Takaful adalah solidaritas, mencukupi kebutuhan hidup dan mengasuh, seperti kondisi kekurangan yang timbal pada salah satu pihak yang mendesak hubungan saling mencukupi. Jadi takaful adalah interaksi antara dua pihak atau lebih.
Takaful Ijtima’i (solidaritas sosial) atau yang dikenal di Amerika dengan istilah social security adalah sistem yang menegakkan hubungan interaksi, jaminan timbal balik, saling mencukupi dan memelihara di antara anggota komunitas manusia dalam sebuah masyarakat tertentu. Mengenai makna takaful ini, Al Qur’an mengemukakan:
“Padahal kamu (hai Muhammad) tidak hadir beserta mereka, ketika melemparkan anak panah-anak panah mereka (untuk mengundi) siapa di antara mereka yang akan memelihara Maryam.” (Ali Imran: 44)
“Maukah kamu aku tunjukkan kepadamu ahlul bait yang akan memeliharanya untukmu?” (Al Qashash: 12)
“Dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (atas sumpah-sumpah itu).” (An Nahl: 91)
Solidaritas sosial dalam filsafat sosial Islam berasaskan kaidah umum Islam, yaitu kaidah kehendak ilahiah dalam syari’ah yang bertujuan untuk menciptakan keseimbangan antar anggota masyarakat dan kelompok masyarakat dalam masyarakat yang beriman dan makhluk yang berbeda.
Allah semata yang memiliki keesaan, tidak satupun makhluk yang memiliki sifat ini. Selain Allah di alam fauna, flora, benda-benda mati baik di dunia ini maupun di angkasa, diciptakan berpasang-pasangan. Oleh sebab itu, filsafat Islam bertujuan untuk menegakkan keadilan dan hubungan yang sehat antar pasangan-pasangan itu serta keragaman kecenderungan dan penyelarasan antar kecenderungan, kepentingan dan tujuan-tujuan itu dan mewujudkan hubungan takaful yang membentuk rakitan komunitas agar tidak terjadi kontradiksi dan perselisihan antara pihak-pihak yang berbeda kepentingan yang mengantarkan pada konflik dan kehancuran. Maka keadilan Allah adalah timbangan neraca (mizan) yang diturunkan melalui kitab suci agar semua urusan menjadi lurus dan seimbang, yang di antaranya adalah urusan komunitas manusia, sebagaimana firman Allah:
“Allah-lah yang menurunkan Kitab dengan (membawa) kebenaran dan (menurunkan) neraca (keadilan).” (Asy Syuura: 17)
“Dan telah Kami turunkan bersama mereka Al kitab dan melaksanakan keadilan.” (Al Hadiid: 25)
Jadi kitab suci adalah alat keseimbangan dalam berbagai bidang kehidupan.
Jika harta benda adalah ciptaan Allah yang dititipkan dengan limpahAn Nya dalam sumber-sumber dan sifat-sifat alamiahnya, maka manusialah yang diberi tugas untuk memegang kekhalifahan atas semua itu, dengan ikatan sumpah dan janji syari’ah sebagai rambu-rambu bagi kerangka solidaritas sosial hingga hubungan antar kelompok yang berbeda-beda dan bersaing dalam masalah kekayaan pada saat keadilan berjalan menjadi seimbang dan serasi.
“Dialah (Allah) yang menciptakan segalanya untuk kamu di muka bumi.” (Al Baqarah: 29)
“Dan Allah telah meratakan bumi untuk makhluk-Nya.” (Ar Rahmaan: 10)
“Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya (sebagai rahmat) dari Dia.” (Al Jaatsiyah: 13)
Allah menjadikan manusia sebagai genus, sebagai umat, bukan sebagai individu atau kelas, mendapat tugas kekhalifahan dan sebagai wakil Tuhan dalam kekayaan dan harta benda ini, sebagaimana ditegaskan dalam Al Qur’an, surat Al Hadiid: 7, yang telah dikemukakan terdahulu. Sebab harta benda itu, hakikatnya milik Allah yang diciptakan untuk manusia dan dititipkan padanya. Pemilikan manusia atas harta benda itu bersifat simbolis, pemilikan pemanfaatan. Oleh sebab itu, istilah harta benda dinisbahkan secara posesif kepada Allah dan kepada manusia dalam Al Qur’an. Ketika dinisbahkan secara posesif kepada manusia, kata ganti jamak digunakan dalam empat puluh tujuh ayat; kata ganti tunggal dalam tujuh ayat. Sehingga Muhammad Abduh (1849-1905) melihat kenyataan ini menyimpulkan: “Takaful umat dalam hak dan kepentingannya seolah menyatakan bahwa harta benda setiap orang di antara Anda adalah harta benda umat Anda.”
Sebelum Muhammad Abduh, Imam Zamakhsyari (1075-1144), penulis kitab Tafsir Al Kasysyaf memandang tentang pemilikan Allah atas harta benda dan pemberian tugas dan amanat Allah berupa harta benda ini kepada manusia mempunyai tujuan. Oleh sebab itu, ia mengemukakan bahwa tujuan Allah adalah hendak mengatakan kepada manusia: “Sesungguhnya harta benda yang ada di tangan Anda sekalian tidak lain adalah harta benda Allah dengan menetapkan dan mengadakan lalu memberikan harta kekayaan itu kepada Anda sekalian sebagai amanat titipan, menyerahkan kepada Anda pemanfaatannya dan menjadikan Anda sebagai khalifah untuk membelanjakan dan menggunakannya, yang sebenarnya bukanlah milik hakiki bagi Anda. Anda hanyalah sebagai wakil dan penerima amanat saja.” Oleh sebab itu, Allah memberi batasan untuk manusia sebagai khalifah, wakil dan pengemban amanat yang menegakkan takaful di antara mereka dan mewujudkan keseimbangan bagi mereka dalam harta dan kekayaan, yang mana batasan-batasan itu berupa rambu-rambu takaful, solidaritas dan kebersamaan yang berasaskan pada kehalalan sumber pemilikan; kehalalan berbagai jenis pembelanjaan dan investasi; pemilikan pribadi dengan batas cukup; dan memutar kelebihan dari batas itu untuk kepentingan umum:
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya di jalan Allah, maka beritakan kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. Pada hari dipanaskan emas dan perak itu dalam neraka Jahannam, lalu dibakar dengan dahi mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang akibat dari apa yang kamu simpan itu.” (at Taubah: 34-35)
“Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan, Katakanlah: ‘yang lebih dari keperluanmu’ (al ‘afw). Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir.” (Al Baqarah: 219)
Kata Al ‘afw pada ayat ini ditafsirkan oleh Ibnu ‘Abbas (619-687 M), Hasan Al Bashri (642-765 M), Qatadah bin Di’amah As Sadusi (693-765 M), dan para ulama lainnya dengan: “Apa yang menjadi kelebihan dari kebutuhan keluarga.” Dari sini lalu maknanya menjadi: nafkahkanlah kelebihan dari kebutuhanmu dan janganlah menyiksa dirimu sendiri (dengan menafkahkan tanpa perhitungan) sehingga kamu menjadi miskin.
Jadi apa yang menjadi kelebihan takaful khusus, dinafkahkan dan difungsikan untuk melaksanakan takaful umum. Infaq dalam tradisi Islam tidak hanya berarti shadaqah saja, melainkan mengfungsikan harta secara mutlak dan mengembangkannya di bidang-bidang yang bermanfaat dan takaful umum. Dengan pengertian solidaritas sosial Islam ini terdapat makna peran serta yang melahirkan keseimbangan di antara manusia sebagai pengemban khilafah. Inilah yang dibicarakan oleh banyak hadits Nabi tentang masalah ini:
“Hamba berkata: Hartaku! Hartaku! (lalu harta itu menjawab): Hartamu yang sebenarnya tidak lain yang telah engkau sedekahkan lalu engkau tinggalkan; atau yang telah engkau pakai lalu rusak, atau yang telah engkau makan lalu habis.” (Muslim,Turmudzi, dan Imam Ahmad)
Hadits lainnya:
“Orang-orang Muslim berserikat (memiliki bersama) dalam tiga perkara yang tidak boleh dimonopoli: (sumber) air, padang gembala dan api, harga semua itu juga haram!” (Ibnu Majah dan Imam Ahmad)
Hadits lainnya lagi:
“Barangsiapa melakukan dumping bahan makanan selama empat puluh malam, maka dia telah lepas diri dari Allah ta’ala, dan Allah juga telah lepas dari diri dia. Dan siapapun di antara penduduk kampung ada yang mengalami kelaparan, maka tanggungan Allah telah lepas dari mereka.” (Imam Ahmad)
Dalam realitas sejarah Islam banyak ditemukan bukti yang menunjukkan adanya solidaritas sosial. Umar bin Khattab adalah orang yang mengatakan tentang takaful di antara manusia dalam hal harta dan kekayaan:
“Demi Dzat yang nyawaku ada di tangAn Nya. Setiap orang pada harta ini mempunyai hak, hak ini diberikan kepadanya, atau tidak diberikan. Tidak seorangpun lebih berhak dari yang lainnya. Aku dalam hak ini hanyalah seperti seseorang di antara mereka. Maka orang laki-laki dipertimbangkan sesuai dengan cobaannya, orang laki-laki dipertimbangkan sesuai dengan senioritasnya; orang laki-laki dipertimbangkan sesuai dengan kekayaannya, dan orang laki-laki dipertimbangkan sesuai dengan hajat kebutuhannya.”
Ali bin Abu Thalib adalah orang yang mengatakan:
“Sesungguhnya Allah menetapkan dalam harta kekayaan orang-orang kaya hak makanan bagi orang-orang fakir. Seorang fakir tidak menderita kelaparan kecuali karena ada hak yang dinikmati oleh orang kaya! Sesungguhnya kekayaan dalam keasingan sama dengan berada di sebuah negeri dan kefakiran di sebuah negeri adalah suatu keasingan. Sesungguhnya orang yang berada dalam kekurangan adalah asing di negerinya sendiri.”
Ia adalah neraca yang menjadi seimbang dengan takaful dan menjadi timpang dengan tidak adanya takaful ini. Maka tidak ada seorang fakir yang menderita kelaparan kecuali karena ada hak yang dinikmati oleh orang kaya!
Umar bin Abdil ‘Aziz, adalah orang yang melukiskan takaful ijtima’i (solidaritas sosial) dengan begitu agung ketika mengatakan:
“Sesungguhnya keluargaku terputus dari apa yang tidak menjadi hakku dan mereka tidak berhak memberiku hak itu. Sesungguhnya Allah tabaraka wa ta’ala telah mengutus Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai rahmat bagi sekalian manusia. Kemudian memilih untuk dirinya apa yang ada padanya, lalu menggenggamnya pada dirinya, dan membiarkan untuk manusia (bahwa harta itu ibarat) sebuah sungai besar dan manusia adalah pemilik jatah airnya secara merata! Kemudian Abu Bakar berdiri lalu membiarkan sungai itu sebagaimana adanya. Kemudian Umar menduduki kepemimpinan, lalu berbuat seperti yang dilakukan oleh sahabatnya itu. Ketika Utsman menduduki kepemimpinan, dari sungai itu diambil satu sungai lagi. Kemudian datang Muawiah menduduki kepemimpinan, dari sungai itu diambil banyak sungai. Kemudian sungai itu terus diambil oleh Yazid, Marwan, Abdul Malik, Al Wakid, Sulaiman hingga kepemimpman itu sampai kepadaku, sungai itu telah kering. Para pemilik air itu tidak bisa lagi mengambil air hingga sungai besar itu kembali menjadi hak milik mereka seperti sedia kala.”
Takaful ijtima’i dalam Islam, ketika menegakkan keseimbangan, solidaritas dan keterpaduan di antara komunitas manusia dalam masyarakat Islam, senantiasa menghilangkan kepincangan yang pada gilirannya mengakibatkan harta kekayaan terkumpul pada salah satu pihak dan kemiskinan terkonsentrasi pada satu pihak lainnya. Maka masyarakat yang melaksanakan takaful ijtima’i adalah lawan dari masyarakat yang didominasi golongan kaya yang dikatakan oleh Al Qur’an dalam banyak ayat di antaranya:
“Apa saja harta rampasan (fai’) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak yatim, orang-orang miskin, dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya atas kamu, maka tinggalkanlah; dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukumAn Nya.” (Al Hasyr: 7)
Juga ayat yang mengajarkan kita tentang sunnatullah dalam komunitas manusia, yaitu bahwa sikap serakah dan selalu merasa kaya, individualisme, cinta diri sendiri dan mendahulukan diri sendiri senantiasa menjadi pendahuluan yang mengantarkan pada pelanggaran batas ketentuan, sebagaimana firman Allah:
“Ketahuilah bahwa manusia benar-benar melampui batas. Karena dia melihat dirinya serba cukup.” (Al ‘Alaq: 6 -7)
Selain ayat-ayat tersebut, terdapat pula ayat yang berbicara tentang sunnah keberpihakan orang-orang yang hidup mewah kepada kesesatan dan kekufuran:
“Dan kami tidak mengutus kepada suatu negeri seorang pemberi peringatanpun, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: ‘Sesungguhnya kami mengingkari apa yang kamu diutus untuk menyampaikannya’. Dan mereka berkata: ‘Kami lebih banyak mempunyai harta dan anak-anak (dari pada kamu) dan kami sekali-kali tidak akan diazab.” (Saba’: 34-35)
Di samping itu juga terdapat sunnah bahwa kemewahan adalah awal kehancuran peradaban dan kemunduran ‘umran:
“Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan di negeri itu, maka sepantasnyalah berlaku perkataan (ketentuan Kami) terhadap mereka kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” (Al Israa’: 16)
Kehancuran itu adalah hilangnya keseimbangan dan terputusnya ikatan-ikatan takaful yang menjadi asas ‘umran. Sedangkan takaful ijtima’i dalam Islam adalah menegakkan hubungan saling memberi jaminan, menutupi kebutuhan, dan memelihara untuk mewujudkan keseimbangan dan keharmonisan, yakni adil di antara kelompok-kelompok komunitas manusia. Sebaliknya tidak adanya takaful ijtima’i menimbulkan ketidakseimbangan yang mengantar –bilamana tidak diperbaiki– pada kehancuran sosial dan kemunduran peradaban.[1]
[1] Lebih jauh, lihat, DR. Muhammad Immarah, Al Islam wa Huquq Al Insan, juga dalam Al Islam wa Ats Tsaurah.