A. Pengertian
1. Bahasa
Istilah ath thaharah ( الطھارة ) dalam bahasa Arab adalah an nadhzafah ( النظافة ) yang berarti kebersihan.[1]
Di dalam Al Quran Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang ruku’ dan yang sujud”. (QS Al Baqarah: 125)
Umumnya kita mengenal kata bersih sebagai lawan dari kata kotor. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata bersih itu punya beberapa makna, antar lain:
- bebas dr kotoran: supaya kita sehat, segala sesuatu diusahakan tetap –; sebelum tidur cucilah kaki dan tanganmu hingga –;
- bening tidak keruh (tt air), tidak berawan (tt langit): langit — bertabur bintang;
- tidak tercemar (terkena kotoran): sungai itu tidak – lagi krn limbah dr pabrik itu dibuang ke situ;
- tidak bernoda; suci: meskipun sudah beberapa hari dilarikan pemuda itu, ia masih tetap –;
- tidak dicampur dng unsur atau zat lain; asli: kebudayaan di daerah itu masih — dr pengaruh asing;
2. Istilah
Sedangkan makna thaharah secara istilah para ulama fiqih tentu bukan semata-mata kebersihan dalam arti bebas dari kotoran. Thaharah dalam istilah para ahli fiqih adalah:
عبارة عن غسل اعضا ء مخصو صة بصفة مخصوصة
Mencuci anggota tubuh tertentu dengan cara tertentu.
رفع الحدث و إزالة النجس
Mengangkat hadats dan menghilangkan najis.[2]
Thaharah menduduki masalah penting dalam Islam. Boleh dikatakan bahwa tanpa adanya thaharah ibadah kita kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak akan diterima. Sebab beberapaibadah utama mensyaratkan thaharah secara mutlak. Tanpa thaharah ibadah tidak sah. Bila ibadah tidak sah maka tidak akan diterima Allah. Kalau tidak diterima Allah maka konsekuensinya adalah kesia-siaan.
B. Karakteristik Thaharah
Thaharah tidak selalu identik dengan kebersihan meski pun tetap punya hubungan yang kuat dan seringkali tidak terpisahkan. Thaharah lebih tepat diterjemahkan menjadi kesucian secara ritual di sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Mengapa kita sebut kesucian ritual?
1. Thaharah Adalah Ibadah Ritual
Melakukan thaharah pada hakikatnya bukan sekedar menjaga kebersihan. Sebab kebersihan itu tidak selalu identik dengan kebersihan, meski pun banyak persamaannya di antar keduanya.
Dalam syariat Islam, segala hal yang terkait dengan membersihkan diri dari segala bentuk najis, baik di badan, pakaian atau tempat ibadah, termasuk ke dalam thaharah.
Termasuk juga segala bentuk ritual seperti berwudhu, mandi janabah, bertayammum, beristinja’ dan sejenisnya, juga termasuk ke dalam ibadah ritual, yang bila dikerjakan akan mendatangkan pahala.
Sebagian dari ritual thaharah itu ada yang hukumnya wajib, sehingga berdosa bila ditinggalkan, sebagian lainnya ada yang hukumnya sunnah, sehingga meski tidak berdosa bila ditinggalkan, namun seseorang akan merasa rugi karena tidak mendapatkan pahala. Dan sebagian lainnya berstatus sebagai syarat sah dari ritual ibadah lainnya, dimana tanpa ritual thaharah itu tidak dikerjakan, maka ibadah lainnya itu tidak sah dikerjakan.
2. Tidak Diukur Dengan Logika atau Perasaan
Thaharah adalah bentuk ritual karena untuk menetapkan sesuatu itu suci atau tidak suci, justru tidak ada alasan logis yang masuk akal. Kesucian atau kenajisan itu semata-mata ajaran ritual dan kepercayaan resmi yang sumbernya datang dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan dibawa oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam secara sah.
Bersih itu pangkal sehat. Bersih itu lawan dari tidak kotor, tidak berdebu, tidak belepotan lumpur, tidak tercampur keringat, tidak dekil atau tidak lusuh.
Sedangkan istilah suci bukan kebalikan dari bersih. Suci itu kebalikan dari najis. Segala yang bukan najis atau yang tidak terkena najis adalah suci. Debu, tanah, lumpur, keringat dan sejenisnya dalam rumus kesucian fiqih Islam bukan benda najis.
Artinya, meski tubuh dan pakaian seseorang kotor berdebu terkena lumpur atau tanah becek, belum tentu berarti tidak suci. Buktinya, justru kita bertayammum dengan menggunakan tanah atau debu. Kalau debu dikatakan najis maka seharusnya hal itu bertentangan. Tanah dalam pandangan fiqih adalah benda suci boleh digunakan untuk bersuci.
Daging babi tidak menjadi najis karena alasan mengandung cacing pita atau sejenis virus tertentu. Sebab daging babi tetap haram meski teknologi bisa memasak babi dengan mematikan semua jenis cacing pita atau virus yang terkandung di dalamnya.
Daging babi juga tidak menjadi najis hanya karena babi dianggap hewan kotor. Seorang penyayang binatang bisa saja memelihara babi di kandang emas, setiap hari dimandikan dengan sabun dan shampo yang mengandung anti-septik, bahkan dihias di salon hewan sehingga berpenampilan cantik wangi dan berbulu menarik. Setiap minggu diikutkan program menikur dan pedikur. Dan babi antik itu bisa saja diberi makanan yang paling mahal, bersih dan sehat sehingga kotorannya pun wangi.
Tapi sekali babi tetap babi. Babi tetap saja hewan najis, bukan karena lifestyle sang babi tetapi karena ke-babi-annya.
Dan najisnya babi sudah kehendak Allah Subhanahu Wa Ta’ala sampai hari kiamat, dimana buat seorang muslim, babi adalah hewan najis. Tapi bukan berarti seorang muslim boleh berlaku kejam sadis atau boleh menyiksa babi. Tetap saja babi punya hak hidup dan kebebasan.
Dalam kasus ini ‘illat (alasan) atas kenajisan babi bukan berangkat dari hal-hal yang masuk akal.
3. Bersumber Dari Quran dan Sunnah
Rujukan dalam masalah thaharah adalah Al Quran dan As Sunnah, dan bukan logika atau perasaan. Kalau Al Quran dan As Sunnah menyebutkan suatu benda itu najis, maka kita tidak akan mengatakan sebaliknya. Dan apa-apa yangtidak disebutkan oleh keduanya sebagai najis, tentu tidak bisa dikatakan sebagai najis.
Sebab najis itu tidak ada rumus kimianya, karena najis bukan unsur atau atom dengan jumlah elektron tertentu. Najis juga bukan senyawa kimia, juga bukan emulsi atau suspensi. Sebab, sekali lagi ilmu tentang najis bukan ilmu kimia. Najis juga bukan ditetapkan berdasarkan rasa jijik, jorok, tidak suka, atau mengadung bakteri tertentu atau tidak. Dengan kata lain, rumus kimia najis adalah ayat Al Quran dan As Sunnah.
Demikian juga yang namanya wudhu dan mandi janabah bukan sekedar cuci muka. Sebab wudhu adalah ritual ibadah yang ditetapkan lewat ayat Al Quran atau sunnah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam.
C. Pembagian Jenis Thaharah
Thaharah itu bersuci dari sesuatu yang tidak suci. Dan sesuatu yang tidak suci itu bisa kita bagi menjadi dua macam jenis. Pertama, ketidak-sucian yang bersifat fisik, yaitu najis.
Kedua, ketidak-sucian yang bersifat hukum, yaitu hadats. Jadi thaharah itu pada hakikatnya adalah mensucikan diri dari najis atau dari hadats. Thaharah dari najis sering diistilahkan dengan thaharah hakiki. Sedangkan thaharah dari hadats sering disebut dengan istilah thaharah hukmi.
1. Thaharah Dari Najis
Berthaharah dari benda najis itu artinya bagaimana tata ritual yang benar sesuai dengan ketentuan syariah untuk bersuci dari benda-benda najis yang terkena, baik pada badan, pakaian atau tempat ibadah.
a. Jenis Najis
Para ulama membagi najis dengan berbagai kriteria.
Yang paling umum, najis dibagi berdasarkan tingkat kesulitan dalam mensucikannya, yaitu najis berat, sedang dan ringan.
Najis ringan adalah najis yang cara mensucikannya terlalu ringan, yaitu sekedar dipercikkan air saja. Sedangkan najis sedang adalah najis yang umumnya kita kenal, bisa hilang apa bila telah dilakukan berbagai macam cara seperti mencuci dan sebagainya, sehingga tiga indikatornya hilang. Ketiga indikator itu adalah warna, rasa dan aroma.
Najis yang berat adalah najis yang tata cara ritual yang dibutuhkan untuk mensucikannya terbilang cukup berat. Tidak cukup hanya hilang ketiga indikatornya saja, tetapi harus dicuci secara ritual sebanyak 7 kali dengan air, dimana salah satunya harus menggunakan tanah.
b. Tata Cara
Tata cara mensucikan najis ada banyak, seperti mencuci, menyiram, memercikkan air, mengeringkan, memberi tambahan air yang banyak, mengelap dengan kain, termasuk juga dengan mengkeset-kesetkan ke tanah, dan sebagainya.
2. Thaharah Dari Hadats
Berthaharah dari hadats adalah tata cara ritual yang didasarkan pada syariat Islam tentang bersuci dari hadats, baik hadats kecil maupun hadats besar.
a. Jenis Hadats
Para ulama sepakat untuk membagi hadats menjadi dua, yaitu hadats kecil dan hadats besar. Masing-masing terjadi bila terjadi hal-hal tertentu, yang nanti akan dijelaskan dalam bab-bab berikutnya.
b. Tata Cara
Tata cara mengangkat hadats atau mensucikan diri dari hadats ada tiga macam.
Ritual yang pertama dengan cara berwudhu. Ritual ini tujuan dan fungsinya khusus untuk mensucikan diri dari hadats kecil saja.
Ritual kedua adalah mandi janabah. Ritual untuk berfungsi untuk mensucikan diri dari hadats besar, juga sekaligus berfungsi untuk mengangkat hadats kecil juga. Sehingga seseorang yang sudah melakukan mandi janabah, pada dasarnya tidak perlu lagi berwudhu’.
Ritual ketiga adalah tayammum. Ritual ini hanya boleh dikerjakan tatkala tidak ada air sebagai media untuk berwudhu’ atau mandi janabah. Tayammum adalah bersuci dengan menggunakan media tanah, berfungsi mensucikan diri dari hadats kecil dan juga hadats besar.
3. Diagram Thaharah
Untuk memudahkan pemahaman tentang pembagian jenis thaharah, maka Penulis mencoba membuatkan diagram yang tujuannya untuk memudahkan dalam melihat masalah-masalah yang ada dalam pembahasan thaharah.
[1] Lihat Mukhtarush Shihah pada maddah thahara
[2] Kifayatul Akhyar halaman 6 dan Kasysyaf Al Qinna’ jilid 1 halaman 24