Tag Archives: Shalah Shawi

Tsawabit (Part II)

5. Bertambah dan berkurangnya iman serta perbedaan tingkatan pemiliknya.

Banyak sekali nash-nash yang secara eksplisit maupun implisit menunjukkan bertambah dan berkurangnya iman serta perbedaan tingkatan orang-orang beriman. Ini pula yang diriwayatkan dari sahabat, para imam tabiin dan mayoritas ulama salaf.

Allah Swt. berfirman dalam beberapa ayat-Nya,

Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana (Al Fath:4)

…supaya orang-orang yang diberi Alkitab yakin dan supaya orang yang beriman bertambah imannya… (Al Mudatsir:31)

…dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya)… (Al Anfal:2)

Adapun orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, sedang mereka merasa gembira. (At taubah: 124)

…maka perkataan itu menambah keimanan mereka  dan mereka menjawab, “Cukuplah Allah, menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung. “ (Ali Imran: 173)

Rasulullah Saw. bersabda,

Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka hendaklah mengubahnya dengan tangannya, kalau tidak sanggup maka dengan lisannya, dan kalau tidak sanggup maka dengan hatinya. Itulah selemah-lemahnya iman.[119]

Dalam hadits tentang syafaat dijelaskan,”…barangsiapa kamu dapati iman seberat dinar di dalam hatinya, maka keluarkanlah dia dari neraka. Barangsiapa kamu dapati iman seberat separo dinar di dalam hatinya, maka keluarkanlah dia darinya. Dan barangsiapa kamu dapati iman seberat atom di dalam hatinya, maka keluarkanlah dia darinya.”[120]

Dalam riwayat lain disebutkan, “keluarkanlah dari neraka orang yang di dalam hatinya terdapat iman seberat biji gandum. Keluarkanlah darinya orang yang di dalam hatinya terdapat iman seberat biji sawi. Kemudian keluarkanlah dari orang yang di dalam hatinya terdapat iman seberat biji sawi yang paling kecil.”[121]

Adapun ungkapan ulama dalam masalah ini sangatlah banyak dan dikenal luas, sehingga tidak perlu disebutkan lagi.

6.Tashdiq (pembenaran) menurut ahlusunah waljamaah dan kaum Murjiah adalah pembenaran disertai kepatuhan dengan konsekuensi penerimaan hukum dan komitmen syariat.

Selain kelompok Jahmiah, tidak ada seorang pun yang berpendapat bahwa iman itu cukup dengan pembenaran berita, sedangkan amal hati bukan merupakan bagian dari hakikat iman. Banyak iman yang mengafirkannya dengan perkataan tersebut.

Ibnul Qayyim mengatakan,”Kami katakan bahwa iman adalah pembenaran, akan tetapi bukan semata-semata meyakini kebenaran sumber berita tanpa ketaatan kepada-Nya. Seandainya meyakini kebenaran sumber berita semata-semata disebut iman, tentulah iblis, Fir’aun dan kaumnya, kaum nabi Saleh dan orang-orang Yahudi yang mengetahui bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad adalah Rasul Allah sebagaimana mereka mengenal anak-anak mereka sendiri, adalah orang-orang beriman yang membenarkannya. Pembenaran menjadi sah dengan dua syariat; pertama meyakini kebenaran itu, dan kedua kecintaan dan ketaatan hati.”[122]

Al Qasthallani dalam mendefinisikan iman mengatakan,”Secara etimologi, iman adalah tashdiq (pembenaran). Sebagaimana yang dikatakan Taftazani bahwa tashdiq adalah kepatuhan kepada hukum pemberi berita dan penerimaan terhadapnya. Hakikat tashdiq bukanlah keyakinan hati tentang kebenaran berita atau sumber berita tanpa disertai kepatuhan dan penerimaan, akan tetapi tashdiq adalah kepatuhan dan penerimaan terhadapnya yang layak disebut sebagai ketundukan (taslim).”[123]

Al Kamal Ibnul Hamam mengatakan,“Iman yang benar harus dibarengi dengan makrifat di dalamnya. Makrifat yang saya maksud adalah mengetahui kesesuaian pengakuan seseorang nabi dengan kenyataan. Harus ada ketundukan batin dan kepatuhan untuk menerima perintah dan larangan yang membawa konsekuensi pengagungan, yakni pengagungan kepada Allah Swt. dan tidak meremehkan perintah serta larangan-Nya.”[124]

Dalam Hasyiah Ibn ‘Abidin disebutkan, “Makna tashdiq adalah penerimaan dan ketundukan hati terhadap apa yang diketahui dengan gamblang sebagai bagian dari agama Nabi Muhammad Saw., di mana orang awam mengetahuinya tanpa memerlukan pembahasan dan pencarian dalil, seperti wahdaniah (keesaan Allah), nubuwah (kenabian), ba’ts (kebangkitan) dan jaza’ (balasan), kewajiban shalat dan zaka, keharaman khamr, dan sebagainya.”[125]

Ibnu Abil ‘Izz dalam syarah At Thahawiyah mengatakan,”Kufur tidak hanya berarti pendustaan. Kalau ada orang berkata,’saya mengetahui bahwa engkau benar, akan tetapi saya tidak mau mengikutimu, bahkan saya memusuhimu, membencimu, dan menentangmu, maka kafirlah dia.’ Dari sini jelaslah bahwa iman bukanlah pembenaran semata-mata. Kufur bisa berupa pendustaan dan bisa juga berupa penentangan dan permusuhan tanpa pendustaan. Iman adalah pembenaran dan pernyataan, serta loyalitas dan kepatuhan, tidak cukup hanya pembenaran semata-mata.”[126]

7. Menurut Khawarij dan Murjiah, iman merupakan satu makna yang tidak berbagi-bagi dan jika sebagiannya hilang maka semuanya hilang, adalah pandangan yang keliru.

Pendapat inilah yang membuat kaum Khawarij memasukkan seluruh amal dalam bagian pokok iman, karena berpegang kepada nash-nash tentang ancaman secara tekstual. Pendapat ini pula yang membuat kaum Murjiah mengeluarkan seluruh amal dari pengertian iman, karena berpegang kepada nash-nash tentang janji pahala secara tekstual. Dua pendapat itu saling membatalkan satu sama lain.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiah mengatakan, “Pendapat yang mengatakan bahwa iman itu apabila hilang sebagiannya, maka hilang lah keseluruhannya adalah sumber berbagai bid’ah dalam iman. Mereka menyangka hilangnya keseluruhan iman dan tidak tersisa sedikitpun apabila sebagian iman telah hilang. Kemudian kaum Khawarij dan Mu’tazilah mengatakan, ‘iman adalah kumpulan perintah Allah dan rasul-Nya yang oleh ahli hadits disebut iman mutlak. Jika sebagian darinya hilang, maka keimanan seseorang tidak tersisa sedikitpun sehingga ia akan kekal di dalam neraka.’ Sementara, kaum Murjiah dengan kelompoknya mengatakan, ‘Dosa-dosa besar dan meninggalkan kewajiban-kewajiban yang zahir tidak menghilangkan iman sedikitpun, sebab jika sebagian dari iman hilang, maka hilanglah semuanya.’ Atas dasar pendapat ini, iman adalah sesuatu yang tunggal, di mana orang yang taat dan orang yang durhaka sama kedudukannya, padahal nash-nash hadits Rasulullah dan ucapan-ucapan sahabat beliau menunjukkan bahwa iman bisa hilang sebagiannya dan sebagian yang lain tetap ada.”[127]

8. Sesungguhnya iman itu bertingkat-tingkat.

Ada iman yang menjadikan seseorang disebut Muslim dan selamat dari kekal ke neraka, yaitu iman secara global (al iman al mujmal) dengan membenarkan dan mengikuti ajaran yang dibawa Nabi Saw. Ada iman yang menjadikan seseorang masuk surga tanpa disiksa terlebih dahulu, yaitu iman yang wajib (al iman al wajib) yang tercermin dalam sikap menunaikan kewajiban dan menjauhi hal-hal yang haram. Ada iman yang menjadikan seseorang meraih derajat tertinggi di surga, yaitu iman yang sempurna (al iman al kamil) berupa kesediaan mengerjakan sunah dan anjuran, serta menjauhi makruh dan syubhat, di samping menjalankan keimanan tingkat sebelumnya.

Al Baihaqi telah mengemukakan ayat,

Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Rabb-lah mereka bertawakal (Al Anfal:2). (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepeda mereka. (Al Anfal: 3)

Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezeki (nikmat) yang mulia. (Al Anfal:4)

Ia mengatakan ,”Berdasarkan ayat di atas dan nash yang senada dengannya dari Al Qur’an dan hadits, mayoritas ahluhadits berpendapat bahwa iman mencakup seluruh ketaatan, baik yang wajib maupun yang sunah. Ketaatan terbagi menjadi tiga kelompok bagian. Bagian pertama bila ditinggalkan menjadikan seseorang kafir, yaitu meyakini apa yang wajib diyakini dan mengikrarkannya. Bagian kedua, kalau ditinggalkan menjadikan seseorang fasik atau durhaka, tidak menjadikan kafir kecuali jika mengingkarinya, yaitu ketaatan yang fardhu seperti shalat, zakat, puasa, dan haji serta menjauhi hal-hal yang haram. Bagian ketiga, jika ditinggalkan maka seseorang kehilangan yang lebih utama. Ia tidak menjadi fasik atau kafir, yaitu ibadah sunah.”[128]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiah mengatakan, “Telah diketahui bahwa iman adalah ikrar (pernyataan) bukan sekedar tashdiq (pembenaran). Ikrar mencakup ucapan hati yaitu pembenaran, dan mencakup perbuatan hati, yaitu kepatuhan. Pembenaran terhadap apa yang diberitakan oleh Rasul dan kepatuhan terhadap perintahnya. Sebagaimana ikrar terhadap Allah berarti mengakui-Nya dan beribadah kepada-Nya. Sedangkan kufur adalah tidak adanya iman, baik disertai pendustaan, kesombongan, pembangkangan, atau keberpalingan. Barangsiap di dalam hatinya tidak terdapat pembenaran dan kepatuhan, maka ia kafir.”[129]

Di bagian lain ia mengatakan, “Ulama ahlusunah dan ahlulhadits mengatakan, semua amal kebaikan, baik yang wajib maupaun yang sunah adalah bagian dari iman. Yakni bagian dari iman yang sempurna dengan amal-amal sunah, bukan iman yang wajib. Mereka membedakan antara iman yang wajib dan iman yang sunah. Sebagaimana para fuqaha juga mengatakan,”Mandi ada dua macam, mandi yang sah dan mandi yang sempurna. Mandi yang sah adalah mandi yang telah terpenuhi kewajiban-kewajibannya, sedangkan mandi yang sempurna adalah mandi yang dilengkapi dengan sunah-sunahnya. Kata ‘sempurna’ bisa bermakna kesempurnaan yang wajib dan bisa bermakna kesempurnaan yang dianjurkan.’”[130]

9. Ridah (kemurtadan) membatalkan iman.

Ridah membatalkan iman, sebagaimana hadats membatalkan wudhu. Ridah terjadi dengan meninggalkan Islam secara keseluruhan dan berpindah ke agama lain atau menjadi ateis. Ia bisa terjadi dengan tidak mengakui sesuatu yang diturunkan Allah dalam bentuk mendustakan atau menolak. Bab tentang ridah dalam kitab-kitab fiqh banyak memuat contoh-contohnya.

Hukuman bagi orang yang murtad jika ia terus-menerus dalam ridah adalah pembunuhan. Semua kebaikannya terhapus jika mati dalam keadaan ridah, dan tidak diberlakukannya hukum-hukum Islam terhadapnya setelah kematiannya, seperti dimandikan dikubur  di kuburan kaum Muslimin, dan sebagainya.

Allah Swt. berfirman,

Barangsiapa di antara kalian murtad dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya, (AL Baqarah:217).

Rasulullah Saw. bersabda, “Barangsiapa menukar agamanya, maka bunuhlah dia.”[131]

10. Dua macam kufur; kufur yang mengeluarkan dari Islam dan yang tidak mengeluarkan dari Islam

Kata “kufur” yang terdapat dalam nash-nash Al Qur’an dan hadits ada dua macam.

Pertama, kufur yang mengeluarkan dari Islam disebut kufur besar atau kufur haqiqiy (kufur yang sesungguhnya). Batasannya adalah tidak mengakui sesuatu yang diturunkan Allah, baik dengan cara mendustakannya maupun menolaknya.

Kedua, kufur yang tidak mengeluarkan dari Islam, disebut kufur kecil atau kufur majaziy (kiasan). Yaitu kufur yang disebutkan dalam nash yang disertai ancaman, di mana para ulama sepakat bahwa ia tidak mengeluarkan dari iman kecuali jika dibarengi dengan sikap menghalalkannya.

Seperti sabda Rasulullah Saw.,

Ada dua hal di tengah manusia yang merupakan kekufuran, yaitu menghina nasab dan meratapi mayat.

Pembagian serupa berlaku juga untuk istilah-istilah celaan lainnya, seperti nifaq (kemunafikan), syirik (kemusyrikan), zhulm (kezaliman), dan sejenisnya. Imam Bukhari, dalam kumpulan hadits shahihnya, membuat satu bab tentang kufur terhadap suami dan tingkatan-tingkatan kufur. Di bawah bab tersebut ia ketengahkan sabda Nabi Saw, “Saya diperlihatkan neraka, ternyata kebanyakan penghuninya adalah kaum wanita karena berlaku kufur.” Para sahabat bertanya, “Apakah kufur terhadap Allah, wahai Rasulullah ?” Beliau menjawab, “Mereka kufur terhadap suami; kufur terhadap kebaikan yang dilakukannya. Kalau engkau berbuat baik kepada salah seorang dari mereka selama setahun kemudian ia melihat sesuatu yang tidak menyenangkan darimu, maka ia berkata,”Saya belum pernah melihat kebaikan darimu sekali pun.’”[132]

Bukhari juga membuat subjudul “Bab tentang tingkatan-tingkatan kezaliman” lalu menyebutkan hadits dari Alqamah dari Abdullah bahwa ketika turun firman Allah,

Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukan iman mereka dengan kezaliman, mereka itulah orang-orang yang mendapat keimanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk (Al An’am: 82) Para sahabat bertanya,”Wahai Rasulullah, apakah ada di antara kita ada orang yang tidak berlaku zalim pada dirinya?”kemudian Allah menurunkan ayat,

Sesungguhnya syirik (mensekutukan Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar (Luqman:13).”[133]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiah berkata,”Nifaq seperti kufur, bertingkat-tingkat, sehingga ada kufur yang menjadikan orang keluar dari Islam dan ada kufur yang tidak menjadikan orang keluar dari Islam. Ada nifaq akbar (kemunafikan besar) dan nifaq ashghar (kemunafikan kecil). Sebagaimana dikatakan bahwa syirik juga ada dua macam, syirik ashghar dan syirik akbar.”[134]



[119] . HR. Muslim

[120] . Fath Al Bari. 13/421

[121] . Ibid. 13/473-474

[122] . Ibnul Qayyim, As Shalah. 19-20

[123] . Irsyad As Sari. 1/82

[124] . Al Kamal Ibnul Hammam Al Hanafi, Al Musayarah

[125] . Hasyiah Ibn ‘Abidin. 4/221

[126] . Syarh ‘Aqidah Thahawiyah. 321

[127] . Ibnu Taimiah, Al Iman. 209-210

[128] . Al Baihaqi, Al I’tiqad ‘ala Madzhab As Salaf. 98.

[129] . Majmu Al Fatawa. 7/628-629

[130] . Ibnu Taimiah, Al Iman. 186.

[131] . HR. Bukhari

[132] . Fath Al Bari. 1/83.

[133] . Ibid. 1/87

[134] . Majmu Al Fatawa. 7/524:48).