[Tilawah Al Qur’an dapat menghaluskan jiwa dari beberapa segi. Ia mengenalkan manusia kepada tuntutan yang harus dilakukannya, membang-kitkan berbagai nilai yang dimaksudkan dalam tazkiyatun nafs , menerangi hati, mengingatkannya, menyempurnakan fungsi shalat, zakat, puasa dan haji dalam mencapai maqam ‘ubudiyah kepada Allah ‘azza wajalla. Tilawah Al Qur’an memerlukan penguasaan yang baik tentang hukum-hukum tajwid dan komitment harian dengan wirid dari Al Qur’an.
Al Qur’an dapat berfungsi dengan baik apabila dalam tilawahnya disertai adab-adab batin dalam perenungan, khusyu’ dan tadabbur,
Karena nilai-nilai ini banyak dilupakan maka kami kutipkan penjelasan Al Ghazali berikut ini.]
Sepuluh Amalan dalam Tilawah
Memahami sumber firman, ta’zhim, kehadiran hati, tadabbur, tafahhum, menghindari hambatan-hambatan kefahaman, takhsish, taatstsur, taraqqi dan tabarri.
Pertama: Memahami keagungan dan ketinggian firman, karunia Allah dan kasih sayang-Nya kepada makhluk dalam menurunkan Al Qur’an dari ‘Arsy kemuliaan-Nya ke derajat pemahaman makhluk-Nya
Kedua: Mengagungkan Mutakallim (Allah) Pada permulaan tilawah Al Qur’an, seorang pembaca harus menghadirkan di dalam hatinya keagungan Allah (Al Mutakallim) dan mengetahui bahwa apa yang dibacanya bukanlah pembicaraan manusia, dan bahwa membaca kalam Allah sangat penting, karena itu Dia berfirman: “Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.” (Al Waqi’ah: 79)
Sebagaimana bagian luar kulit Mushaf dan kertasnya dijaga dari bagian luar kulit penyentuhnya kecuali jika dalam keadaan suci, demikian pula bagian dalam maknanya —sesuai kemuliaan-Nya— juga terhalang dari hati kecuali jika dalam keadaan suci dari segala najis dan diterangi cahaya pengagungan dan pemuliaan. Sebagaimana tidak semua tangan bisa menyentuh kulit Mushaf,, demikian pula tidak semua lisan bisa membaca huruf-hurufnya, dan tidak semua hati bisa memperoleh makna-maknanya.
Ta’zhimul kalam sama dengan ta’zhimul mutakallim. Sementara itu keagungan Mutakallim tidak akan bisa terhadirkan selagi tidak terpikirkan sifat-sifat, kemulian dan amal perbuatan-Nya. Bila seseorang telah menghadirkan di dalam pikirannya A’rsy, kursi, langit dan bumi berikut apa yang terdapat di antara keduanya, baik jin, manusia, binatang dan pepohonan, kemudian ia mengetahui bahwa Pencipta, Penguasa dan Pemberi rizki semua makhluk tersebut adalah Tuhan yang Satu; bahwa semua makhluk berada dalam genggaman kekuasaan-Nya, terombang-ambing antara rahmat dan siksa-Nya, jika mendapatkan nikmat maka nikmat itu adalah karunia-Nya, dan jika mendapatkan siksa maka siksa itu adalah keadilAn Nya; dan bahwa Dia-lah yang menyatakan: Mereka ke surga tanpa Aku pedulikan, dan mereka ke neraka tanpa Aku pedulikan, maka sesungguhnya hal ini merupakan puncak keagungan dan kemuliaan-Nya. Dengan memikirikan hal-hal seperti ini akan terhadirkan pengagungan Mutakallim dan pengagungan kalam.
Ketiga: Kehadiran hati dan meninggalkan bisikan jiwa
Tentang tafisr firman Allah: “Wahai Yahya, ambillah Al Kitab dengan kekuatan.” (Maryam:12), dikatakan: Yakni dengan serius dan sungguh-sungguh. Mengambilnya dengan serius yaitu dengan berkonsentrasi penuh dalam membacanya, dan mengarahkan perhatian hanya kepadanya.
Dikatakan kepada sebagian mereka, ‘Apabila engkau membaca Al Qur’an apakah jiwamu berbicara tentang sesuatu?’ Ia menjawab: ‘Apakah ada sesuatu yang lebih aku cintai selain Al Qur’an sehingga jiwaku berbicara kepadaku? Sebagian kaum salaf apabila membaca satu ayat tetapi hatinya tidak bersama dengannya maka ia mengulanginya lagi.
Tetapi sifat ini lahir dari apa yang ada sebelumnya yaitu ta’zhim, karena orang yang mengagungkan kalam yang dibacanya pasti akan merasa senang dan gandrung dengannnya, tidak melalaikannya. Sementara itu di dalam Al Qur’an banyak sekali terdapat hal yang membuat hati gandrung kepadanya. Jika pembacanya telah layak mendapatkan hal itu maka bagaimana mungkin ia akan mencari kesenangan dengan berpikir kepada selainnya; orang yang berada dalam sebuah taman yang indah mempesona tidak mungkin ia akan berpikir kepada pemandangan lainnya.
Keempat: Tadabbur
Tadabbur yaitu sesuatu di luar ‘kehadiran hati’, karena bisa jadi ia tidak berpikir tentang selain Al Qur’an tetapi hanya mendengarkan Al Qur’an dari dirinya sendiri padahal ia tidak mentadabburkannya. Tujuan membaca adalah tadabbur, oleh karena itu disunnahkan membaca dengan tartil sebab di dalam tartil secara zhahir memungkinkan tadabbur dengan batin. Ali Radhiyallahu ‘Anh berkata:
“Tidak ada kebaikan pada ibadah tanpa pemahaman di dalamnya, dan tidak ada kebaikan pada bacaan tanpa tadabbur di dalamnya.”
Jika tidak bisa melakukan tadabbur kecuali dengan mengulang-ulang (bacaan) maka hendaklah ia melakukannya kecuali di belakang imam, sebab seandainya ia tetap mtn-tadabbur-km sebuah ayat sedangkan imam sibuk dengan ayat yang lain niscaya hal itu akan mengganggu, seperti orang yang sibuk mengagumi satu kata dari orang yang menyerunya sehingga ia tidak memahami pembicaraannya yang lain. Demikian pula jika dalam do’a ruku’ ia tetap memikirkan ayat yang dibaca imam maka hal ini merupakan bisikan yang mengganggu.
Dari Abu Dzar ia berkata: Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pada suatu malam mengimami kami lalu membaca satu ayat beralang-ulang yaitu ayat: “Jika Engkau menyiksa mereka maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu….” (Al Ma’idah: 118)
Dalam suatu shalat malam Tamim Ad Dari membaca ayat: “Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu….” (Al Jatsiyah: 21)
Sebagian mereka berkata: Sesungguhnya aku membuka surat lalu aku terhenti oleh sebagian apa yang aku saksikan di dalam surat tersebut dan aku tidak dapat menyelesaikannya hingga terbit fajar.
Sebagian yang lain berkata: Satu ayat yang tidak aku pahami dan hatiku tidak bersamanya maka aku tidak menganggapnya berpahala.
Diceritakan dari Sulaiman Ad Darani bahwa ia berkata: Sesungguhnya aku tertambat membaca satu ayat selama empat atau lima malam, seandainya aku tidak memutuskan perenungannya niscaya aku tidak bisa beralih kepada ayat lainnya.
Disebutkan bahwa sebagian kaum salaf berada pada surat Hud selama enam bulan, mengulang-ulanginya dan tidak selesai mentadabburkannya.
Sebagian kaum bijak bestari berkata: Aku punya program menghatamkan setiap Jum’at, demikian pula setiap bulan dan tahun, tetapi aku punya program khataman yang semenjak tigapuluh tahun yang lalu belum bisa aku tuntaskan.
Itu semua sesuai dengan tingkatan tadabbur dan pengkajiannya.
Kelima: Tafahhum (memahami secara mendalam)
Yaitu mencari kejelasan dari setiap ayat secara tepat, karena Al Qur’an meliputi berbagai masalah tentang sifat-sifat Allah, perbuatan-perbuatan-Nya, ihwal para Nabi, ihwal para pendusta dan bagaimana mereka dihancurkan, rerintah-perintah-Nya, larangan-larangan-Nya, surga dan neraka. Tentang sifat-sifet Allah, misalnya firman-Nya:
“Raja, yang Mahasuci, yang Mahasejahtera, yang Mahamengaruniakan keamanan, yang Mahamemelihara, yang Mahaperkasa, yang Mahakuasa, yang Mahamemiliki keagungan. Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (Al Hasyr: 23)
Firman-Nya:
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Mahamendengar lagi Mahamelihat.” (Asy Syura: 11)
Hendaklah makna-makna dari nama-nama dan sifat-sifat tersebut direnungkan agar dapat mengungkapkan berbagai rahasianya, karena di balik nama-nama dan sifat-sifat tersebut terdapat makna-makna terpendam yang ddak dapat diungkap kecuali oleh orang-orang yang mendapatkan taufiq dari Allah. Hal inilah yang diisyaratkan oleh Ali Radhiyallahu ‘Anh ketika berkata:
“Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak merahasiakan kepadaku sesuatu yang disembunyikannya dari orang-orang kecuali pemahaman seorang hamba tentang kitab-Nya.” (Bukhari, Muslim, Nasa’i dan Abu Dawud)
Karena itu, hendaklah ia selalu berusaha mencari pemahaman tersebut. Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘Anh berkata: Barangsiapa mengehndaki ilmu orang-orang terdahulu dan orang-orang terkemudian maka hendaklah ia mendalami Al Qur’an. Sedangkan ilmu Al Qur’an yang paling agung berada di bawah nama-nama dan sifat-sifat Allah.
Perbuatan-perbuatan Allah adalah seperti menciptakah langit, bumi dan lain sebagainya. Dari perbuatan-perbuatan ini hendaklah orang yang membaca Al Qur’an memahami dari sifat-sifat Allah; sebab perbuatan menunjukkan pada pelaku. Satu keagungan-Nya menunjukkan pada keagungan-Nya yang lain. Dalam perbuatan hendaklah dipahami pula kaitannya dengan pelakunya. Barangsiapa mengenal Allah (yang Mahabenar) maka ia akan melihat-Nya dalam segala sesuatu, karena segala sesuatu berasal dari-Nya, kembali kepada-Nya, dengan-Nya dan untuk-Nya. Barangsiapa yang tidak melihat-Nya dalam segala sesuatu yang dilihatnya maka sama dengan tidak mengenalnya. Barangsiapa yang mengenal-Nya maka ia pasti mengetahui bahwa segala sesuatu selain Allah adalah batil; dan bahwa segala sesuatu pasti binasa kecuali Dia. Oleh sebab itu, apabila pembaca membaca firman-Nya: “Terangkanlah kepadaku tentang nutfah yang kamu pancarkan… Terangkanlah kepadaku tentang yang kamu tanam… Terangkanlah kepadaku tentang air yang kamu minum … Terangkanlah kepadaku tentang api yang kamu nyalakan’?.” ‘(Al Waqi’ah: 58, 63, 68, 71). Maka hendaklah pandangannya tidak terbatas pada air, api, tanaman dan mani, tetapi hendaklah merenungkan tentang mani yang merupakan nutfah yang serupa bagian-bagiannya kemudian memperhatikan bagaimana prosesnya menjadi daging, darah, sel, proses pembentukan bagian-bagian tubuhnya dengan berbagai macam bentuk seperti kepaia, tangan, kaki, jantung, hati dan lain sebagainya. Kemudian memperhatikan sifat-sifat mulia yang muncul padanya seperti mendengar, melihal, berakal dan lain sebagainya. Kemudian memperhatikan pula sifat-sifat tercela yang muncul padanya seperti marah, syahwat, sombong, bodoh, dusta, suka berdebat, sebagaimana difirmankan Allah: “Dan apakah manusia tidak memperhatikan bahwa Kami menciptakannya dari setitik air (mani), maka tiba-tiba ia menjadi penentang yang nyata\.” (Yasin: 77). Kemudian memperhatikan keajaiban-keajaiban ini untuk mencapai tingkatan berikutnya yaitu melihat super keajaiban yaitu sifat yang darinya muncul berbagai keajaiban ini, sehingga akhirnya setiap kali melihat penciptaan ia selalu melihat pula Penciptanya.
Sedangkan ihwal para Nabi dan Rasul, apabila mendengar bagaimana para Nabi dan Rasul itu didustakan, dipukul dan sebagian mereka dibunuh maka hendaklah ia memahami sifat Mahakaya Allah dari para Rasul dan masyarakat yang kepada mereka diutus para Rasul itu. Seandainya Dia membinasakan mereka semua maka hal itu tidak akan berpengaruh sama sekali bagi kekuasaan-Nya. Sebaliknya apabila mendengar kemenangan para Nabi di akhir perjuangan mereka, maka hendaklah ia memahami kekuasaan Allah dan kehendak-Nya untuk memenangkan kebenaran.
Sedangkan ihwal para pendusta, seperti kaum ‘Ad, Tsamud dan apa yang mereka alami maka hendaklah ia memahaminya sebagai pelajaran yang dapat menumbuhkan rasa takut kepada siksa dan balasan-Nya. Hendaknya pelajaran ini selalu ada dalam hatinya, karena jika ia lalai, tidak beradab dan terpedaya dengan “penangguhan” yang diberikan maka tidak menutup kemungkinan ia akan merasakan siksa dan hukumAn Nya. Demikian pula jika ia mendengar keterangan tentang surga, neraka dan semua hal yang ada di dalam Al Qur’an, karena pelajaran yang dapat diambil darinya tak ada batasnya. Hanya saja bagi setiap hamba mendapatkan sesuai dengan ukuran “rizkinya”; tidak ada benda kering ataupun basah kecuali berada dalam catatan yang jelas: “Katakanlah: “Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu.” (Al Kahfi: 109). Oleh sebab itu, Ali Radhiyallahu ‘Anh berkata: “Kalau aku mau niscaya aku perlu tujuh puluh unta untuk mengangkut hasil tafsir surat Al Fatihah.”
Tujuan dari paparan di atas ialah mengingatkan pentingnya metodologi taftiim (pemahaman mendalam) untuk menguak pintunya, bukan untuk mendapatkan semuanya. Barangsiapa tidak memiliki pemahaman tentang apa yang terkandung dalam Al Qur’an sekalipun dalam tingkatan yang paling rendah maka ia masuk ke dalam kategori firman Allah: “Dan di antara mereka ada orang yang mendengarkanmu sehingga apabila mereka keluar dari sisimu mereka berkata kepada orang yang telah diberi ilmu pengetahuan (shahabat-shahabat Nabi): “Apakah yang dikatakannya tadi?” Mereka itulah orang-orang yang dikunci mati hati mereka oleh Allah dan mengikuti hawa nafsu mereka.” (Muhammad: 16)
Terkuncinya hati termasuk penghalang untuk bisa memahami Al Qur’an sebagaimana akan kami jelaskan. Dikatakan: Seorang murid tidak akan menjadi murid yang sejati sebelum bisa mendapatkan segala yang diinginkannya di dalam Al Qur’an, mengetahui dari Al Qur’an kekurangannya dan merasa cukup hanya dengan Allah.
Keenam: Meninggalkan hal-hal yang dapat menghalangi pemahaman, karena kebanyakan manusia tidak dapat memahami makna-makna Al Qur’an karena beberapa sebab dan penghalang yang dipasang syetan di dalam hati mereka; sehingga hati mereka tidak dapat menyaksikan berbagai keajaiban rahasia Al Qur’an.
Penghalang pemahaman ada empat:
Pertama, perhatiannya tertujua kepada penunaian bacaan huruf-hurufnya saja, sehingga perenungannya hanya terbatas pada makharijul huruf. Bagaimana mungkin ia dapat mengungkap makna-maknanya?
Kedua, taqlid kepada madzhab yang didengarnya, terpaku padanya, dan fanatik kepadanya sehingga hanya mengikuti apa yang didengar tanpa berusaha memahaminya dengan bashirah dan musyahadah. Orang ini terikat oleh keyakinannya dan tidak bisa lepas dari ikatan tersebut, sehingga tidak ada gagasan yang terlintas dalam benaknya selain dari keyakinannya. Karena itu, pandangannya terbatas pada apa yang didengarnya. Jika ada kilatan dari jauh dan nampak salah satu makna yang bertentangan dengan apa yang telah didengarnya maka syetan mendesaknya dengan taqlid seraya berkata, ‘Bagaimana hal itu terlintas dalam benakmu padahal bertentangan dengan keyakinan nenek moyangmu?’ Kemudian dia berpendapat bahwa hal itu merupakan tipu daya syetan sehingga dia berusaha menjauhi hal-hal seperti ini. Hal ini terjadi di kalangan para pengikut kelompok-kelompok yang sesat.
Ketiga, berterus-menerus dalam dosa atau sikap sombong atau secara umum terjangkiti oleh penyakit hawa nafsu kepada dunia yang diperturutkan, karena hal ini merupakan sebab timbulnya kegelapan dan karat hati. Ia seperti kotoran di kaca cermin sehingga menutupi munculnya kebenaran secara jernih. Ia merupakan penghalang hati yang terbesar dan telah banyak menghalangi hati manusia. Semakin besar syahwat semakin besar pula penghalang untuk bisa memahai makna-makna Al Qur-an. Semakin ringan bebat-beban dunia dari hati semakin dekat pula tersingkapnya makna-makna Al Qur’an. Hati ibarat cermin, syahwat ibarat kotoran, sedangkan makna-makna Al Qur’an ibarat gambar yang terlihat di cermin. Riyadhah (latihan) bagi hati dengan menyingkirkan syahwat ibarat pembersihat cermin. Karena itu, Allah mensyaratkan inabah untuk bisa mendapatkan pemahaman dan pengambilan pelajaran. Firman-Nya:
“Untuk menjadi pelajaran dan peringatan bagi tiap-tiap hamba yang kembali (mengingat Alah).” (Qaaf: 8)
“Dan tiadalah mendapatkan pelajaran kecuali orang-orang yang kembali (kepada Allah).” (Al Mu’min: 40)
“Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (Az Zumar: 9)
Jadi, orang yang mengutamakan tipu daya dunia ketimbang akhirat tidak termasuk orang-orang yang berakal, karena itu ia tidak dapat mengungkap berbagai rahasia Al Qur’an.
Keempat, karena telah membaca “tafsir zhahir” dan meyakini bahwa tidak ada makna lain bagi kalimat-kalimat Al Qur’an kecuali apa yang telah disebutkan dalam nukilan dari Ibnu Abbas, Mujahid dan lainnya. Dan bahwa apa yang di luar itu adalah tafsir bir-ra’yi (tafsir hawa nafsu), sedangkan orang yang menafsirkan Al Qur’an dengan pendapatnya sendiri maka ia telah mempersiapkan tempat duduknya di neraka. Hal ini juga termasuk penghalang yang berat. [Karena Allah bisa jadi membukakan hati untuk mendapatkan banyak pemahaman yang tidak bertentangan dengan zhahir (nash) dan tidak berten-tangan pula dengan pendapat-pendapat para mufassir yang terpercaya. Ali Radhiyallahu ‘Anh berkata: “Kecuali seorang hamba yang dikarunia oleh Allah pemahaman tentang Al Qur’an.” Seandainya makna Al Qur’an itu hanya terbatas pada yang zhahir dan manqul saja niscaya manusia tidak akan berselisih pendapat mengenainya. Tetapi pemahaman-pemahaman ini harus didasarkan pada kaidah-kaidah bahasa dan hal-hal yang telah baku],
Ketujuh: Takhshish
Yaitu menyadari bahwa dirinya merupakan sasaran yang dituju oleh setiap khithab (nash) yang ada di dalam Al Qur’an. Jika mendengar suatu perintah atau larangan maka ia memahami bahwa perintah atau larangan itu ditujukan kepada dirinya. Demikian pula jika mendengar janji atau ancaman. Jika mendengar kisah orang-orang terdahulu dan para Nabi maka ia mengetahui bahwa kisah itu tidak dimaksudkan sebagai bahan cerita semata-mata tetapi untuk diambil pelajarannya dan bekAl bekal yang diperlukannya. Tidak ada pemaparan satu kisah pun di dalam Al Qur’an melainkan untuk diambil pelajarannya bagi Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan ummatnya. Oleh karena itu Allah berfirman: “Yang dengannya Kami teguhkan hatimu.” (Hud: 120) Maka hendaklah seorang u-.nha. meyakini bahwa Allah meneguhkan hatinya dengan kisah-kisah para Nibi, kesabaran mereka dalam menghadapi gangguan, dan ketegaran mereka :aiam membela agama Allah. Bagaimana mungkin ia tidak menyadari hal mi sedangkan Al Qur’an tidak diturunkan untuk Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam saja tetapi juga menjadi penawar, petunjuk, rahmat dan cahaya bagi alam semesta? Oleh icbab itu, Allah memerintahkan semua orang untuk mensyukuri nikmat Al Qur’an. firman-Nya:
“Dan ingatlah ni ‘mat Allahpadamu, dan apayang telah diturunkan Allah kepadamu yaitu Al Kitab dan Al Hikmah. Allah memberipengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu.” (Al Baqarah: 231)
“Sesungguhnya telah Kami turunkan kepada kamu sebuah kitab yang di dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan bagimu. Maka apakah kamu tiada memahaminya?” (Al Anbiya’: 10)
“Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur’an agar kamu menerangkan kepada ummat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (An Nahl: 44)
“Demikianlah Allah membuat untukmanusiaperbandingan-perbandingan bagi mereka.” (Muhammad: 3)
“(Al Qur’an) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertaqwa.” (Ali Imran: 138)
Apabila khitab ditujukan kepada semua orang maka meliputi indiuidu-mdiuidu, sehingga seorang pembaca tercakup di dalamnya. Karena itu oendaklah ia menyadari bahwa ia adalah orang yang dimaksudkan oleh ayat-ayat Al Qur’an itu. Allah berfirman:
“Dan Al Qur’an ini diwahyukan kepadaku supaya dengan dia aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang yang sampai Al Qur’an (kepadanya).” (Al An’am: 19)
Muhammad bin Ka’ab Al Qurthubi berkata: “Orang yang telah sampai £-Qur’an kepadanya sama dengan orang yang diajar bicara oleh Allah.” Apabila telah menyadari hal ini maka ia tidak hanya mengkaji Al Qur’an saja :r:.ipi juga membacanya seperti seorang budak membaca surat tuannya yang mollis kepadanya untuk direnungkan dan berbuat sesuai dengan isinya. Oleh srbab itu sebagian ulama berkata: Al Qur’an ini adalah surat-surat yang datang iepada kami dari Tuhan kami dengan segala janji-Nya, kami men-tadabbur-imnnya di dalam shalat, merenungkannya di tempat-tempat khalwat, dan melaksanakannya dalam amal-amal ketaatan.
Malik bin Dinar berkata: “Apakah tanaman Al Qur’an di dalam hati £iiian wahai ahli Al Qur’an, sesungguhnya Al Qur’an adalah penyubur orang M.j’min sebagaimana air hujan menjadi penyubur tanah.
Qatadah berkata: “Seseorang tidak duduk menekuni Al Qur’an ini kecuali akan bangkit dengan tambahan atau kekurangan. Allah berfirman:
“Dan Kami turunkan dari Al Qur ‘an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Qur’an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zhalim selain kerugian.” (Al Isra’: 82)
Kedelapan: Taatstsur (mengimbas ke dalam hati)
Yaitu hatinya terimbas dengan berbagai imbasan yang berbeda sesuai dengan beragamnya ayat yang dihayatinya. Sesuai dengan pemahaman yang dicapainya demikian pula keadaan dan imbasan yang dirasakan oleh hati berupa rasa sedih, takut, harap dan lain sebagainya. Jika ma’rifotnya baik maka rasa takut akan mendominasi hatinya, karena “pengetatan” (tadhyiq) sangat mendominasi ayat-ayat Al Qur’an sehingga tidak ada penyebutan ampunan dan rahmat kecuali disertai dengan beberapa syarat yang mudah dipenuhi oleh orang yang ‘arif, seperti firman-Nya: “Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun,” kemudian menyusuli hal tersebut dengan empat syarat: “Bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal shalih, kemudian tetap di jalan yang benar.” (Thaha: 82) Dan firman-Nya:
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya mencapai kesabaran.” (Al ‘Ashr: 1-3)
Dalam ayat ini Allah menyebutkan empat syarat, dan ketika meringkas Dia menyebutkan syarat umum. Firman-Nya: “Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (Al A’raf: 56). Ihsan mencakup semuanya. Demikianlah siapa yang meneliti Al Qur’an dari awal hingga akhir. Barangsiapa memahami hal tersebut maka akan menjadi orang yang senantiasa dalam suasana takut (kepada Allah) dan sedih (mengkhawatirkan dirinya dari neraka). Oleh sebab itu, Al Hasan berkata: Demi Allah, pada hari ini tidaklah seorang hamba membaca Al Qur’an dengan meyakininya kecuali pasti akan banyak bersedih, sedikit rasa gembiranya, banyak menangis dan sedikit tertawa, banyak letih dan sibuk, dan sedikit istirahat atau menganggagur.
Wahib bin Al Ward berkata: Kami memperhatikan hadits-hadits dan nasehat-nasehat ini tetapi kami tidak mendapatkan sesuatu yang lebih memperhalus hati dan lebih mudah mendatangkan kesedihan selain dari membaca Al Qur’an dan mentadabburkannya.
Terimbasnya seorang hamba dengan tilawah ialah dengan menghayati ayat yang dibaca. Misalnya ketika membaca ancaman dan pembatasan ampunan dengan beberapa syarat, ia merasa lemas karena saking takutnya seolah-olah liyaris mati. Ketika membaca ayat-ayat rahmat dan ampunan, ia bergembira dan senang. Ketika disebutkan Allah, sifat-sifat dan nama-nama-Nya, ia menundukkan kepala memuliakan dan merasakan keagungan-Nya. Ketika disebutkan ucapan-ucapan orang-orang kafir yang tidak benar tentang Allah seperti perkataan mereka bahwa Allah punya anak dan kawan, maka ia merendahkan suaranya dan mengingkari di dalam batinnya karena malu terhadap perkataan mereka yang amat buruk itu. Ketika disebutkan gambaran surga, ia bersemangat dengan batinnya karena rindu kepadanya. Ketika disebutkan gambaran neraka, gemetar seluruh badannya karena takut terhadapnya.
Ketika Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata kepada Ibnu Mas’ud: “Bacakanlah kepadaku.” Ibnu Mas ‘ud berkata: “Kemudian aku memulai membaca surat An Nisa’ dan ketika sampai ayat: “Maka bagaimanakah (halnya orang-orang kafir nanti) apabila Kami mendatangkan seseorang saksi (Rasul) dari tiap-tiap j.mmat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai ummatmu).” (An Nisa’: 41)., aku melihat kedua matanya berlinangan air mata lalu Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata kepadaku: “Cukup.”[1]
Ini karena penyaksian keadaan tersebut telah mendominasi seluruh relung hati Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam Di antara orang-orang yang takut (kepada Allah) ada orang yang jatuh tersungkur ketika membaca ayat-ayat ancaman. Ada pula yang mati ketika mendengarkan ayat-ayat Al Qur’an. Keadaan seperti ini membuktikan bahwa apa yang diucapkannya bukanlah semata-mata meniru dan mengalir begitu saja. Apabila dia berkata: “Sesungguhnya aku takut akan siksa hari yang besar (hari kiamat), jika aku mendurhakai Tuhanku.” (Al An’am: 15), maka orang yang takut seperti ini tidak mungkin dia seorang yang meniru-nirukan saja. Apabila dia mengatakan: “Hanya kepada-Mu kami bertwakkal dan hanya kepada-Mu kami bertaubat dan hanya kepada-Mu kami kembali.” (Al Mumtahanah: 4), maka orang yang tidak terpengaruh dengan apa yang dibacanya tidak mungkin bersikap tawakal dan inabah. Apabila dia mengucapkan: “Dan kami sungguh-sungguh akan bersabar terhadap gangguan-gangguan yang kamu lakukan” (Ibrahim: 12), maka hendaklah kesabaran dan tekad yang kuat terhadapnya mendominasi dirinya sampai dia mendapatkan kelezatan tilawah. Jika dia tidak memiliki sifat-sifet ini dan hatinya tidak berada di antara kondisi-kondisi tersebut maka hasil tilawah-nya hanyalah gerakan lisan padahal ada laknat yang tegas terhadap dirinya dalam firman Allah: “Ingatlah laknat Allah (ditimpakan) atas orang-orang yang zhalim.” (Hud: 18). Juga dalam firman-Nya:
“Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat.” (Ash Shaf: 3)
“Mereka berada dalam kelalaian lagi berpaling.” (Al Anbiya’: 1)
“Maka. berpalinglah (hai Muhammad) dari orang yang berpaling dari peringatan Kami, dan tidak menginginkan-kecuali kehidupan duniawi.” (An Najm: 29)
“Dan barangsiapa yang tidak bertaubat maka mereka itulah orang-orang yang zhalim.” (Al Hujurat: 11)
Di samping itu dia juga termasuk ke dalam kategori firman Allah:
“Dan di antara mereka ada yang buta huruf, tidak mengetahui Al Kitab kecuali dongengan bohong belaka dan mereka hanya menduga-duga.” (Al Baqarah: 78)
Yakni semata-mata tilawah, tanpa memahami dan menghayati maknanya. Atau juga tergolong dalam makna firman Allah:
“Dan banyak sekali tanda-tanda (kekuasaan Allah) di langit dan di bumi yang mereka lalui, sedang mereka berpaling darinya.” (Yusuf: 105)
Karena Al Qur’an merupakan penjelasan bagi tanda-tanda (kekuasaan Allah) di langit dan di bumi itu. Bila dia melewati tanda-tanda kekuasaan itu tetapi tidak memberikan pengaruh sama sekali maka dia tergolong sebagai orang yang berpaling darinya. Perumpamaan orang bermaksiat yang membaca Al Qur’an dan mengulang-ualanginya adalah seperti orang yang berulang-ulang membaca surat raja setiap hari beberapa kali, padahal sang raja telah menulis surat itu kepadanya agar dia membangun kerajaannya, tetapi dia justru sibuk menghancurkannya, tidak mengkaji isi suratnya dan berpaling dari pekerjaan. Itulah orang yang dimaksudkan oleh firman Allah:
“Lalu mereka melemparkannya ke belakang punggung mereka dan mereka menukarnya dengan harga yang sedikit. Amatlah buruknya tukaran yang mereka terima.” (Ali Imran: 187)
Oleh sebab itu Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Bacalah Al Qur’an selagi hati-hati kalian bersatu dan kulit-kulit kalian sensitif terhadapnya; apabila kalian berselisih maka janganlah kalian membacanya –dalam sebagian riwayat; apabila kalian berselisih maka berdirilah meninggalkannya.” (Bukhari dan Muslim)
Allah berfirman:
“Orang-orang yang apabila disebut Allah, gemetarlah had mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakal.” (Al Anfal: 2)
Sebagian qari’ berkata: Aku membacakan Al Qur’an kepada seorang guruku kemudian aku kembali untuk membacakannya lagi lalu dia menegurku seraya berkata, “Kamu menjadikan Al Qur’an sebagai amal perbuatan kepadaku, pergilah dan bacakanlah kepada Allah.” Perhatikanlah dengan apa guru itu memerintahkan dan melarangmu. Demikianlah dahulu kesibukan para ahli Al Qur’an, karena tilawah Al Qur’an dengan sebenar-benar tilawah ialah ikut sertanya lisan, akal dan hati secara simultan. Tugas lisan ialah membetulkan huruf dengan bacaan tartil, tugas akal ialah menafsirkan maknanya, dan tugas hati ialah mengambil pelajaran dan menghayati segala larangan dan perintahnya. Jadi lisan membaca, akal menerjemahkan dan hati menangkap pelajaran.
Kesembilan: Taraqqi
Yakni meningkatkan penghayatan sampai ke tingkat mendengarkan kalam dari Allah bukan dari dirinya sendiri. Karena derajat bacaan ada tiga:
Pertama, derajat yang paling rendah, yaitu seorang hamba merasakan seolah-olah dia membacanya kepada Allah, berdiri di hadapAn Nya, sementara itu Dia menyaksikan dan mendengarkannya; sehingga dengan gambaran perasaan seperti ini ia dalam posisi selalu memohon, merayu, merendahkan diri dan berdo’a.
Kedua, menyaksikan dengan hatinya seolah-olah Allah melihatnya dan mengajaknya bicara dengan berbagai taufiq-Nya, memanggilnya dengan berbagai nikmat dan kebaikan-Nya; sehingga ia berada dalam posisi malu, ta’zhim, mendengarkan dan memahami.
Ketiga, melihat Mutakallim dalam setiap kalam yang dibacanya, melihat sifat-sifat-Nya dalam kalimat-kalimat yang ada, sehingga ia tidak lagi melihat dirinya dan bacaannya, juga tidak melihat kepada keterkaitan pemberian nikmat kepada dirinya bahwa dia telah diberi nikmat, tetapi perhatiannya terkonsentrasi hanya kepada Mutakallim, pikirannya tertambat kepada-Nya, seolah-olah hanyut dalam menyaksikan Mutakallim sehingga tidak melihat kepada selain-Nya. Ini merupakan derajat Muqarrabin, sedangkan tingkatan sebelumnya adalah derajat Ashhabul Yamin. Di luar derajat tersebut di atas ialah derajat Al Ghafilin (orang-orang yang lalai.
Tentang derajat yang tertinggi, Ja’far bin Muhammad Ash Shadiq Radhiyallahu ‘Anh berkata: Demi Allah, Allah telah menampakkan diri kepada makhluk-Nya di dalam kalam-Nya tetapi mereka tidak melihat-Nya.
Ketika ditanya tentang keadaan yang pernah dialaminya dalam shalat sehingga jatuh pingsan, Ja’iar bin Muhammad Ash Shadiq berkata: “Aku terus mengulang-ulang satu ayat pada hatiku sampai aku mendengarnya (seolah-olah) dari Pembicaranya (Allah) langsung sehingga badanku tidak kuasa menyaksikan kekuasaan-Nya.” Dalam derajat seperti ini kelezatan munajat semakin meningkat. Oleh sebab itu, sebagian kaum bijak bestari berkata: Aku pernah membaca Al Qur’an tetapi tidak mendapatkan kelezatannya sehingga aku mernbacanya seolah-olah aku mendengarnya dari Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam yang membacakannya kepada para shahabatnya. Kemudian aku meningkatkan ke maqam di atasnya lalu aku membacanya seolah-olah aku mendengarnya dari Jibril yang menyampaikannya kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, kemudian Allah memberikan kedudukan yang lain sehingga aku sekarang mendengarnya dari Pembicaranya langsung; saat itulah aku mendapatkan kelezatan dan kenikmatan yang aku sangat menggandrunginya.
Utsman dan Hudzaifah Radhiyallahu ‘Anh berkata: “Jika hati bersih niscaya tidak akan pernah merasa kenyang dari membaca Al Qur’an.”
Mereka mengatakan demikian karena dengan kesucian tersebut, hati akan meningkat kepada menyaksikan Mutakallim di dalam kalam yang dibacanya. Oleh sebab itu, Tsabit Al Banani berkata. “Aku berjuang menghayati Al Qur’an selama duapuluh tahun dan aku merasakan kenikmatannya selama duapuluh tahun.” Dengan menyaksikan Mutakallim tanpa yang lain-Nya, seorang hamba menjadi orang yang merealisasikan firman-Nya: “Maka berlarilah kamu kepada Allah… Dan janganlah kamu mengadakan tuhan yang lain di samping Allah.” (Adz Dzariyat: 50, 51) Setiap hal yang dipandang oleh seorang hamba, selain Allah maka pandangannya terhadap sesuatu itu mengandung kemusyrikan tersembunyi.
Kesepuluh: Tabarriy
Yakni melepaskan diri dari daya dan kekuatannya, dan memandang kepada dirinya dengan pandangan ridha dan tazkiyah. Apabila membaca ayat-ayat janji dan sanjungan kepada orang-orang shalih maka ia tidak menyaksikan dirinya pada hal tersebut, tetapi menyaksikan orang-orang yang yakin dan shiddiqin berada di dalamnya kemudian ia merindukan untuk disusulkan Allah kepada mereka. Apabila membaca ayat-ayat kecaman dan celaan kepada orang-orang yang bermaksiat dan orang-orang yang lalai, ia menyaksikan dirinya berada di sana dan merasakan bahwa dirinyalah yang dimaksudkan oleh ayat-ayat tersebut, karena takut dari cemas. Oleh karena itu, Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anh berdo’a: “Ya Allah, aku memohon ampunan kepada-Mu atas kezhaliman dan kekufuranku.” Ditanyakan kepadanya, “Kalau kezhaliman kami sudah mengerti tetapi kenapa engkau memohon ampunan dari kekufuran?” Kemudian Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anh membaca firman Allah: “Sesungguhnya manusia itu sangat zhalim dan sangat kufur.” (Ibrahim: 34).
Ditanyakan kepada Yusuf bin Asbath: “Apabila membaca Al Qur’an, dengan apa engkau berdo’a?” Ia menjawab: “Dengan do’a yang biasa aku panjatkan, aku memohon ampunan kepada Allah atas keteledoranku sebanyak tujuhpuluh kali.”
Apabila ia memandang dirinya dengan gambaran yang masih sangat jauh dari sempurna dalam tilawah maka pandangannya itu akan menjadi sebab kedekatannya. Jika ia menyaksikan kejauhan dalam kedekatan (merasa jauh walaupun dekat) maka ia akan mudah merasakan rasa takut sehingga rasa takutnya itu akan mengantarkannya ke derajat kedekatan yang lebih tinggi.
Barangsiapa menyaksikan kedekatan dalam kejauhan (marasa dekat padahal jauh) maka ia akan tertipu oleh rasa aman yang akan mengantarkannya ke derajat kejauhan yang lebih rendah. Jika ia memandang dirinya dengan pandangan ridha maka ia terhalang oleh dirinya. Jika dalam bacaannya sudah ddak memandang dirinya dan tidak menyaksikan kecuali Allah maka akan dibukakan kepadanya rahasia berbagai kegaiban. Karena kalam Allah meliputi hal yang mudah, lembut, keras, harapan, dan ancaman, sesuai dengan sifat-sifatnya, yang di antaranya adalah rahmat, lemah lembut, balasan dan siksaan. Sesuai penyaksian terhadap kalimat dan sifat akan terjadi perbedaan keadaan, uan sesuai dengan setiap keadaannya sebatas itu pula kesiapannya untuk nienyingkap hal yang sesuai dengan keadaan itu atau yang mendekatinya. Sebab mustahil keadaan pendengar itu sama sedangkan yang didengarkan berlainan; sebab di dalamnya ada kalam ridha, ada kalam murka, ada kalam pemberi nikmat, ada kalam pembalas amal keburukan, ada kalam Dzat yang Mahasom-bong, dan ada kalam Dzat yang Mahamengasihi.