Di antara prinsip-prinsip pendidikan yang ditetapkan oleh Islam dalam mendidik anak adalah menggabungkan nama anak dengan nama bapaknya. Penggabungan nama ini memiliki efek psikologis dan dampak pendidikan, antara lain:
1. Akan menumbuhkan rasa menghormati di dalam jiwa anak. Seorang penyair mengatakan:
Kugabungkan namanya dengan nama bapaknya,
ketika aku memanggilnya, demi untuk menghormatinya.
Aku tidak menjulukinya.
Karena julukan itu adalah buruk.
2. Menumbuhkan kepribadian sosialnya. Sebab, si anak dianggap dewasa dan merasa diberi penghormatan.
3. Memberikan rasa gembira kepada si anak dengan panggilan sesuai dengan gabungan nama yang ia sukai.
4. Membiasakan etika berbicara di kalangan orang dewasa dan anak-anak yang sebaya dengannya.
Karena dampak positif yang mulia ini, Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wassalam menggabungkan nama anak-anak kepada nama bapak-bapak mereka dan memanggil mereka dengan nama-nama itu. Hal ini sebagai ajaran dan petunjuk bagi para pendidik, agar mereka dapat meneladani beliau di dalam penggabungan nama anak-anak kepada nama bapak-bapak mereka dan memanggil dengannya.
Di dalam Sahihain terdapat sebuah hadis dari Anas radiyallahu ‘anhu, Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wassalam adalah orang yang paling baik akhlaknya. Aku mempunyai saudara yang dipanggil Abu ‘Umair. Dan ketika Nabi Sholallahu ‘alaihi wassalam mendatanginya, beliau bersabda, “Wahai Abu ‘Umair, apa yang dikerjakan oleh Nughair (burung yang sedang dipermainkan)? (memperkirakan bahwa burung itu sedang disapih).
Dan Nabi Sholallahu ‘alaihi wassalam mengizinkan Aisyah radiyallahu ‘anha untuk dipanggil dengan Ummu Abdillah Az Zubair. Ia adalah putra saudara perempuannya, Asma’ binti Abi Bakar radiyallahu ‘anha.
Sebelum Anas mempunyai anak, ia dipanggil Abu Hamzah. Dan Abu Hurairah jelas dipanggil demikian, ketika ia belum mempunyai anak.
Boleh juga memanggil seseorang dengan nama yang bukan nama anak-anaknya. Abu Bakar dipanggil dengan Abu Bakar, padahal ia tidak mempunyai anak yang bernama Bakar. Umar Ibnul Khattab radiyallahu ‘anhu dipanggil dengan Abu Hafsh, padahal ia tidak mempunyai anak yang bernama Hafsh. Abu Dzarr radiyallahu ‘anhu dipanggil dengan nama Abu Dzarr, padahal ia tidak mempunyai anak yang bernama Dzarr. Demikian pula Khalid bin Al Walid radiyallahu ‘anhu dipanggil dengan nama Abu Sulaiman, padahal ia tidak mempunyai anak yang bernama Sulaiman.
Berikut beberapa ketentuan yang berkenaan dengan pemberian nama dan penggabungannya:
Pertama, dalam keadaan tidak adanya kesepakatan antara kedua orang tua di dalam pemberian nama kepada anak, maka pemberian nama itu menjadi hak bapak. Hadis-hadis yang telah disebutkan pada awal pembahasan menunjukkan bahwa pemberian nama itu menjadi hak bapak.
Al Quran sendiri menjelaskan, bahwa anak itu digabungkan dengan nama bapaknya, bukan dengan nama ibunya. Sehingga seseorang akan disebut Fulan bin fulan.
Allah berfirman:
“Panggillah (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama-nama bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah.” (QS. Al Ahzab: 5)
Di dalam hadis Muslim dari Anas radiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Tadi malam anakku telah lahir, maka aku menamakannya Abu Ibrahim.”
Kedua, tidak diperbolehkan bagi bapak dan anak yang lainnya untuk menjuluki anak dengan julukan-julukan yang hina, seperti si pendek, si dungu, si bisu, si kumbang kelapa. Sebab hal ini termasuk di dalam larangan Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
“Dan janganlah kamu panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk.”
(QS. Al Hujurat: 11)
Hal ini mengingat gelar-gelar yang hina itu akan memberikan efek negatif terhadap kelainan anak secara psikis dan sosial. Masalah ini akan diterangkan secara rinci pada bab tanggung jawab pendidikan psikis.
Ketiga, bolehkah memberi julukan nama Abu Qasim?
Para ulama sepakat di dalam membolehkan pemberian nama anak dengan nama Nabi Sholallahu ‘alaihi wassalam. Dalilnya adalah hadis yang diriwayatkan Muslim dari Jabir radiyallahu ‘anhu, “Salah seorang di antara kami mempunyai anak, lalu aku namakan ia Muhammad. Namun kaumku berkata, bahwa mereka tidak akan membiarkan aku memberi nama dengan nama Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wassalam.” Maka Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Beri nama dengan namaku. Tetapi janganlah memakai julukan dengan sebutanku. Sesungguhnya hanya akulah seorang pembagi yang membagi di antara kamu.”
Mengenai penyebutan nama dengan sebutan nama Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wassalam, para imam mujtahid berbeda pendapat:
- Mutlak makruh. Mereka berargumentasi dengan hadis yang disebutkan dahulu dan hadis Abu Hurairah yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim bahwa Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Berilah nama dengan namaku tetapi janganlah membuat julukan dengan julukan namaku.” Pendapat ini termasuk pendapat Imam Syafi’i.
- Mutlak mubah. Mereka berargumentasi dengan hadis yang diriwayatkan Abu Dawud di dalam Sunannya dari Aisyah radiyallahu ‘anha: Telah datang seorang wanita kepada Nabi Sholallahu ‘alaihi wassalam dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah dikaruniai seorang anak, lalu aku namakan ia Muhammad dan kusebut ia dengan “Abul Qasim”. Kemudian diceritakan kepadaku, bahwa engkau tidak menyukai hal itu.” Beliau bersabda:
“Apa yang menghalalkan namaku dan apa yang mengharamkan julukanku?”
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan sebuah hadis dari Muhammad bin Al Hasan dari Abu Uwanah dari Al Mughirah dari Ibrahim, bahwa ia berkata: “Aku mengetahui empat orang anak sahabat-sahabat Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wassalam. Masing-masing dinamakan Muhammad dan mereka dijuluki dengan Abul Qasim. Mereka itu adalah Muhammad bin Thalhah bin Abi Thalib dan Muhammad bin Sa’ad bin Abi Waqqash.”
Imam Malik pernah ditanya tentang orang yang diberi nama Muhammad dan dijuluki dengan sebutan Abul Qasim. Ia menjawab, “Belum pernah ada larangan tentang itu. Dan aku tidak dapat berpendapat tentang hal itu.”
Kelompok yang menyatakan bahwa pemberian nama dan julukan Nabi Sholallahu ‘alaihi wassalam itu hukumnya mutlak mubah, beranggapan bahwa hadis-hadis yang memuat larangan itu adalah mansukh (diralat).
1. Tidak boleh menyatukan nama dan julukan Nabi Sholallahu ‘alaihi wassalam. Misalnya menamakan anak dengan Muhammad dan menjulukinya dengan Abul Qasim sekaligus.
Adapun jika dipisahkan antara nama dengan julukan itu, maka diperbolehkan. Golongan ini berargumentasi dengan hadis yang diriwayatkan Abu Dawud di dalam Sunannya dari Jabir radiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Sholallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Siapa yang membuat nama dengan namaku, maka ia tidak boleh mengambil julukan dengan julukanku. Dan siapa yang mengambil julukan dengan julukanku, maka ia tidak boleh membuat nama dengan namaku.”
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Abdur Rahman dari Abu Umarah dari pamannya. Dikatakan bahwa Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Janganlah kalian menyatukan namaku dengan julukanku.”
Dan juga hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Khaitsamah, bahwa ketika Muhammad bin Thalhah dilahirkan, Thalhah telah mendatangi Nabi Sholallahu ‘alaihi wassalam. Ia berkata, “Namanya Muhammad. Kusebut ia Abul Qasim.” Beliau bersabda, “Janganlah engkau mencampurkan nama dan julukan itu baginya. Ia kemudian disebut Abu Sulaiman.”
2. Larangan pemberian julukan itu khusus berlaku ketika beliau masih hidup. Adapun setelah beliau wafat, maka tidaklah mengapa menggunakannya.
Kelompok ini berargumentasi dengan hadis yang diriwayatkan Abu Dawud di dalam Sunannya, dari Mundzir dari Muhammad Ibnu Al Hanafiyah: Ali radiyallahu ‘anhu berkata, “Jika aku dikaruniai seorang anak setelah engkau wafat, maka ia akan aku namakan dengan namamu dan aku juluki dengan julukanmu.” Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Ya.”
Hamid bi Zanwajih mengatakan di dalam Kitabul Adab: Dikatakan Malik mengenai orang yang menyatukan julukan Nabi Sholallahu ‘alaihi wassalam dengan namanya. Ia menunujuk kepada seorang tua yang sedang duduk bersama kami, lalu berkata, “Di sini Muhammad bin Malik. Ia dinamakan Muhammad dan juga disebut Abul Qasim. Ia, Imam Malik, mengatakan, bahwa larangan itu berlaku ketika Nabi Sholallahu ‘alaihi wassalam masih hidup, karena beliau tidak suka bila seseorang dipanggil dengan nama dan julukan Nabi Sholallahu ‘alaihi wassalam, maka beliau akan ikut berpaling. Sedang sekarang, yakni setelah beliau wafat, maka tidak apa-apa.”
Mudah-mudahan pendapat keempat ini lebih benar, sesuai dengan logika yang dikatakan Imam Malik dan hadis-hadis Nabi Sholallahu ‘alaihi wassalam yang menunjukkan hal itu.
Berdasarkan masalah ini, maka permberian nama dengan nama Nabi Sholallahu ‘alaihi wassalam dan penyebutan julukan dengan julukan beliau, diperbolehkan. Sebab, hadis-hadis yang menunjukkan larangan itu, khusus berlaku pada masa Nabi Sholallahu ‘alaihi wassalam masih hidup. Hal itu karena dikhawatirkan akan terjadi kekaburan ketika memanggil, antara pribadi orang yang diajak berbicara dengan pribadi Nabi Sholallahu ‘alaihi wassalam. Sedang setelah beliau wafat, maka kekaburan itu tidak akan terjadi. Dengan demikian, hal ini menunjukkan bahwa pemberian nama dan julukan itu adalah hadis Az Zuhri, seperti telah disebutkan pada halaman yang telah lalu, bahwa ia telah mengetahui empat orang anak dari sahabat-sahabat Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wassalam, yang masing-masing diberi nama Muhammad dan juga disebut Ibnul Qasim. Allahlah Yang lebih Mengetahui tentang hal ini.
Setelah mengetahui pasal ini, hendaklah para bapak dan ibu mengikuti jalan yang paling benar di dalam memberikan nama kepada anak-anak mereka dan menghindari nama-nama yang akan mengotori kehormatan kepribadian mereka, yakni dengan meneladani Nabi Sholallahu ‘alaihi wassalam dalam memberikan julukan yang disenanginya kepada anak-anak sejak mereka masih kecil. Sehingga mereka merasa memiliki kepribadian, tumbuh rasa cinta dan menghormati diri sendiri, serta terbiasa dengan etika yang luhur di dalam berbicara dengan orang-orang yang berada di sekelilingnya.
Jika kita ingin mengembalikan kemuliaan dan eksistensi kita yang terpendam, maka sudah seharusnya kita menerapkan dasar-dasar pendidikan dan prinsip Islam yang kokoh ini. Hal itu tidaklah sulit bagi Allah untuk mewujudkannya, jika benar-benar kita menerapkan Islam secara keseluruhan.