Tuduhan bahwa Ikhwanul Muslimin Tidak Memiliki Persepsi Aqidah yang Jelas

Ketika membahas manhaj aqidah Ikhwan, kami telah menjelaskan bahwa aqidah Ikhwanul Muslimin adalah sebagaimana aqidah salafiyah. Karenanya, Hasan Al Banna begitu besar perhatiannya terhadap masalah aqidah. Beliau mengatakan, “Yang saya maksud dengan ukhuwah adalah agar hati dan ruh kaum muslimin itu bersatu dengan ikatan aqidah, sebagai ikatan yang paling kokoh dan kuat.”[1]

Ustadz Al Banna juga memfokuskan arah da’wahnya kepada aqidah yang benar. Hal ini jelas tersimpul dari ungkapannya, “Dan inti da’wah mereka -Ikhwan- adalah fikrah dan aqidah yang ditanamkan dalam jiwa, hingga opini umum masyarakat terbina di atas aqidah, diimani oleh hati, dan ruh mereka berkumpul mengelilinginya.”[2]

Begitupun bila jika kita perhatikan kandungan ajaran beliau pada Ushlul ‘Isyrin (prinsip dua puluh).

Masalah aqidah dibahas secara detail dan jelas:

Dalam Al Ushul ‘Isyrin, masalah tersebut secara gamblang dan rinci dijelaskan dalam poin berikut:

  1. Prinsip pertama dan kedua, tentang aqidah dan hubungannya dengan amal perbuatan. Inilah aqidah yang-benar dan ibadah yang lurus. Serta Al Qur’an dan Hadits sebagai rujukannya.
  2. Prinsip ketiga: Pengaruh Iman terhadap diri muslim.
  3. Prinsip keempat:, Tentang jimat dan berbagai bentuk kemusy- rikan dan bid’ah yang harus diperangi.
  4. Bagian terakhir dari prinsip kesembilan: Tentang penghormatan terhadap shahabat dan persoalan yang terkait dengan mereka, ridhwanullahi ‘alaihim.
  5. Prinsip kesepuluh: Keyakinan tentang Tauhid uluhiyah dan Rububiyah
  6. Prinsip ke sebelas: Bid’ah dalam agama Allah dan cara memeranginya.
  7. Prinsip ke tiga belas: Orang-orang shalih dan karomah.
  8. Prinsip keempat belas: Masalah kuburan dan bid’ah yang terkait dengannya.
  9. Prinsip ke lima belas: Masalah do’a dan tawassul.
  10. Prinsip ke tujuh belas: Aqidah dan keterikatannya dengan amal.
  11. Prinsip ke delapan belas: Aqli dan naqli dalam aqidah.
  12. Prinsip ke sembilan belas: Hubungan dalil aqli dan naqli dalam aqidah, dan apabila terjadi kontradiksi maka dalil naqli lebih diulamakan.
  13. Prinsip ke dua puluh: Tidak melakukan takfir (mengkafirkan) terhadap orang yang berbuat dosa kecuali dia berikrar dan selalu mengulangi perbuatan itu, sesudah dijelaskan tentang penyimpangannya.

Selain prinsip-prinsip tersebut perhatian tentang aqidah tampak juga pada keterangan beliau pada bab kedua yang membahas tentang da’wah, dijelaskan dalam prinsip pertamanya tentang syumuliyatul fahm, pemahaman Islam yang integral. Dalam bab ketiga tentang manhaj, prinsip kedua, dijelaskan bahwa landasan pemahaman seorang muslim dan rujukannya dalam manhaj adalah Al Quran dan sunnah. Pada prinsip keenam dalam bab tersebut disebutkan bahwa kesucian itu hanyalah pada Al Quran dan sunnah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam,juga disebutkan sikap yang harus dilakukan dalam menghadapi masalah khilafiyah. Pada prinsip kesembilan dijelaskan agar seorang muslim tidak tenggelam dalam masalah-masalah perdebatan dan meninggalkan semua unsur yang memecah belah. Kemudian pada prinsip keenam belas menerangkan masalah ‘urf dan pengaruhnya

Di bab keempat, tentang fiqih, dijelaskan dalam prinsip ke tujuh tentang ijtihad dan taqlid. Pada prinsip ke delapan, tentang perselisihan dalam furu’ (cabang) dan pertentangan di dalamnya. Pada prinsip keduabelas, dijelaskan seputar ibadah dan penambahan ibadah serta pemahaman ulama terhadap masalah tersebut.



[1] Majmu’atur Ar Rasa’il, Hasan Al Banna, Mu’assasah Ar Risalah, hal. 22

[2] Majmu’atur Ar Rasa’il, Hasan Al Banna, Mu’assasah Ar Risalah, hal. 98