5. Khilaf dalam furu’iyah tidak secara mutlak diterima.
Artinya, ada perbedaan pendapat yang bisa diterima namun ada pula perbedaan pendapat yang tercela. Setiap masalah yang telah ditegakkan hujahnya oleh Allah, baik melalui Kitab-Nya maupun lewat lisan Nabi-Nya, maka orang yang telah mengetahuinya tidak boleh berbeda pendapat tentangnya. Khilaf dalam masalah ini tercela hukumnya. Sedangkan masalah yang terbuka untuk dita’wil dalilnya atau masalah yang diketahui hukumnya dengan qiyas adalah masalah ijtihadiah yang dimungkinkan terjadi khilaf dan tidak boleh melarang orang berbeda pendapat tentangnya.
Dari sini, jelaslah kekeliruan orang yang menentang keberadaan sebagian khilaf sebagai rahmat dan kelonggaran dengan memukul rata bahwa semua khilaf adalah buruk dan tercela. Sebenarnya keburukan bukanlah terletak pada khilaf dalam furu’iyah semata, melainkan terletak pada fanatisme, sikap melampaui batas, dan perpecahan yang ditimbulkannya. Adapun bila diikuti dengan terpeliharanya hubungan, keakraban, dan ukhuwah islamiah, maka khilaf merupakan rahmat dan kelonggaran.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiah mengatakan, “Khilafiah dalam hukum bisa menjadi rahmat jika tidak menjerumuskan kepada keburukan besar berupa rancunya hukum. Karenanya, ketika ada seseorang yang menyusun kitab dengan nama Kitab Al Ikhtilaf (Buku tentang perbedaan pendapat), Imam Ahmad serta merta berkata kepadanya, ‘Namakanlah dengan Kitab As Sa’ah (Kitab tentang kelonggaran).’ Dari sebagian ulama telah dinukil ungkapan, ‘Ijma’ mereka adalah hujah yang pasti dan perbedaan mereka adalah rahmat dan kelonggaran.’”[61]
Al Jashash dalam tafsir Ahkam Al Qur’an mengatakan, “terkadang dua mujtahid berbeda pendapat tentang nafkah terhadap isteri dan denda berbagai tindakan kriminal yang diberikan kepada korban, namun tidak ada di antara mereka yang mendapat celaan atau perlakuan kasar, karena ini merupakan hukum persoalan ijtihadiah. Kalau sekiranya tercela, tentu para sahabat memperoleh bagian besar dari celaan tersebut dan kita tidak akan mendapati mereka berbeda pendapat tentang hukum berbagai persoalan. Walaupun demikian, mereka tetap bersaudara, masing-masing menolelir sahabatnya berbeda pendapat tanpa celaan dan sikap kasar, bahkan mereka sepakat membenarkan perbedaan pendapat tentang masalah ijtihadiah ini. Allah Swt. telah menyatakan kebenaran ijma’ mereka dan bisa diterima sebagai hujah dalam banyak ayat. Nabi Saw. bersabda, “Perbedaan pendapat umatku adalah rahmat.” Ia juga bersabda,
Umatku tidak akan bersepakat dalam kesesatan.
Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa Allah Swt. dengan firman-Nya, “Janganlah bercerai berai” (Ali Imran:103) tidaklah bermaksud melarang perbedaan jenis ini. Sesungguhnya larangan tersebut tertuju pada salah satu dari dua hal, yaitu dalam nash dan dalam hal yang didukung oleh dalil aqli atau naqli, yang hanya mengandung satu interpretasi. Muatan ayat menunjukan perselisihan dan perpecahan dalam pokok-pokok agama, bukan pada cabang-cabangnya, sebagaimana firman-Nya,
“Dan ingatlah akan nikmat Allah kepada kalian ketika dahulu (masa jahiliah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hati kalian” (Ali ‘Imran:103), yakni dengan Islam. Sebagai dalil bahwa perpecahan yang tercela dan dilarang ayat adalah perpecahan dalam pokok-pokok agama dan dalam keislaman, bukan dalam cabang-cabangnya. Wallahu a’alam.”[62]
Dalam ketetapan yang dikeluarkan oleh Lembaga Fiqih di Makah Al Mukaramah pada putaran kesepuluh, Shafar 1408 H yang dipimpin Syaikh Abdul Aziz bin Baz dan ditandatangani oleh 12 ulama besar, disebutkan sebagai berkut, “… Adapun yang kedua adalah perbedaan mazhab fiqih tentang sebagian masalah. Ia memiliki faktor-faktor penyebab ilmiah yang mengharuskannya, dan Allah Swt. mempunyai hikmah besar di balik itu. Antara lain, sebagai rahmat bagi hamba-hamba-Nya dan memperluas kesempatan penggalian hukum dari berbagai nash. Selain itu, sebagai nikmat dan kekayaan fiqhiyah tasyri’iyah yang menjadikan umat Islam berada dalam keluasan dalam urusan agama dan syariatnya, sehingga tidak terkungkung dalam satu bentuk aplikasi syariat yang tidak boleh beranjak darinya, melainkan jika umat tersempitkan oleh mazhab salah seorang imam fiqih pada suatu waktu atau pada urusan tertentu, maka akan mendapati kelonggaran dan kemudahan pada mazhab lain, baik dalam urusan ibadah atau muamalah, juga dalam urusan keluarga atau peradilan dan kriminalitas, dalam bingkai dalil-dalil syar’i.
Perbedaan mazhab fiqih ini bukanlah suatu cacat atau kontradiksi dalam agama kita. Tidak mungkin dipahami demikian. Tidak ada satu umatpun yang meiliki tatanan syariat sempurna dengan pemahaman dan ijtihad, yang tidak dijumpai di dalamnya perbedaan fiqih ijtihadi. Di mana letak kekurangan dari adanya perbedaan mazhab yang telah kami jelaskan kebaikan dan kerahmatannya? Sesungguhnya adalah nikmat dan rahmat dari Allah untuk hamba-hamba-Nya yang beriman. Pada waktu yang sama, ia merupakan kekayaan perundangan terbesar serta keistimewaan yang sepatutnya umat Islam bangga.”
6. Kekeliruan seorang ulama tidak boleh dijadikan pegangan.
Ini jika kekeliruan itu tidak bersumber dari ijtihad mu’tabar (yang diakui) dan tidak termasuk bagian darinya. Kekeliruan tidak boleh dijadikan pedoman jika itu terjadi karena tidak jelas atau tidak sampainya dalil kepadanya. Tidak boleh seseorang dihina atau direndahkan martabatnya lantaran kekeliruan tersebut atau dianggap sengaja melakukan penyimpangan. Dengan begitu, dua hal yang sama pentingnya bisa dipadukan, yaitu nasihat karena Allah untuk mengikuti Rasul, Kitab, dan agama-Nya, serta membersihkannya dari pendapat-pendapat batil yang bertentangan dengan petunjuk dan keterangan yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya, di samping tetap mengakui keutamaan para imam yang alim sesuai kedudukan, hak, dan tingkatan mereka. Kita tidak menuduh mereka melakukan dosa atau sebaliknya menganggap suci.
Kita tidak menempuh cara orang-orang rafidhah (syi’ah, penerj) bersikap kepada Ali, atau cara mereka bersikap kepada Abu Bakar dan Umar. Akan tetapi, kita menempuh cara para sahabat bersikap terhadap para pendahulunya. Yakni tidak menuduh melakukan dosa dan tidak pula menganggap ma’shum (terpelihara dari dosa). Tidak menerima semua perkataan dan tidak menolak semuanya. Tidak ada pertentangan antara dua hal ini bagi orang yang dadanya telah dilapangkan Allah terhadap Islam.
Imam Syathibi berkata,”Sesungguhnya kekeliruan seorang alim bukan karena kesengajaan. Ini dari satu sisi. Dari sisi lain, kekeliruan itu tidak boleh dijadikan pegangan untuk diikuti karena menyalahi syariat. Kalau dijadikan pegangan maka berarti menganggapnya tidak berbuat keliru, dan tidak mengakui kekeliruan orang yang berpendapat dengannya. Walaupun demikian, tidak dibenarkan pula menilainya sebagai gegabah, menghina, merendahkan martabat, karena tidak sesuai dengan martabatnya dalam agama.”[63]
Ibnul Qayyim menegaskan, “Orang yang memahami syariat dan realita pasti mengetahui bahwa seorang tokoh yang mulia, yang mempunyai peran dan pengaruh baik dalam Islam, serta mendapat tempat di hati umat, boleh jadi melakukan kekeliruan yang dimaafkan, bahkan mendapat pahala karena ijtihadnya. Ia tidak boleh diikuti dalam kekeliruan itu dan tidak boleh pula dijatuhkan keimanan dan kedudukannya dari hati umat Islam.”[64]
Al Hafidz Adz Dzahabi –dalam pembelaanya terhadap Muhammad bin Nashr Al Maruzi- mengatakan,”kalau setiap ada seorang imam yang keliru hasil ijtihadnya tentang suatu masalah dengan kekeliruan yang terampuni lalu kita hujat, kita anggap melakukan bid’ah lalu kita kucilkan, maka tentu tidak ada orang yang selamat, baik Ibnu Nashr, Ibnu Mandah, atau yang lebih mulia dari mereka. Allah membimbing mahkluk-Nya kepada kebenaran dan Dialah yang Paling Penyayang. Kita berlindung kepada-Nya dari hawa nafsu dan sikap kasar.”[65]
Tentang biografi Imam Ibnu Khuzaimah (lahir tahun 311 H.), Adz Dzahabi berkata,”Kitabnya tentang tauhid cukup besar. Di dalamnya ia menakwil hadits tentang sifat Allah, maka orang yang mentakwil sebagian sifat Allah perlu ditenggang. Ulama salaf tidak berbicara takwil. Mereka cukup dengan mengimaninya dan menyerahkan pengetahuan tentangnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Kalau sekiranya setiap orang yang dengan kelurusan imannya dan kehati-hatiannya keliru dalam hasil ijtihadnya, kemudian tidak kita hormati dan kita bid’ahkan, niscaya sedikit sekali dari kalangan imam yang selamat. Semoga Allah merahmati semuanya dengan anugerah dan kemuliaan-Nya.”[66]
Dalam kitab Subul As Salam, Imam Shan’ani berkata,”Tak seorang ulama pun kecuali bahwa ia memiliki kekeliruan, yang hendaknya kekeliruan itu dileburkan dalam keutamaan dan dijauhi.”
7. Seorang Mujtahid tidak disyariatkan bertaklid kepada mujtahid lainya dalam hal pendapat yang berbeda dengan hasil ijtihadnya.
Telah disepakati bahwa jika seorang mujtahid telah melakukan ijtihad dan mendapati hukum yang diyakininya, ia tidak boleh bertaklid dan mengambil pendapat mujtahid lain yang berbeda serta meninggalkan pendapatnya sendiri.
Al Ghazali mengatakan,”Mereka sepakat bahwa jika seorang mujtahid telah menyelesaikan ijtihadnya dan telah menemukan hukum yang diduga kuat benar, maka ia tidak boleh bertaklid mengamalkan pendapat mujtahid yang pendapatnya berbeda dengannya dan meninggalkan pendapatnya sendiri.”[67]
8. Ijtihad yang diakui adalah ijtihad orang yang ahli ijtihad
Ijtihad yang diperhitungkan syariat hanyalah ijtihad yang lahir dari orang ahli dan menguasai apa yang diperlukan untuk berijtihad. Kalau tidak demikian, maka yang terjadi adalah kesesatan dan memperturutkan hawa nafsu. Setiap ijtihad yang tidak dalam koridor ini, tidak diragukan lagi kebatilannya, karena bertentangan dengan kebenaran yang diturunkan Allah Swt.
Imam Syathibi mengatakan,”Ijtihad dalam syariat ada dua macam. Pertama, ijtihad yang dibenarkan syariat, yaitu ijtihad yang dilakukan oleh ahlinya yang menguasai perangkat-perangkat ijtihad. Inilah yang telah kita bicarakan. Kedua, ijtihad yang tidak dibenarkan, yaitu ijtihad yang dilakukan oleh orang yang tidak mengetahui apa yang diperlukan untuk berijtihad. Pada hakikatnya, ia berpendapat berdasarkan selera dan kepentingan semata, berjalan meraba-raba dalam kebutaan, dan mengikuti hawa nafsu. Semua pendapat yang muncul dari cara seperti ini tidak diragukan lagi kebatilannya karena bertentangan dengan apa yang diturunkan Allah, sebagaimana telah Allah firmankan,
Putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu (Al Ma’idah:48)
Juga firman-Nya,
Hai Daud, sesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan (Shad: 26)
[61] .Majmu Al Fatawa. 14/159-160
[62] .Al Jashash, Ahkam Al Qur’an. 2/314-315
[63] .Ibnul Qayyim. I’lam Al Muwaqi’in. 3/295
[64] .Siyar Al A’lam An Nubala’. 14/40
[65] .Ibid.
[66] .Ibid. 14/347
[67] .Al Ghazali, Al Mustashfa. 2/384