Tsawabit dan Mutaghayirat dalam Manhaj Talaqi

Bab ini memuat sejumlah permasalahan yang tetap dan pasti (qath’i), serta sejumlah permasalahan yang bersifat dugaan (zhani ijtihadi). Uraian berikut adalah upaya untuk menyederhanakan perbincangan tentang keduanya di dua sub bahasan berikut.

1. Tsawabit

Di antara hal terpenting yang bersifat baku dan tetap dalam masalah ini adalah sebagai berikut.

1) Syariat diletakkan untuk mengeluarkan mukallaf dari dorongan hawa nafsunya, sehingga ia menjadi hamba tuhan-Nya.

Prinsip syariat adalah mengikuti para rasul dan taat kepada mereka. Sedangkan perihal mengikuti para ulama, hal ini harus dalam pertimbangan kedalaman ilmu pengetahuan mereka tentang syariat, bagaimana mereka menegakkan hujah, dan bagaimana pengamalan mereka akan hukum-hukumnya. Adapun penyerahan keputusan hukum kepada para tokoh dengan tanpa melihat posisi mereka sebagai sarana untuk mengetahui hukum syariat, hal ini merupakan sikap yang sesat dan tanpa dasar. Demikian juga tentang orang yang diketahui atau diduga keras berbuat kekeliruan dalam berfatwa, maka ia tidak boleh diikuti.

2) Hujah yang pasti dan hukum tertinggi hanyalah syariat, tidak ada yang lain.

Tidak boleh melawan syariat dengan perasaan , suara hati, pendapat, analogi, atau sejenisnya. Hal-hal prinsip syariat tercermin dalam teks Al Qur’an, hadits, dan kesepakatan seluruh umat (ijma’). Dengan demikian, prinsip –prinsip dasar yang tertuang dalam Al Qur’an, Sunah, dan kesepakatan seluruh umat (ijma’) ibarat agama di antara para nabi. Tidak ada seorang pun yang dibenarkan keluar dari padanya atau menentangnya. Barangsiapa masuk, maka ia adalah orang Islam dan termasuk dalam kelompok ahlusunah waljamaah, sebab agama Islam dibangun di atas sikap Al Qur’an, hadits, dan ijma’ seluruh umat. Tiga hal ini adalah prinsip yang ma’shum (terhindar dari kesalahan).

Imam Syafi’i –rahimahullah– berkata, “Saya tidak pernah mendengar ada seorang yang saya pandang berilmu, atau dipandang berilmu oleh kalangan umum, atau memandang dirinya berilmu, yang mengatakan adanya perbedaan pendapat tentang kewajiban mengikuti perintah Rasulullah Saw. dan tunduk kepada hukumnya. Karena sesungguhnya Allah tidak menjadikan siapa pun sepeninggal Rasulullah yang dipandang berilmu oleh umumnya orang, atau memandang dirinya berilmu, kecuali agar mengikuti beliau. Tidak ada perkataan seorang pun yang berlaku, kecuali perkataan yang sesuai dengan Kitab Allah atau Sunah Rasul-Nya. Sedangkan selain dari keduanya adalah pengikut. Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada kita, generasi sesudah kita, dan generasi sebelum kita, untuk menerima berikta yang berasalan dari Rasulullah Saw.”[35]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Agama kaum Muslimin dibangun di atas prinsip mengikuti kitab Allah, sunah Rasul-Nya, dan apa-apa yang disepakati umat. Tiga hal ini adalah prinsip yang ma’shum (terhindar dari kesalahan).”[36]

Di tempat lain ia mengatakan,”Di antara nikmat terbesar yang Allah anugerahkan kepada kaum Muslimin adalah berpegang teguhnya mereka kepada Kitab dan Sunah. Maka, di antara pokok yang disepakati para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan ihsan adalah, bahwa tidak ada seorang pun yang dibenarkan untuk melawan Al Qur’an, baik dengan pendapat, perasaan, pemikiran, analogi, atau pengalaman spiritualnya…”

Selanjutnya ia mengatakan, “Al Qur’an adalah imam yang dijadikan ikutan. Oleh sebab itu, tidak dijumpai perkataan siapa pun dari kalangan ulama salaf yang menentang Al Qur’an dengan akal, pendapat, atau analogi. Tidak pula dengan perasaan, pengalaman spiritual, atau penyingkapan yang gaib. Sama sekali tidak ada yang pernah berkata, “Dalam masalah ini terdapat pertentangan aqli (akal) dan naqli (nash),” apalagi sampai mengatakan keharusan mendahulukan akal pikiran, sedangkan yang naqli –Al Qur’an, hadits, perkataan sahabat dan tabiin- diserahkan saja kepada Allah atau ditakwil (diberi makna lain bukan makna tekstualnya. Penerj)[37]

3) Memahami Al Qur’an dan hadits berikut teks-teks dalil yang terdapat di dalamnya dengan merujuk kepada salafussaleh.

Penjelasan tentang Al Qur’an dan Hadits yang telah diketahui bersumber dari Nabi Saw. Aatau sahabat-sahabatnya tidak lagi memerlukan penjelasan lain. Sedangkan penakwilan yang keluar dari maknanya secara tekstual tanpa adanya petunjuk dari Rasulullah atau salah seorang sahabatnya, adalah takwil ahli bid’ah.

Oleh karena itu, Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menjelaskan tentang golongan yang selamat dengan bersabda, “Sesuatu yang aku dan sahabat-sahabatku dijadikan pedoman.”

Beliau juga bersabda,

“Berpegang teguhlah kalian dengan sunahku dan sunah khulafaurasyidin yang terbimbing petunjuk sepeningalku.”

Beliau tidak berkata, “Berpegang teguhlah kalian dengan sunahku saja.”

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

“Dan barangsiapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruknya tempat kembali.” (An Nisa’:115)

Allah telah menggabungkan sikap mengikuti jalan selain orang-orang beriman dengan penentangan terhadap Rasul. Yang demikian ini karena penentangan terhadap Rasul menjadi tampak dengan bentuk penyimpangan dari jalan orang-orang beriman dan mengikuti manhaj selain manhaj salafussaleh.

Ahmad bin Hambal berkata, “Prinsip-prinsip sunah bagi kami adalah berpegang teguh kepada apa yang dipedomani para sahabat Rasulullah Saw., mengikuti mereka, dan meninggalkan bid’ah. Semua bid’ah adalah sesat.”

Ia juga berkata, “Sesungguhnya takwil yang dilakukan oleh seseorang terhadap ayat Al Qur’an berdasarkan sunah yang menunjukan arti yang dikehendaki Allah atau berdasarkan keterangan dari sahabat-sahabat Rasulullah adalah takwil yang bisa diterima. Ini bisa diketahui dari hadits Nabi atau keterangan dari sahabat-sahabat yang hidup bersama beliau, karena merekalah yang menyaksikan saat turunnya Al Qur’an, mengetahui apa yang dikisahkan kepada Nabi di dalamnya, juga mengetahui maksud yang dikehendakinya, apakah ia berbentuk khas ataukah ‘am. Adapun orang yang mentakwil Al Qur’an keluar dari makan tekstualnya tanpa penjelasan dari Rasulullah atau salah seorang sahabat beliau, maka itu adalah takwilnya ahli bid’ah.”[38]

Al Auzai’i –rahimahullah– berkata, “Sabarlah untuk berada di atas sunah, berhentilah di tempat para sahabat berhenti, berkatalah dengan apa yang mereka katakan, diamlah dalam hal yang mereka diam, dan tempuhlah jalan pendahulumu yang saleh, karena sesungguhnya apa yang mencakupi mereka juga mencakupimu.”[39]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Yang sepatutnya diketahui adalah bahwa kata-kata yang terdapat di dalam Al Qur’an dan hadits apabila telah diketahui penjelasannya dan apa yang dikehendakinya dari Nabi Saw. maka tidak perlu lagi perkataan-perkataan ahli bahasa atau lainnya sebagai dalil untuk memahaminya.”[40]

Di bagian lain ia mengatakan , “Allah berfirman, Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar (At Taubah: 100).” Dalam ayat ini Allah menjadikan orang-orang yang mengikuti para sahabat dengan baik bersama-sama dengan mereka dalam memperoleh keridhaan dan surga. Allah Swt. juga berfirman,

“Dan orang-orang yang beriman sesudah itu, kemudian berhijrah dan berjihad bersamamu maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga)” (Al Anfal:75)

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa, “Wahai Tuhan kami, berilah ampun kepada kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun Lagi Maha Penyayang.” (Al Hasyr:10)

“Dan (juga) kepada kaum yang lain dari mereka yang belum berhubungan dengan mereka . dan Dia-lah yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (Al Jumu’ah:3) Maka barangsiapa mengikuti orang-orang terdahulu dan yang pertama-tama masuk Islam, maka ia termasuk golongan mereka. Sedangkan mereka adalah sebaik-baik manusia setelah para nabi, sebab umat Muhammad adalah sebaik-baik umat yang ditampilkan kepada segenap manusia dan para sahabat adalah sebaik-baik umat Muhammad sebagaimana tertera di dalam kitab-kitab hadits shahih dari berbagai jalur, bahwa nabi Saw. bersabda, “Sebaik-baik generasi adalah generasi yang aku diutus di tengah mereka, kemudian generasi sesudah mereka, kemudian generasi sesudah mereka.”

Oleh karena itu, mengetahui ucapan-ucapan mereka tentang ilmu, agama, dan amal-amal mereka lebih baik dan lebih bermanfaat daripada mengetahui ucapan-ucapan generasi belakangan dan amal-amal mereka dalam semua ilmu agama dan amaliahnya, seperti tafsir, akhlak, jihad, dan sebagainya.

Generasi sahabat lebih baik daripada generasi sesudahnya, sebagaimana telah dituturkan oleh Al Qur’an dan hadits. Maka, mengikuti mereka adalah lebih baik daripada mengikuti generasi sesudah mereka. Mengenal ijma’ dan perbedaan pendapat mereka tentang ilmu dan agama lebih baik dan lebih bermanfaat daripada mengetahui ijma’ dan perbedaan pendapat yang disebut-sebut dari selain mereka.  Yang demikian itu karena ijma’ mereka terpelihara dari kesalahan. Jika berbeda pendapat, maka kebenaran tidak meleset dari kalangan mereka, sebab kebenaran bisa dicari di sebagian ucapan mereka. Perkataan mereka tidak dihukumi selain kecuali setelah diketahui petunjuk Al Qur’an dan hadits yang berbeda dengannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah RasulNya, dan ulil amri di antara kalian. Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan rasul (sunahnya), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya” (An Nisa:59)

4) Nash yang shahih tidak bertentangan dengan logika yang sharih (jelas).

Kedudukan akal di hadapan dalil naql adalah ibarat kedudukan orang awam di hadapan mujtahid, bahkan lebih dari itu. Itu karena orang awam bisa menjadi alim dengan belajar, sedangkan orang alim sama sekali tidak mungkin menjadi nabi. Akal tidak boleh didahulukan atas naql dalam masalah yang diduga  ada pertentangan antara keduanya, dengan alasan bahwa akal dapat membuktikan kebalikan dari apa yang ditunjukan oleh dalil naql, dan akal adalah pangkal naql. Jika terjadi pertentangan antar keduanya, maka akallah yang didahulukan. Tentu ini tidak benar. Jika naql itu shahih, maka apa yang dianggap bisa diterima akal itu pada dasarnya majhul (tidak diketahui). Kenyataan ini tampak jelas apabila diteliti dengan seksama. Adapun naql itu tidak shahih, maka tidak layak untuk dijadikan sebagai hujah dalam diskusi.

Dengan ini, tidak berarti kita mengingkari peran akal, sebab akal merupakan syarat adalanya taklif. Akal –seperti dikatakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiah- adalah “(ia adalah) syarat untuk mengetahui berbagai disiplin ilmu, kesempurnaan amal, dan kebaikannya. Dengan akal, ilmu dan amal menjadi sempurna. Akan tetapi, ia tidak berdiri sendiri. Ia adalah instink dan kekuatan dalam jiwa, sebagaimana potensi penglihatan yang ada pada mata, jika ia bersambung dengan cahaya iman dan Qur’an, seperti cahaya mata jika bertemu dengan sinar matahari dan api. Jika akal berjalan sendiri, ia tidak bisa melihat berbagai masalah yang tidak bisa dipahami sendiri. Jika akal tidak dipakai sama sekali, maka segala perkataan dan perbuatan menjadi urusan binatang, walaupun boleh jadi ada di dalamnya kecintaan dan rasa seperti yang juga terdapat pada binatang. Berbagai keadaan yang tidak dihasilkan oleh akal pasti tidak sempurna, dan berbagai ucapan yang menyalahi akal adalah batil. Para Rasul datang membawa sesuatu yang tidak bisa dicapai oleh akal, bukan datang membawa sesuatu yang tidak dimungkinkan oleh akal,”[41]

5) Hadits-hadits ahad pada dasarnya memberi faedah yang bersifat zhaniyah (dugaan). Jika umat menerima dan membenarkannya atau didukung bukti-bukti yang menguatkannya maka umat sepakat mengamalkannya karena memberi manfaat keilmuan yang pasti.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Hadits yang telah diterima umat dengan pembenaran atau pengamalan isinya dan manfaat keilmuan menurut mayoritas ulama khalaf (belakangan) dan salaf (terdahulu), maka itu bisa memberi makna mutawatir.”[42]

Di tempat lain ia mengatakan, “Hadits ahad yang diterima oleh umat dan memberi manfaat keilmuan menurut mayoritas ulama, seperti murid-murid Abu Hanifah, Malik, Safi’i, Ahmad dan pendapat kebanyakan murid Al Asy’ari, seperti Isfirayini dan Ibnu Furik. Walaupun ia sendiri hanya memberi faedah yang bersifat zhani, tetapi ketika disertai ijma’ ulama hadits yang menerimanya dengan pembenaran, maka kedudukannya seperti ijma’ ulama fiqih dalam suatu hukum yang didasarkan pada makna tekstual, analogi, atau hadits ahad. Hukum tersebut menjadi bernilai qath’i menurut jumhur, walaupun tanpa ijmai ia tidak qath’i, karena ijma’ bersifat ma’shum (terhindar dari kesalahan) mengingat ulama hukum tidak mungkin sepakat menghalalkan sesuatu yang haram atau mengharamkan sesuatu yang halal. Begitu pula ulama hadits, mereka tidak mungkin bersepakat untuk membenarkan kedustaan atau mendustakan kebenaran. Kadang-kadang ilmu salah seorang dari mereka –dengan disertai bukti-bukti yang menguatkan hadits- memberikan kepastian kepada mereka. Barangsiapa memiliki ilmu seperti yang mereka ketahui, ia akan memperoleh kepastian seperti yang mereka peroleh.”[43]

Ibnu Abu ‘Izz dalam Syarh At Thahawiyah-nya mengatakan. “Hadits ahad yang diterima umat dengan pembenaran dan pengamalan memberi faedah keilmuan yang bersifat yaqin menurut jumhur ulama. Ia termasuk salah satu bagian dari mutawatir. Dalam hal ini, tidak ada perselisihan di kalangan pendahulu umat.”[44]

6) Ijma’ ada yang bersifat qath’i dan ada pula yang bersifat zhani.

Apabila kita pastikan tidak ada yang berbeda pendapat, maka ijma’ yang demikian adalah ijma’ qath’i. sedangkan jika kita tidak bisa memastikan tidak adanya yang berbeda pendapat, maka yang demikian itu adalah ijma’ zhani atau disebut juga ijma’ iqrari atau istiqra’i. Inilah yang diungkapkan para ulama dengan kata-kata, “Saya tidak mengetahui ada orang yang berbeda pendapat dalam masalah ini.” Ijma’ jenis pertama menunjukan kepastian (qath’i), sedangkan ijma’ kedua menunjukan dugaan (zhani).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiah mengatakan, “Ijma’ ada dua macam. Pertama, ijma’ qath’i. tidak ada ijma’ qath’i yang menyalahi nash syariat. Kedua, ijmak zhani, yaitu ijmak iqrari atau istiqra’i dimana tidak dijumpai perbedaan pendapat setelah mengadakan istiqra’ (penelitian terhadap pendapat-pendapat ulama), atau suatu penafsiran terhadap Al Qur’an yang tekah dikenal luas  dan tidak diketahui ada orang yang menyanggahnya. Ijma’ yang kedua ini, walaupun bisa dijadikan hujah tetapi tidak boleh dijadikan dasar untuk menolak nash-nash yang sudah jelas diketahui maknanya, sebab ia merupakan hujah zhaniyah (argumentasi hipotesis) yang tidak bisa dipastikan kebenarannya karena tidak diketahui dengan pasti bahwa tidak ada orang yang berbeda pendapat tentangnya. Jika bisa dipastikan tidak ada orang yang berbeda pendapat, maka itu disebut ijma’ qath’i. Adapun jika diduga tidak ada yang berbeda pendapat dan belum bisa dipastikan, maka ia merupakan hujah zhaniyah.”[45]

7) Analogi (qiyas) yang benar merupakan hujah yang diakui untuk menetapkan hukum.

Ini adalah pendirian mayoritas ulama, termasuk imam empat dan lainnya. Qiyas berbeda pada peringkat keempat dari urutan dalil-dalil syar’i, setelah Al Qur’an, sunah, dan ijma’. Bolehnya qiyas menjadi hujah telah ditunjukkan oleh Al Qur’an, sunah, perkataan para sahabat, dan pengamalan para imam. Tidak ada yang berbeda pendapat dalam hal ini kecuali kalangan Zhahiriah, Nazhamiyah, dan sebagain kelompok Syi’ah.

Prinsip berhujah dengan qiyas termasuk keharusan yang dituntut oleh kekekalan syariah dan kelayakannya untuk setiap masa dan tempat, karena nash Al Qur’an dan hadits terbatas jumlahnya, telah terhenti dan tidak ada lagi penambahan, sementara persoalan manusia tidaklah terbatas dan terus terjadi tiada henti. Karenanya, dengan mengenal masalah-masalah yang sepadan dan mengembalikan hukum sesuatu kepada padanannya, akan dapat menjamin terakomodasinya berbagai kejadian yang tidak terbatas ke dalam nash-nash yang terbatas jumlahnya, sekaligus dapat menyingkap hukum syariah tentang kejadian dan persoalan yang terus berkembang.

Al Muzani mengatakan, “Para fuqaha sejak masa Rasulullah Saw. sampai hari ini dan seterusnya menggunakan qiyas dalam fiqih untuk semua hukum dalam urusan agama mereka. Mereka sepakat bahwa sesuatu yang sama dengan yang haq adalah haq, dan sesuatu yang sama dengan yang batil adalah batil. Karenanya, kita tidak boleh menolak qiyas, karena sesungguhnya qiyas adalah upaya mengidentifikasi persoalan-persoalan yang sejenis kemudian memberi hukum yang sejenis pula.”[46]



[35] Iqadh Al Himam, h. 104

[36] Ibnu taimiah, Majmu’ Al Fatawa, vol. 20, h 164.

[37] Ibid, vol. 13, h. 27-28

[38]  Ibnu Taimiah, AL Iman, h. 373-374

[39] Al Lalikai, Syarah Ushul Ahl As Sunah wa Al Jama’ah, vol. 1 h. 154

[40]  Ibnu Taimiyah, Al Iman, h. 271-273

[41] Ibnu Taimiyah, Majmu Al Fatawa, Vol. 3, h. 338-339

[42] Ibid. 18/48

[43] Ibid. 18/41

[44] Syarh Al Aqidah Ath Thahawiyah, h. 339-340

[45] Majmu’ Al Fatawa, Vol. 19, h. 267-268

[46] I’lam Al Muwaqi’in, 1/205