Kata ta’wil dalam bahasa Arab, sebagaimana definisi yang dikemukakan oleh Abu Al Wahid Ibnu Rusyd (1126-1198 M) adalah: mengeluarkan isyarat makna kata dari makna hakiki ke makna alegoris (majazi) tanpa meninggalkan tradisi yang berlaku dalam bahasa Arab. Sedangkan definisi yang dikemukakan oleh Asy Syarif al-Jurjani (1340-1415 M) adalah bahwa arti ta’wil adalah mengubah kata dari maknanya yang eksplisit kepada makna lain yang mungkin apabila kemungkinan makna yang dilihatnya itu sesuai dengan Kitab dan sunnah.
Ta’wil berbeda dengan tafsir sebagaimana dapat dilihat dalam ayat al-Qur’an: “Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati” (al-An’aam: 95)
Jika dikatakan bahwa maknanya adalah: “mengeluarkan unggas dari telur”, umpamanya, maka ini adalah tafsir. Sedangkan apabila dikatakan bahwa maknanya adalah: “mengeluarkan orang mukmin dari orang kafir, atau orang berilmu dari orang bodoh”, umpamanya, maka itu adalah ta’wil. Sebab dalam makna yang kedua ini berarti mengeluarkan kata dari maknanya dan isyarat pengertiannya yang hakiki kepada isyarat pengertian alegoris (majazi), padahal tidak demikian halnya dengan tafsir.
Ta’wil yang dikendalikan dengan qaidah-qaidah bahasa Arab dan logika Islam adalah jalan yang ditempuh oleh setiap tokoh Islam dari berbagai aliran dan pemahaman, dengan sikap moderat yang ditunjukkan oleh sebagian mereka dan sebagian lainnya banyak yang melakukan ta’wil seperti Al Asy’ariyah dan Al Mu’tazilah. Imam Al Ghazali (1058-1111) mengemukakan tentang ta’wil –sebagai satu pengecualian yang niscaya–: “Tidak ada kelompok di antara kelompok-kelompok Islam, kecuali kelompok itu terpaksa melakukan ta’wil.”
Men-ta’wil satu persoalan tidak berarti meniadakan keberadaannya –jika ta’wil itu benar– melainkan berarti memberi konsep sesuai dengan lima dimensi wujud, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Al Ghazali.
- Wujud dzat: yakni wujud hakiki, yang tetap di luar indra dan akal, akan tetapi indra itu mengambil satu bentuk. Pengambilan bentuk ini disebut idrak (mengetahui).
- Wujud hissi: yakni yang direfleksikan pada daya penglihatan yang diperoleh melalui mata pada sesuatu yang tidak ada wujudnya diluar mata dan khusus bagi yang menjalankan serta tidak dialami juga oleh orang lain seperti penglihatan orang yang tidur dan orang yang sakit yang melihat sesuatu di alam jaga padahal sesuatu itu tidak ada di alam nyata.
- Wujud khayali (imaginer): yaitu satu bentuk sensual yang diperoleh manusia dalam imaginasinya, lalu dia melihatnya meskipun kedua matanya tertutup.
- Wujud ‘aqli: yaitu bahwa sesuatu itu, umpamanya, mempunyai roh, hakekat, dan makna, sebagai contoh, tangan memiliki bentuk sensual dan imaginer dan mempunyai makna yang menjadi hakekatnya, sedangkan kemampuan untuk memukul adalah konsep tangan secara akal.
- Wujud Syabahi: yaitu sesuatu itu sendiri ada tidak dengan bentuknya dan tidak pula dengan hakekatnya, tidak di alam eksternal, tidak pada cita rasa, tidak pada imaginasi, dan tidak pula dalam akal, akan tetapi yang ada adalah sesuatu yang lain yang mirip ciri-cirinya dan sifat-sifatnya seperti: marah, rindu, senang, sabar dan lain sebagainya –bilamana hal itu terlintas sebagai hak Allah– maka yang demikian tidak dapat ditetapkan bagi diri-Nya, tidak dengan bentuknya, tidak dengan hakekatnya, tidak di alam eksternal, tidak pula pada cita rasa, tidak pada imaginasi, dan tidak pula pada akal, akan tetapi pada sifat yang dibandingkan dan pengaruh yang muncul. Sebab tidak ada sesuatu pun yang menyerupai Dia.
Pada posisi manapun dari urutan wujud ini tingkat-tingkat ta’wil itu dilakukan maka tidak menafikan wujud ini, sehingga pembenarannya tetap ada, akan tetapi dengan ta’wil pada tingkat-tingkat wujud itu.
Sedang ta’wil yang tidak dapat diterima, yaitu yang ditempuh oleh penganut paham kebatinan (Al Bathiniyyah), adalah yang menjadikan ta’wil sebagai “qaidah” bukan “pengecualian” yang menggeneralisasi setiap syari’ah dan nash-nash; yang terlepas dari qaidah-qaidah Bahasa Arab dalam ta’wil dan dari logika aqidah Islam serta hukum-hukum syari’ah. Sehingga, bagi mereka, setiap yang eksplisit mempunyai makna implisit dan setiap wahyu mempunyai ta’wil, dengan menggeneralisasikan itu terhadap aqidah, ibadah dan muamalat; terhadap ketentuan dan persoalan-persoalan yang berubah-ubah; terhadap berita alam gaib dan alam nyata; dengan tenggelam dan berlebihan dalam apa yang mereka namakan rahasia dan simbol atau pelamat huruf dan angka.[1]
[1] Lebih lanjut, lihat al-Ghazali dalam Faishal at-Tafriqah Baina al-Islam wa az-Zandaqah, Kairo 1907, DR. Abdurrahman Badawi, dalam Madzahib al-lslamiyyin, Beirut 1973, juga DR. Muhammad Ammarah, dalam at-Tafsir al-Marksi li al-Islam, Kairo 1966.