Tangan Dingin Sang Zahid

Daya cipta material hanyalah satu sisi yang dapat dijelaskan oleh harta tentang kepahlawanan seseorang. Ada sisi lain, yang menunjukkan kekuatan jiwa seorang pahlawan: daya kendalinya terhadap harta. Apakah harta itu berubah menjadi tujuan hidupnya? Apakah harta itu merubah perasaan-perasaannya terhadap orang lain?

Apakah harta itu menjadi sumber rasa percaya dirinya? Apakah harta itu sepenuhnya digunakan untuk misi kepahlawanannya atau tidak? Kedua sisi kekuatan itu, daya cipta material dan daya kendali material, boleh jadi merupakan sumber antagonisme dan konflik dalam diri seorang pahlawan. Misalnya, jika daya cipta materialnya hebat, tapi daya kendalinya lemah. Dari daya cipta material yang hebat itu lahir kekayaan dan sarana yang melimpah, tapi dari kelemahannya lahir kutub-kutub jiwa yang ekstrim yang justru mematikan kekuatannya yang pertama; keserakahan, kebakhilan, kesombongan, perasaan tidak butuh kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, pemborosan, tabzir (pemubaziran), dan kemewahan.

Memiliki kedua kekuatan itu sekaligus akan melahirkan kutub-kutub jiwa yang saling mengimbangi; di tengah kemelimpahan harta dan sarana ia adalah seseorang yang selalu bersyukur, dermawan, rendah hati dan sederhana. la menemukan kebanggaannya ketika ia mengerahkan segenap daya cipta materialnya dan menghasilkan harta dan sarana.

Tapi ia juga menemukan kebahagiaannya bukan ketika ia memiliki, melainkan justru ketika ia memberi dan berbagi; ada ketenangan yang luar biasa ketika dinginnya tangan mereka menggenggam dunia.

Membangun daya cipta material yang hebat tanpa harus dikuasai oleh dorongan memiliki agaknya membutuhkan proses pembelajaran yang panjang. Itulah yang terjadi pada Perang Badar; kemenangan melahirkan kekayaan, tapi kekayaan itulah yang membuat mereka kalah. “Akhlak kami,” kata Saad bin Abi Waqqas, “sudah rusak setelah Badar.” Akibatnya, kekalahan pada Perang Uhud; mereka berebut harta rampasan.

Simpul dari semua ciri jiwa yang menandai daya kendali seorang pahlawan Muslim adalah pengorbanan. Karena, kata Syekh Abdullah Azzam, manusia sesungguhnya lebih pelit dengan hartanya ketimbang dengan jiwanya. Maka, Umar bin Khattab dan Abdurrahman bin Auf selalu memberikan limah puluh persen hartanya, tapi Abu Bakar dan Utsman bin Affan biasa memberikan seratus persen hartanya.

Tapi dari manakah seorang pahlawan menemukan energi untuk berkorban? Dari kezuhudan; persepsi bahwa harta hanyalah sarana, perasaan tidak membutuhkan harta karena mengharapkan kemewahan surga yang abadi; maka tangan mereka dingin dan tidak neurvous saat memegang harta, tidak pernah harta itu menemukan jalan menuju hati mereka.

Suatu saat Umar bin Khattab menangis menyaksikan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam tertidur di atas tikar yang membekas pada wajahnya, lalu ia bertanya mengapa Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak memberi Rasul-Nya harta dunia seperti yang diberikannnya kepada Raja Persi dan Romawi? Maka, Sang Rasul yang agung menjawab, “Tidakkah engkau suka kita meraih akhirat dan mereka memperoleh dunia?”