Tsawabit dan Mutaghayirat dalam Masalah Ijtihad dan Taklid (3)

9. Taklid boleh dilakukan oleh orang yang tidak mampu ijtihad

Allah Swt. berfirman,

“Bertanyalah kepada orang yang mempuyai pengetahuan jika kalian tidak mengetahui” (An-Nahl: 43).

Ayat ini merupakan nash yang mewajibkan orang yang tidak berilmu agar merujuk kepada orang yang berpengetahuan dan menanyakan kepadanya apa yang tidak diketahuinya.

Ibnu Majah, Abu Daud, dan Ahmad meriwayatkan dengan sanad masing-masing dari Ibnu Abbas r.a bahwa ada seorang laki-laki terluka di kepalanya pada masa Rasulullah Saw. kemudian ia bermimpi dan keluar mani. Oleh orang ditanya, ia diharuskan mandi. Kemudian ia mandi hingga mengakibatkan kematiannya. Ketika berita ini sampai kepada Nabi Saw., beliau bersabda, “Mereka telah membunuhnya, Allah murka kepada mereka. Bukankah mereka harus bertanya jika tidak mengetahui, karena sesungguhnya obat kebodohan adalah bertanya.”[69]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiah berkata, “Menurut mayoritas ulama, pada dasarnya ijtihad maupun taklid itu dibolehkan. Mereka tidak mewajibkan ijtihad dan mengharamkan taklid kepada setiap orang, dan tidak pula mewajibkan taklid dan mengharamkan ijtihad pada setiap orang. Ijtihad dibolehkan bagi orang yang mampu berijtihad dan taklid dibolehkan bagi orang yang tidak mampu berijtihad.”[70]

Ibnu Qudamah mengatakan, “Taklid dalam masalah furu’iyah adalah boleh menurut ijmak. Ijmak itu sendiri yang menjadi hujjahnya.”[71] Selanjutnya ia katakan, “Sebagian kaum qadariah berpendapat bahwa orang awam wajb melihat dalil, termasuk dalam masalah furu’iyah. Pendapat ini menurut ijmak sahabat adalah batil.”[72]

Ar Razi mengatakan, “Orang awam boleh bertaklid kepada mujtahid dalam masalah furu’iyah syariat. Berbeda halnya dengan pendapat kaum mu’tazilah Baghdad. “ Selanjutnya ia sebutkan sandaran dalilnya dengan mengatakan, “Kami mempunyai dua alasan, yang pertama ijmak ulama sebelum munculnya orang yang berbeda pendapat. Sebab para ulama pada setiap masa tidak mengingkari kalangan awam yang merasa cukup dengan menerima pendapat ulama tanpa mengharuskan mereka untuk menanyakan dalil ijtihadnya.”[73]

Muhammad Amin Syanqithi mengatakan, “Tidak ada yang menyanggah ihwal dibolehkannya orang awam bertaklid, kecuali kaum qadariyah. Landasan dibolehkannya taklid adalah firman Allah, “Dan agar mereka memberi peringatan kepada kaumnya ketika kembali kepada mereka agar menjadi waspada” (At Taubah: 123), dan ijmak sahabat.”[74]

10. Orang yang belum mencapai tingkatan ijtihad harus mengikuti salah seorang imam

Ia harus mengikuti salah seorang imam supaya tidak mengeluarkan pendapat ganjil tentang suatu masalah yang tidak pernah dikatakan ulama salaf. Kalau tidak demikian, ia membuat bid’ah dalam agama dan mengikuti selain jalan orang-orang beriman dalam masalah itu. Allah Swt. berfirman,

“Dan barangsiapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruknya tempat kembali” (An Nisa’: 115).

11. Ada taklid yang disyariatkan dan ada taklid yang dilarang

Taklid yang disyariatkan adalah pengamalan orang awam dengan mazhab mujtahid tanpa mengetahui dalilnya secara utuh. Disyariatkan taklid jenis ini adalah pendapat jumhur ulama. Adapun taklid yang dilarang adalah taklid dalam masalah yang telah ditegaskan kesalahannya oleh dalil atau taklid kepada seorang imam saja secara fanatik dengan menerima seluruh pendapatnya, walaupun sebagiannya tidak sesuai dengan kebenaran, serta menolak semua pendapat lainnya walaupun kebenarannya didukung oleh nash dan argumentasi, atau taklidnya orang yang sanggup untuk menggali hukum. Semua dalil yang dikemukakan jumhur ulama untuk menolak taklid adalah tertuju kepada taklid jenis ini.”[75]

Selain itu, mencari dalil dan menganalisa bukanlah yang menjadi tujuan, melainkan sebagai jalan untuk memperoleh ilmu dan keyakinan hati. Barangsiapa telah memperoleh keyakinan seperti itu tanpa ada keraguan walaupun tanpa dalil yang tuntas, sesungguhnya ia telah menjadi orang yang beriman dan beban mencari dalil sudah terlepas darinya.

Kebanyakan kaum mu’tazilah tidak berpendapat demikian. Mereka berpendapat bahwa iman orang yang bertaklid adalah tidak sah, sebab iman tidak akan menjadi sah tanpa dalil. Pendapat ini tertolak karena bertentangan dengan pandangan para imam ulama salaf dan imam empat mazhab, terlebih lagi ia berdampak pada dikafirkannya kaum Muslimin yang awam. Kalangan ahli kalam (teolog Islam) menyatakan tentang diterimanya iman orang yang bertaklid hanya saja ia dianggap fasik karena tidak mencari dalil.

Imam Nawawi –rahimahullah– dalam mensyarah hadits Saya diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mengatakan syahadat la ilaha ilallah mengatakan,”Di dalam hadits ini terdapat dalil yang jelas untuk mazhab jumhur ulama salaf dan khalaf, bahwa jika manusia telah meyakini agama Islam dengan keyakinan yang mantap dan tiada keraguan di dalamnya, maka yang demikian ini cukup buatnya, dan ia adalah seorang mukmin yang mengesakan Allah. Ia tidak wajib mempelajari dalil-dalil ahli kalam dan mengenali Allah dengan melaluinya. Berbeda dengan pendapat kebanyakan kaum Mu’tazilah dan sebagian ahli kalam yang mewajibkan mencari dalil dan menjadikannya sebagai syarat untuk disebut ahlu al qiblah, tanpa dalil seseorang tidak bisa dinyatakan termasuk orang Islam. Pendapat ini jelas salahnya, sebab yang dituntut adalah pembenaran dengan keyakinan yang mantap dan ini sudah diperoleh. Nabi juga menganggap cukup orang yang membenarkan apa yang dibawanya dan tidak mensyaratkan mengetahui dalil. Ini didukung oleh hadits-hadits shahih yang terdapat dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, yang secara keseluruhannya memberi makna mutawatir dan pengetahuan yang pasti.”[76]

As Syaukani menukil ungkapan Ustadz Abu Mansur, “Kalau seseorang telah meyakini tanpa mengetahui dalil, maka orang-orang berbeda pendapat. Para imam mengatakan bahwa sesungguhnya ia beriman dan berhak mendapat syafaat walaupun ia fasik lantaran tidak mencari dalil. Pendapat ini dikatakan para imam hadits, sedangkan Al Asy’ari dan kebanyakan kaum Mu’tzilah mengatakan bahwa ia belum menjadi orang beriman sampai keluar dari golongan orang-orang bertaklid.”

Selanjutnya, As Syaukani berkomentar, ”Apa yang diceritakan ustadz Abu Mansur bahwa para imam ahlu al hadits menganggap beriman namun fasiq orang yang beriman dengan taklid, itu tidak benar. Tidak ada kalangan imam ahlu al hadits yang memfasiqkannya. Bahkan mazhab terdahulu dan penerus mereka menilai cukupnya iman secara global. Itulah pandangan sebaik-baik generasi dan dua generasi sesudahnya. Bahkan banyak di antara mereka yang mengharamkan perbincangan tentang hal ini dan menganggapnya sebagai kesesatan dan kebodohan. Pendapat mereka ini tidaklah asing bagi kalangan ahli ushul fiqih.

Adapun pendapat yang menafikan keiman seseorang sampai ia keluar dari golongan orang-orang yang bertaklid, alangkah merinding kulit ini dibuatnya dan hatipun menjadi gemetar, sebab klaim ini membawa konsekuensi menodai mayoritas umat yang dirahmati ini dan membebani mereka di atas kesanggupan dan kemampuannya. Iman secara global dari para sahabat yang tidak mencapai derajat ijtihad dan tidak pula mendekatinya, sudah cukup untuk mereka. Rasulullah Saw. –yang berada di tengah mereka- tidak membebani mereka untuk mengetahuinya dan tidak pula mengeluarkan mereka dari keimanan karena keterbatasannya hingga tidak mencapai derajat penguasaan dalil-dalil.”[77]

12. Dianjurkan mengkaji fiqih mazhab dengan syarat tanpa ta’ashub (fanatik buta)

Dianjurkan mengkaji fiqih mazhab dengan syarat tanpa ta’ashub, kemudian meningkat ke fiqih muqaran (fiqih perbandingan) dengan membandingkan dalil-dalil rujukan imam hingga mencapai tingkat kemandirian analisis. Ini didasarkan pada pengalaman ulama terdahulu dan ijmak ulama kontemporer, atau setidaknya-tidak diketahui adanya orang yang berbeda pendapat dalam hal ini di kalangan mereka.

Syaikh Al Albani –sebagaimana dinukil oleh Muhammad ‘Ied Abbasi dalam kitab Bid’ah Ta’ashub Mazhab- mengatakan, ”Patut kami kemukakan bahwa ini merupakan pendapat guru kami, Syaikh Al Albani. Dalam beberapa kesempatan ia menyebutkan bahwa sesungguhnya yang wajib pada masa sekarang adalah memulai belajar fiqih melalui salah satu mazhab empat dan mengkaji Islam lewat kitab-kitabnya, lalu secara bertahap memilih kitab, seperti kitab Majmu’ Imama An Nawawi dari kalangan Syafi’iah, kitab Fath Al Qadir susunan Ibnu Hammam bagi kalangan hanafiah, serta kitab-kitab lainya yang menjelaskan dalil dan cara penyimpulan hukum. Setelah itu, meninggalkan pendapat yang jelas lemah dalilnya dan penyimpulan hukumnya. Pada langkah berikutnya, menelaah kitab-kita mazhab lain yang juga mendiskusikan dalil-dalil dan menjelaskan cara penyimpulannya. Selanjutnya pendapat yang jelas kebenarannya dari kitab-kitab tersebut diambil, dan begitulah seterusnya.

Syaikh Al Albani berpendapat bahwa cara inilah yang benar dan bisa ditempuh di masa sekarang. Itu karena sekarang tidak dimungkinkan menempuh cara yang biasa ditempuh oleh salafussaleh secara sekaligus, karena tidak ada ulama mujtahid yang mengajarkan Al Qur’an dan hadits. Oleh karenanya, hanya ada dua alternatif bagi umat. Pertama, dibiarkan mengira-ngira urusan agamanya secara serampangan tanpa pengajaran (ta’lim) dan pemberian pemahaman (tafhim) fiqih. Kedua, mereka belajar agama dan mendalami hukum-hukumnya melalui salah satu dari mazhab empat. Tidak diragukan bahwa cara kedua ini lebih kecil risiko dan bahayanya daripada cara pertama. Untuk itulah kami menganjurkannya.”[78]

Di bagian lain ia mengatakan, ”Kami tidak menentang kajian fiqih menurut mazhab pada masa sekarang, dengan satu syarat yaitu tanpa adanya ta’ashub (fanatisme)mazhab, karena ta’ashub mazhablah yang kami tidak sukai dan kami perangi.”[79]

Syaikh Ad Dahlawi berkata, ”Umat atau ulamanya sampai hari ini telah sepakat membolehkan taklid kepada empat mazhab yang telah terseleksi tersebut. Ini membawa kemaslahatan yang sangat jelas, terutama pada masa akhir-akhir ini, di mana kemauan telah melemah dan hawa nafsu justru dominan, hingga setiap orang membanggakan pendapatnya sendiri.”[80]

Syaikh Hasan Al Banna, ”Bagi setiap Muslim yang belum mencapai kemampuan menganalisis dalil-dalil hukum furu’iyah, hendaknya ia mengikuti salah seorang imam agama, dan akan lebih baik lagi kalau disertai upaya mengetahui dalil-dalilnya semaksimal mungkin. Hendaknya ia menerima setiap penjelasan yang disertai dalil bila ia telah ketahui kesalehan dan kapabilitas orang yang memberi penjelasan. Kemudian hendaknya ia menyempurnakan kekurangan ilmunya –jika termasuk orang yang menekuni ilmu- agar mencapai tingkatan mampu menganalisis dalil.



[69] Sunan Ibnu Majah, 1/189, Sunan Abu Daud. 1/82

[70]  Majmu Al Fatawa. 20/204

[71] Ibnu Qudamah, Raudhah An Nazhir. 206

[72] Ibid.

[73] Ar Razi, Al Mashul fi Ushul Fiqh, anotasi Thaha Al Ulwani. 2 bag. 3/101

[74] Syanqithi, diktat Ushul Al Fiqh. 315.

[75] Ini semua tentang taklid dalam furu’iyah. Adapun taklid dalam hal iman dan tauhid, maka menurut imam empat dan mayoritas ulama salaf adalah sah bila telah memberi kemantapan dan keimanan mendalam kepada orang yang bertaklid. Dasarnya adalah Nabi Saw. menerima iman semua orang termasuk orang yang tidak ahli berfikir, seperti anak-anak, para sahaya dan orang-orang kampung. Kalau sekiranya kemampuan menelaah secara terperinci dan menguasai dalail-dalil diwajibkan atas semua orang. Tentu keimanan mereka tidak diakui hingga mereka sanggup menguasai dalil-dalil itu.

[76]  Shahih Muslim, Syarah Imam Nawawi, 1/211-212

[77]  Irsyad Al Fuhuk, As Syaukani, 266

[78]  Syaikh Muhammad ‘Ied Abbasi, Bid’ah At Ta’ashub Al Madzhabiy. 2/112.

[79] Ibid. 1/62. Tidak jelas bagi saya alasan pandangan kedua guru yang mulia ini; Al Albani dan Abbasi, yang menilai bahwa mengkaji fiqih melalui mazhab tertentu pada awal belajar tanpa ta’ashub adalah boleh, sebagai bentuk pengecualian darurat. Apakah permulaan mencari ilmu sepanjang sejarah melalui cara ini? Bahkan bukankah mayoritas murid-murid yang belajar hadits sekarang terikat dengan pendapat-pendapat yang dipilih Al Albani berikut argumentasi-argumentasi ilmiah yang dikuatkannya, sehingga hampir-hampir menjadi mazhab kelima bagi mereka? Mereka tidak dicela sepanjang mengikuti dalil dan tidak ta’ashub.

[80]  Ibid. 2/112