
Madzhab Syafi’i berbeda pendapat dari mayoritas ulama. Mereka berpendapat bahwa kelompok yang bughat tidak berdosa; mereka berselisih karena memiliki alasan yang dibolehkan dan mereka orang-orang yang memiliki kemampuan berijtihad.
Para ulama tentu tidak akan sembarangan dalam menyebut bughat pada kelompok muslim tertentu. Mereka mengacu pada syarat-syarat yang menyebabkan kelompok muslim tertentu dikatakan sebagai bughat. Pertama, mereka yang menentang pemimpin adalah jamaah umat Islam yang memiliki kekuataan dan menentang atau ingin menjatuhkannya tanpa alasan yang benar. Maka jika kelompok umat Islam yang menentang pemimpinnya memiliki alasan yang benar, seperti menolak kezaliman, KKN, dan lain-lain. tidak termasuk bughat. Sebaliknya pemimpin harus meninggalkan kezaliman dan dosa yang dilakukannya. Masyarakat tidak boleh membantu pemimpin tersebut, karena jika membantunya berarti membantu kezaliman dan kemaksiatan.
Kedua, keluarnya para penentang tersebut disertai dengan perlawanan, karena kelompok yang menentang pemimpin dengan tidak melakukan perlawanan tidak disebut bughat. Islam sangat menghargai perbedaan pendapat jika terjadi perselisihan, maka semuanya merujuk Al-Quran dan Sunnah. Ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya bersifat mutlak sedang ketaatan kepada pemimpin bersifat relatif. Itulah sebabnya, ketika Allah Subhanahu Wa Ta’ala memerintahkan taat kepada Allah dan Rasul-Nya menggunakan kata ‘athi’uu sedangkan kepada pemimpin tidak menggunakannya. Disebutkan dalam surat Annisa’: 59: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul-Nya serta ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Ketiga, masyarakat sepakat mengakui pemimpin tersebut dan mereka merasa aman dan kondisi yang terjadi juga aman. Karena jika keamanan tidak terwujud, berarti pemimpinnya lemah atau zalim. Masyarakat boleh keluar dari pemimpin tersebut bahkan boleh meminta pemimpin itu turun. Sedangkan Majelis Syuro harus menurunkan pemimpin yang tidak memenuhi syarat tersebut.
Memberikan dalil sesuai dengan hukum Islam pada apa yang dilakukan pemerintahan Indonesia yang sekuler ini adalah tindakan yang tidak tepat. Dan menuntut masyarakat agar loyal kepada pemerintahan Indonesia sesuai ukuran-ukuran nilai Islam dengan segala konsekuensinya juga tidak benar.
Yang lebih penting adalah ulama dan umat Islam di Indonesia harus percaya semaksimal mungkin menerapkan Syari’at Islam dalam segala aspek kehidupannya. Kemudian mereka memperjuangkan pemberlakuan Syari’at Islam dalam konstitusi negara Indonesia.
Jika pemerintahan Abdurrahman Wahid diukur menurut persfektif hukum Islam, maka secara hukum Islam dia sudah tidak sah lagi memimpin pemerintahan dan sudah tidak lagi memiliki syarat minimal untuk jadi presiden. Karena secara fisik ia tidak memenuhi syarat, tidak dapat memberi rasa aman pada masyarakat dan tidak dapat memulihkan ekonomi dan kesejahteraan umat. Bahkan diduga kuat ia terlibat dalam KKN, perselingkuhan dan melakukan kebohongan publik. Lebih dari itu ia melakukan mukholafah syar’iyyah (penyimpangan syariah), seperti memberikan wala? yang lebih besar kepada orang-orang kafir dan musyrik, melakukan penyimpangan aqidah, memusuhi Islam dan umat Islam, menghalalkan yang haram, dan lain-lain. Sehingga ulama dan umat Islam harus bekerja sama mencari pemimpin yang sah menurut Islam dan menurut konstitusi dengan mekanisme yang disepakati bersama.