38. Silaturahmi ke rumah mad’u
“Siapa yang ingin dipanjangkan jejak pengaruhnya dan diluaskan rezekinya maka hendaklah ia menyambung kasih sayang (silaturahmi)” (HR. Bukhari dan Muslim).
Lakukan silaturahmi ke rumah mad’u agar ia merasa diperhatikan. Dengan silaturahmi ke rumahnya, Anda juga dapat mengenal keluarganya dan mengenal kondisi rumahnya. Semua itu berguna untuk mengenal mad’u lebih jauh lagi.
Anda dapat melakukan silaturahmi ke rumah mad’u dengan berbagai cara. Bisa sebagai salah satu program halaqah (Anda bersama mad’u mengunjungi rumah mad’u secara bergilir). Bisa juga Anda sendiri janjian dengan mad’u untuk ke rumahnya (bisa mengajak isteri dan anak, kalau punya).
Namun, sesekali Anda perlu juga melakukan “sidak” (inspeksi mendadak) ke rumah mad’u. Hal ini agar Anda dapat mengenal dirinya apa adanya. Mungkin saja kalau janjian, ia “merekayasa lingkungan”, sehingga yang tampak “manisnya” saja.
Namun jika Anda mengunjunginya tanpa memberitahu lebih dahulu, mungkin Anda menjumpai suasana “asli” dan hal-hal yang tak terduga. Hal ini bermanfaat dalam mengenal karakter asli mad’u. Lebih jauh lagi, bermanfaat untuk bahan evaluasi perkembangan mad’u.
39. Buatlah “setoran” sebanyak mungkin
“..dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu…” (QS. 28 : 77).
Yang dimaksud “setoran” disini bukan berarti Anda rajin menyetor uang kepada mad’u, tapi rajin melakukan tindakan kebaikan yang dapat membuat mad’u merasa simpati kepada Anda. Contoh “setoran” adalah menepati janji, meminta maaf, memenuhi harapan, mengucapkan terima kasih, meminjamkan atau memberikan sesuatu, memberikan pertolongan, dan lain-lain.
Jika Anda rajin memberikan “setoran”, secara otomotis mad’u akan merasa simpati dan berhutang budi kepada Anda. Hal ini akan berdampak pada tumbuhnya kepercayaan terhadap Anda. Sebaliknya, jika Anda, disadari atau tidak, sering melakukan “penarikan” (seperti tidak menepati janji, angkuh, membuyarkan harapan, tidak tahu berterima kasih, tidak mau menolong), maka mad’u akan kecewa dan tidak percaya dengan Anda.
Namun perlu diingat, “setoran” harus diberikan secara ikhlas tanpa pamrih. “Setoran” yang diberikan secara pamrih akan membuat mad’u merasa “ada udang, di balik batu”, sehingga bukannya simpati yang Anda dapatkan, tapi malah antipati.
40. Tempatkan diri Anda sebagai sahabat mad’u
“…lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara…” (QS. 3 : 103).
Jika murabbi itu pemain film, peran apa yang sebaiknya sering dilakukan? Peran sebagai sahabat. Memang, murabbi memiliki peran yang banyak, yaitu sebagai sahabat, orang tua, guru, dan pemimpin. Namun peran yang lebih menonjol ditampilkan seharusnya peran sebagai sahabat. Peran ini adalah peran “asli” Anda.
Sedang peran lainnya hanya digunakan pada momen tertentu. Misalnya, peran sebagai guru dilakukan ketika Anda memberi materi, peran orang tua dilakukan ketika Anda menegur mad’u, peran sebagai pemimpin dijalankan ketika Anda memberi tugas atau instruksi kepada mad’u.
Mengapa peran sahabat yang perlu Anda tonjolkan? Sebab peran inilah yang membuat mad’u merasa lebih dekat dan akrab dengan Anda. Perasaan dekat itu akan membuat ia lebih terbuka dengan Anda. Ukhuwah juga akan lebih nikmat rasanya, jika Anda menjadi sahabatnya. Peran sebagai sahabat juga lebih ditonjolkan Nabi
Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau berinteraksi dengan para sahabatnya (istilahnya saja: sahabat, bukan murid Nabi).
41. Pandanglah wajah mad’u
“Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya” (QS. 53 : 17).
Sering-seringlah Anda memandang wajah mad’u, terutama ketika menyampaikan materi. Sebagian murabbi ada yang memiliki kebiasaan tidak memandang mad’unya ketika mengisi materi. Ia memandang ke atas, ke bawah atau matanya menerawang entah kemana. Kenapa hal itu terjadi? Mungkin ia sedang cari ilham tentang apa yang akan disampaikan (mungkin karena nggak ada persiapan). Mungkin juga tidak PD kalau memandang mad’u. Mungkin juga hanya karena kebiasaan yang sudah kronis.
Dampaknya, mad’u jadi kurang serius mendengarkan, ngantuk, dan kurang merasa diperhatikan. Cara semacam itu jangan ditiru. Mulai sekarang, jika Anda menyampaikan materi, pandang wajah mad’u Anda. Pandang mereka dengan penuh percaya diri dan ramah. Cara memandangnya pun harus adil. Jangan hanya kepada mad’u tertentu saja. Pandanglah wajah mad’u satu persatu secara acak dan agak lama.
Hal ini akan membantu konsentrasi mad’u mendengarkan pembicaraan Anda. Juga membuat mereka merasa lebih diperhatikan oleh Anda. Namun, jika Anda minder atau tidak terbiasa memandang wajah mad’u, pandang batang hidung mad’u bagian atas. Niscaya mad’u tidak tahu bedanya. Ia akan tetap merasa Anda memandangnya.
Pandang juga wajah mad’u ketika Anda berbicara dimana saja dan kapan saja. Apalagi ketika ia sedang dirundung masalah dan curhat dengan Anda, Anda harus lebih sering memandangnya. Dengan begitu, Anda telah menujukkan empati terhadapnya.
42. Bantu kesulitan keuangan mad’u, walau sedikit
“Tangan di atas (membantu) lebih baik daripada tangan di bawah (menerima bantuan)” (HR. Bukhari dan Muslim).
Sebagai murabbi, Anda perlu sigap membantu kesulitan mad’u. Salah satu kesulitan yang mungkin terjadi pada diri mad’u adalah kesulitan keuangan. Terutama untuk mad’u yang berasal dari kalangan menengah ke bawah. Jika Anda orang berada, Anda dapat membantunya dengan uang berapa saja. Namun jika Anda sendiri tidak mampu, bantulah ia dengan uang sekedarnya. Misalnya, isterinya sakit dan membutuhkan dana Rp200.000,- untuk berobat, bantu ia semampu Anda. Jika Anda hanya mampu memberikan bantuan sebesar Rp20.000,- berikanlah dengan ikhlas.
Memang, uang itu kecil jumlahnya dan tidak menutupi kebutuhannya, tapi bagi mad’u sangat besar artinya. Ia akan simpati kepada Anda, karena Anda, walau berkekurangan, masih mau membantunya. Jika Anda tidak pernah membantu kesulitan keuangan mad’u dengan alasan tidak mampu, mungkin mad’u akan memakluminya, tapi Anda kehilangan salah satu peluang untuk meraih simpati mad’u.
43. Biasakan berjabat tangan dan memeluk mad’u
“Sesungguhnya kaum muslimin apabila bertemu lalu berjabat tangan maka dosa-dosa keduanya rontok” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).
Lain rasanya kalau kita dapat berjabat tangan dengan seseorang, apalagi sampai berpelukan. Islam menganjurkan setiap muslim (sesama jenis) untuk sering berjabat tangan dan berpelukan. Mengapa? Karena hal itu akan menambah keakraban dan kasih sayang. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam sendiri mencontohkannya. Beliau sering berjabat tangan dan memeluk sahabatnya.
Sebagai murabbi, Anda perlu sering berjabat tangan dan memeluk mad’u. Terutama ketika bertemu dan berpisah dengannya. Peluklah dan jabatlah tangannya dengan erat dan hangat. Jangan tanggung dan terkesan basa-basi. Memang, ada murabbi yang minta didahului ketika berjabat tangan atau memeluk mad’unya.
Mungkin gengsi kalau mendahului. Padahal, Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam jika berjabat tangan atau memeluk sahabatnya, ia yang mengawali dan ia pula yang mengakhiri.
44. Jangan menggunakan telpon atau SMS untuk menegur mad’u
“Siapa yang menempatkan dirinya pada posisi yang mengundang tuduhan maka janganlah mencela orang yang berprasangka buruk kepadanya” (Umar bin Khathab radhiyallahu anhu)
Jika Anda ingin menegur mad’u, lakukan secara tatap muka. Jangan melalui telpon, SMS (Short Message Service), atau sarana komunikasi jarak jauh lainnya. Kenapa? Sebab jika menggunakan telekomunikasi, Anda dan mad’u tidak dapat mengetahui ekspresi wajah dan tubuh masing-masing. Padahal hal itu penting dalam komunikasi yang melibatkan emosi (ketika Anda menegur mad’u, komunikasi akan sarat dengan emosi). Jika hal itu dilakukan tanpa tatap muka, maka peluang terjadinya salah paham akan besar (karena masing-masing tidak tahu ekspresi lawan bicaranya). Misalnya, mungkin mad’u merasa Anda marah besar (karena suara Anda keras), padahal tidak.
Sebaliknya, Anda merasa mad’u menerima teguran Anda (karena nada bicara mad’u biasa saja), padahal ia sangat tersinggung dengan teguran Anda (karena mukanya merah). Konon kabarnya, para pelaku bisnis yang berpengalaman lebih suka melakukan negosiasi bisnis dengan bertemu langsung daripada melalui telekomunikasi. Mereka melakukan itu untuk menghindari kesalahpahaman. Begitu pun Anda. Jangan gunakan sarana komunikasi jarak jauh untuk menegur mad’u, jika tidak ingin terjadi kesalahpahaman. Hubungi ia dan minta bertemu di suatu tempat.
Di situ baru Anda menegurnya secara langsung, sehingga Anda dapat melihat ekspresinya secara lebih tepat. Hal ini akan memperkecil peluang terjadinya salah paham antara Anda dengan mad’u.
45. Jangan memotong pembicaraan mad’u
“Siapa yang menahan lidahnya pasti Allah menutup auratnya…” (HR. Ibnu Abi Dunya).
Ada beberapa sebab mengapa seseorang suka memotong pembicaraan orang lain, antara lain karena sulit konsentrasi mendengarkan pembicaraan orang lain, tidak sabar mendengarkan, merasa sudah tahu maksud pembicaraan, ingin segera menjawab, keinginan untuk dianggap pintar, dan ingin menonjolkan diri. Memotong pembicaraan sebenarnya hanya dapat dilakukan jika orang yang berbicara terlalu lama bicara, sehingga tidak memberi kesempatan kepada yang lainnya untuk bicara.
Atau jika pembicaraannya telah menyinggung perasaan orang lain. Namun pada dasarnya, memotong pembicaraan merupakan suatu kebiasaan buruk karena kurang menghargai dan dapat menimbulkan salah paham tentang pesan yang disampaikan.
Jika kebiasaan tersebut terdapat pada Anda, maka Anda harus mengendalikan diri. Jangan suka memotong pembicaraan mad’u, sebab mad’u dapat merasa kurang dihargai. Anda juga terkesan arogan dan terlalu ingin mendominasi pembicaraan.
Kadangkala mad’u berbicara kepada Anda bukan untuk mendengarkan Anda bicara (menasehatinya), tapi untuk curhat (mencurahkan isi hati). Bagaimana ia bisa curhat, jika Anda sering memotong pembicaraannya dan kurang sabar mendengarkan?