Ibarat sinar mentari begitulah kasih ibu…
Sepanjang jalan tak akan terbatas terurai begitu indahnya…
Saudaraku, mari luangkan waktu sejenak untuk mengenang kasih sayang bunda. Kasih sayang yang tiada terbalas oleh apapun dan siapapun. Pernahkah kita bertanya, berempati apalagi peduli dengan orang yang paling besar jasanya dalam hidup ini?
Saudaraku, tahukah engkau bagaimana besar kasih sayang ibunda saat mengandung? Sekali waktu tanyakan pada bundamu bagaimana rasanya, biar kita ingat kasih sayangnya dan tentu ingat kerewelan kita, meski masih dalam kandungan. Minta macam-macam yang terekspresi dalam ngidamnya bunda, karena ngidam-idamkan sesuatu ‘tuk bahagiakan maumu.
Saudaraku, mampukah kita membalas kasih sayangnya, meski hanya setetes air susunya atau satu hentakan saat melahirkanmu? Seberapa besar bakti kita, sesungguhnya itu tidak akan mampu membalas setetes kebaikan ibu, apalagi jutaan kasih sayangnya yang tanpa batas. Seperti bakti lelaki shalih ini.
Lelaki itu sudah mengabdi kepada ibunya sampai tuntas. Seluruh waktunya. Seluruh potensinya. Dia menggendong ibunya yang lumpuh. Memandikan dan mensucikannya dari semua hadatsnya. Ikhlas penuh dia melakukannya. Itu balas budi dari seorang anaknya yang menyadari bahwa perintah berbuat baik kepada kedua orang tua diturunkan Allah persis setelah perintah tauhid. Walaa tusryiku billahi wabil waalidaini ihsaana…
Tapi entah karena dorongan apa dia kemudian bertanya kepada Umar bin Khaththab : “Apa pengabdianku sudah cukup untuk membalas budi ibuku?” Lalu Umar pun menjawab, “Tidak! Tidak cukup! Karena engkau melakukannya sembari menunggu kematiannya, sementara ibumu merawatmu sembari mengharap kehidupanmu.”
Tidak! Tidak! Tidak! Astaghfirullahal azhiim…
Itulah yang membedakan kasih bunda dengan bakti kita. Kita berbakti, kita mengabdi, kita membalas kebaikan orang tua karena seringkali ada tendensi dan harapan yang tersembunyi, mengharap kematiannya. Astaghfirullahal azhiim. Ya Allah ampunilah kami dari bersitan niat buruk ketika kami merasa lelah mendampingi sakit ibu. Merasa jengah mendengar omelan rewel ibu. Merasa marah tak betah karena begitu banyak perintah ini dan itu. Ya Allah ampunilah, padahal tiada maksud ibu kecuali kebaikan…
Saudaraku, tidak ada budi yang dapat membalas cinta seorang ibu. Apalagi mengimbanginya. Sebab cinta ibu mengalir dari darah dan ruh. Anak adalah buah cinta dari dua hati. Tapi ia tidak dititip dalam dua rahim. Ia dititip dalam rahim sang ibu selama sembilan bulan : di sana sang anak hidup bergeliat dalam sunyi sembari menyedot sari pati kehidupan seorang ibu. Lalu ia keluar diantar darah : inilah ruh baru yang dititip dari ruh yang lain.
Begitu besar kasing bunda yang merawat kita dengan cinta. Mengharapo kehidupan kita. Mencitakan kesuksesan kita. Mendamba bahagia kita. Karenanya mari kita selami, pahami, rasakan, detak-detak cinta pembawa bahagianya. Gunakan detik-detik momentum untuk mengantar bahagianya, dengan landasan cinta, harapan dan doa, agar Allah berkenan melimpahkan ridha-Nya.
Saudaraku, kalau tak ada usapan sayang waktu kecil dari Ibu, mungkin hari ini kita tidak memiliki kekuatan jiwa untuk menghadapi kehidupan. Dialah pahlawan dalam kesunyian, karena kita lebih sering melupakannya. Sudahkah kita berbakti sepenuh hati?
Di usia yang telah senja …
Kau berkenan memanggilnya
Aku rela dalam ridlo-Mu …
Tawakkalku pada-Mu
Kasihilah dia di sana …
Di dalam kesendiriannya
Lapangkanlah alam kuburnya …
Terangilah dengan cahaya-Mu
Duhai Rabbii ampunkan dia …
Sejahterakan dengan nikmat-Mu
Yang tak pudar ditelan masa …
Ijinkan kami meminta