Tujuan Ikhwan dalam Masyarakat, Hukum, Daulah, dan Khilafah

3. Masyarakat

Masyarakat Muslim yang kita kehendaki adalah masyarakat yang menyerahkan dirinya kepada Allah, merespon seruan kebaikan, memerangi kemunkaran, tersemat padanya sifat-sifat utama, karakteristik Islam dan akhlak rabbani, mewarnai seluruh hidupnya dengan identitas Islam; baik lahir maupun batin, seluruh pemikiran konsep dan sikapnya bersifat Islami, bebas dari segala macam yang bertentangan dengan islam, melakukan hubungan dengan orang lain atas dasar Islam sehingga seluruh hubungan kemanusiaannya, baik sesama Muslim maupun dengan orang yang bukan Islam, atua hubungannya dengan dalam dunia Islam dan dunia lainnya berdasarkan komitmen penuh kepada  Islam. Tidak ada tingkah lakunya yang keluar dari kaidah-kaidah keadilan, rahmat, prinsip-prinsip kebenaran dan ihsan. Pemahaman sejati terhadap semua hal yang baru saja disebut itu tidak akan didapati pada ajaran selain Islam.

Selain itu, akal pikiran, hati, dan perasaan masyarakat Islam juga harus islami. Masyarakat Islam yang ideal ialah masyarakat yang beriman dan beramal shalih, wasiat-mewasiati dalam kebenaran dan kesabaran, nasehat-menasehati, mengimani konsep syura, yang berorientasi akhirat, tidak memberi maqam kepada dunia kecuali sesuai dengan kadarnya, membenci segala macam bentuk kejahatan, menjauhi serta membenci segala macam bentuk kejahatan, menjauhi serta membenci segala macam bentuk dosa, hidupnya penuh kasih sayang antara satu dan lainnya, suka memberi maaf kepada yang berbuat jahat kepadanya, senantiasa mematuhi perintah Allah dan menolak sama sekali kedzaliman.

Allah berfirman:

“Dan orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan dzalim, mereka membela diri.” (Asy Syura: 39)

4. Pemerintahan

Kita menghendaki tegaknya pemerintahan Islami di semua kawasan Islam. Inilah salah satu tujuan kita. Tuuan ini harus ditegakkan oleh setiap Muslim di seluruh dunia. Keterlibatan negara lain sesungguhnya tidak dapat diterima untuk menegakkan tujuan ini. Karena boleh jadi akan melahirkan persoalan yang lebih rumit yang berekses negatif d kemudian hari. Dari itulah maka jihad bagi setiap kawasan Islam untuk menegakkan pemerintah Islam merupakan satu-satunya jalan yang dapat mengantarkan tercapainya tujuan menegakkan wibawa umat Islam sedunia. Menegakkan pemerintahan Islam adalah kewajiban yang telah dibebankan oleh Allah swt. Sedangkan bekerja ke arah terwujudnya tersebut adalah kewajiban syariat yang dibebankan ke setiap individu Muslim. Allah mewajibkan kepada setiap Muslim untuk menegakkan syariat Allah.

Allah berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash.” (Al Baqarah: 178)

“(Ini adalah) satu surat yang Kami turunkan dan Kami wajibkan (menjalankannya).” (Al Nuur: 1)

“Maka tidak berdosa bagimu (para wali ) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka apa yang patut.” (Al Baqarah: 234)

Ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa setiap Muslim bertanggung jawab menegakkan syariat Allah. Ini tidak mungkin terlaksana kecuali dengan tegaknya pemerintahan Islam di setiap negara yang dihuni oelh orang-orang Islam. Oleh karena tujuan ini belum terlaksana, maka setiap Muslim berkewajiban untuk bekerja keras dan berusaha menegakkannya. Dan semua yang termasul dalam usaha menegakkan pemerintahan Islam ini termasuk juga hAl hal yang diwajibkan.

Hasan Al Banna menjelaskan karakter pemerintahan Islam sebagai berikut:

“Pemerintahan Islam adalah pemerintahan yang para anggotanya orang-orang Muslim, melaksanakan kewajiban. Tidak bermaksiat secara terang-terangan, dan melaksanakan hukum-hukum Islam. Tidak mengapa menggunakan orang-orang non Muslim sepanjang hanya menduduki jabatan umum. Bentuk dan jenis pemerintahannya tidak menjadi persoalan sepanjang sesuai dengan kaidah-kaidah umum dalam pemerintahan Islam. Di antara sifat-sifatnya adalah rasa tanggung jawab, kasih-sayang kepada rakyat, bersikap adil sesama manusia, menahan diri dari harta rakyat dan menghemat penggunaannya. Sedangkan kewajiban-kewajibannya antara lain memelihara keamanan, melaksanakan undang-undang, menyebarkan pengajaran, mempersiapkan kekuatan, menjaga kesehatan masyarakat, memelihara kepentingan umum, mengembangkan kekayaan negara, menjaga keselamatan harta benda, meninggalkan akhlak, dan menyampaikan dakwah.

Adapun hak-haknya  –setelah menjalankan semua kewajiban—antara lain kesetiaan, ketaatan, dan dukungan jiwa raga yang diberikan oleh rakyat. Apabila pemerintah lalai melaksanakan kewajibannya, maka berilah nasehat dan bimbingan. Jika itupun tidak berarti, maka dicabutlah ketaatan dan kesetiaan kita lalu disingkirkan, karena tiada kewajiban untuk taat kepada makhuq dalam bermaksiat kepada Allah.”

Selanjutnya Hasan Al Banna mengatakan, “Memperbaiki pemerintahan sampai menjadi pemerintahan Islam yang sebenarnya, sehingga dapat memainkan peranannya sebagai pelayan dan pekerja umat demi kemaslahatannya.”

Tujuan ini, yang merupakan salah satu dari beberapa tujuan kita, (yakni menegakkan pemerintahan Islam di setiap negara yang dihuni oleh kaum Muslimin) telah banyak disalahartikan. Tentu saja hal ini membutuhkan penjelasan yang rinci agar tidak terjadi lagi kerancuan, salah paham, dan kekaburan.

Pertama, Hasan Al Banna mengatakan, “Pemerintahan Islam adalah pemerintahan yang para anggotanya orang-orang Muslim, melaksanakan kewajiban, tidak bermaksiat secara terang-terangan, dan melaksanakan hukum-hukum Islam.”

Melalui redaksi ini, Uztadz Hasan Al Banna menjelaskan suatu neraca yang dengannya suatu pemerintahan ditimbang. Suatu pemerintahan tidak bisa dianggap sebagai pemerintahan Islam, kecuali apabila tokohnya terdiri dari orang-orang mukmin yang berpegang teguhkepada ajaran Islam, Sistemnya, undang-undangnya, dan segala aktivitasnya harus bersifat Islami secara integral. Sehingga Rasulullah saw.  membolehkan kita memerangi suatu pemerintahan jika para tokohnya meninggalkan salat atau memperlihatkan kekufuran yang nyata. Para ahli fiqh dari mazhab Hanafi dan yang lain telah memfatwakan bahwa seorang imam yang berlaku fasiq boleh dipecat. Sementara dalam realitas yang kita hadapi kejadiannya bahkan lebih berat daripada itu. Mereka tidak berpegang teguh pada Islam, baik dalam etika hukum maupun pelaksanaannya.

Kedua, Hasan Al Banna mengatakan, “Tidak mengapa menggunakan orang-orang non Muslim jika dalam keadaan terpaksa, yang penting mereka tidak didudukkan dalam posisi pemimpin.” Persoalan ini merupakan salah satu persoalan paling penting yang dihadapi oleh gerakan Islam, karena di setiap negara pasti terdapat orang-orang non Muslim, baik mereka minoritas maupun mayoritas. Dengan dalih adanya minoritas non Muslim ini, sebagian orang berpendapat bahwa penerapan syariat Islam tidak dibenarkan, baik tingkat negara maupun dunia. Kita katakan bahwa sesungguhnya para ahli fiqh sendiri berada di antara dua pihak: antara yang sangat keras dan yang cenderung memudahkan. Sebagian mereka berpendapat sangat keras sehingga tidak memperoleh memberi jabatan kepada orang non Muslim meski sekadar sebagai penulis. Sedangkan sebagian yang lain berpendapat sangat lunak bahwa ia boleh menjabat hingga di posisi yang paling strategis sekalipun.

Menurut pendapat kami, masalah ini terikat oleh perjanjian dan kesepakatan yang dibuat. Kita dapat membuat perjanjian dalam berinteraksi dengan non Muslim dimana saja setelah kita berkuasa. Setelah itu kita berkomitmen dengannya sebagaimana pernah dilakukan oleh Rasulullah saw. pada semua perjanjiannya dengan orang-orang Yahudi di Madinah. Dengan demikian jelaslah bahwa kita boleh berkompromi dengan mereka. Kita boleh memberikan sesuatu yang banyak kepada mereka dengan catatan mereka pun memberikan sesuatu yang sama –sebagai kompensasinya pada kita. Dalam kaidah umum: “Hak mereka adalah hak kita, kewajiban mereka juga kewajiban kita.” Bahkan beberapa ulama fiqh menyebutkan, seandainya seorang Muslim membunuh babi seorang kafir dzimmi, maka ia juga harus menggantinya. Hal yang sama justru tidak diwajibkan terhadap sesama Muslim.

Dalam mengatasi urusan-urusan individu, boleh saja mereka menggunakan undang-undang dan peradilannya sendiri yang diurus di kementerian kehakiman. Bahkan untuk setiap persoalan yang khusus menyangkut mereka, mereka dapat menggunakan peradilannya sendiri. Adapun jika mereka menghendaki urusannya diserahkan kepada kita, terutama jika urusannya berkaitan dengan ummat Islam, maka syarita membuka pintunya lebar-lebar. Demikianlah urusan yang berkaitan dengan ini dapat diselesaikan –sebagaimana yang saya sebut di atas—berdasarkan perjanjian yang mengikat kedua belah pihak (Muslim dan non Muslim) dalam perspektif undang-undang yang berlaku. Semua persoalann diatur oleh Jamaah dengan ijtihad-ijtihadnya.

Ketiga, Hasan Al Banna mengatakan, “Bentuk dan jenis pemerintahannya tidak menjadi soal sepanjang sesuai dengan kaidah-kaidah umum dalam pemerintahan Islam.”

Persoalan yang dikemukakan ini amat penting karena realitasnya ada beberapa negara yang menerapkan sistem kerajaan, adapula yang menerapkan sistem republik, sementara yang lain menerapkan sistem lain pula.

Dalam perjalanan untuk menegakkan negara Islam yang tunggal –di samping menegakkan pemerintahan Islam di setiap negara sebagaimana konsep yang dikemukakan Ustadz Hasan di atas – kita harus membeda-bedakan antara kepemimpinan tertinggi negara Islam yang satu di satu sisi, dan kepemimpinan lainnya di sisi yang lain. Dalam kepemimpinan tertinggi di negara Islam yang satu, kita terikat oleh teks-teks hukum yang terbatas dalam perjalanan hidup para khulafaur rasyidin. Oleh karena itu, kita memiliki satu pola yakni pola khilafah atau imamah. Karena itu pula, pembicaraan kita kali ini membahas persoalan yang lain. Sejarah menceritakan bahwa kekhalifahan pernah tegak dengan penguasa seorang sultan atau amir. Semua pemerintah Islam itu mengakui kesultanan dan kedaulatan khalifah atasnya, walaupun sekadar formalitas saja. Telah menjadi tradisi yang berlaku di zaman Rasulullah saw.  bahwa apabila seseorang masuk Islam, maka eksistensinya menjadi bertambah, bukan berkurang. Jika ia memeluk Islam dalam kepasitasnya sebagai penguasa, maka Islam akan mempertahankan kedudukannya itu.

Jika kita berpegang pada prinsip-prinsip ini dengan cara pandang yang luas, maka perjalanan menegakkan negara Islam akan mengambil pola yang relatif lunak. Dengan demikian kita dapat menjadikan pihak-pihak yang berpotensi memerangi menjadi para pendukung. Coba kita teliti kembali kata-kata Ustadz Hasan Al Banna berikut: “Bentuk dan jenis pemerintahannya tidak menjadi persoalan sepanjang sesuai dengan kaidah-kaidah umum dalam pemerintahan Islam.”

Kadang-kadang kita menjumpai suatu sistem yang kita tidak perlu bermusuhan dengannya. Untuknya, kita perlu mengembangkan dan menggiringnya menuju Islam secara lebih baik. Dengan demikian para pendukungnya boleh merasat tenang berhadapan dengan kita, namun dengan syarat sistem itu bersesuaian dengan kaidah umum dalam sistem Islam. Misalnya dengan adanya yayasan ayng menjadikan syura sebagai pijakannya, adanya komitmen yang penuh kepada Al Qur’an dan As-Sunnah sebagai dasar negara Islam, undang-undangnya yang Islami, perilaku para tokohnya yang juga Islami, serta politiknya yang juga islami, yakni tegak di atas prinsip pelayanan umat manusia seluruhnya. Kita melihat deskripsi identitas mereka dalam ungkapannya: “Sebagian di antara sifat-sifatnya adalah rasa tanggung jawab, kasih-sayang kepada rakyat, bersikap adil sesama manusia, menahan diri dari penyalahgunaan harta negara, dan hemat dalam penggunaannya. Sedangkan kewajiban-kewajibannya antara lain: menjaga keamanan, melaksanakan undang-undang, menyebarluaskan pengajaran, mempersiapkan kekuatan, menjaga kesehatan masyarakat, mengembangkan kekayaan alam, menjaga keselamatan harta benda, mengokohkan akhlaq, dan menyampaikan dakwah. Setelah menunaikan kewajiban-kewajiban ini, maka hak-hak yang diperoleh adalah: loyalitas, ketaatan, dan kesiapan dukungan, baik dengan harta maupun dengan jiwa. Apabila pemerintah lalai melaksanakan kewajibannya, maka berikanlah nasehat dan petunjuk kepadanya. Jika hal ini tidak dihiraukan, maka dengan terpaksa loyalitas kepadanya dicabut dan dijauhkan,karena “Tiada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepasa Khaliq (Allah).”

Ada juga sistem pemerintahan yang kita tidak memiliki pilihan sikap kecuali permusuhan dengannya. Namun di tempat lain adapula sistem yang mungkin kita dukung asalkan mau menerima empat hal:

  1. Dasar negara dan undang-undangnya Islam.
  2. Merealisasi suatu proses penyerahan kepemimpinan negara kepada orang-orang yang berkomitmen kepada Islam.
  3. Politik luar negerinya sejalan dengan prinsip-prinsip Islam.
  4. Tidak memerangi usaha untuk menegakkan Islam, bik di tingkat negara maupun dunia internasional. Syarat terakhir ini dinyatakan oleh Hasan Al Banna dengan ungkapannya berikut: “Ikhwanul Muslimin harus mendukung setiap lembaga yang diyakininya tidak sekali-kali memusuhi usaha-usaha ke arah pencapaian tujuannya.”

Banyak orang mengatakan bahwa engkau, wahai Ikhwanul Muslimin, adalah golongan yang tidak realistis dalam menetapkan tujuan, kalian memikul panji daulah Islam namun tidak mengerti hakekatnya; kalian memerangi  berbagai kondisi yang juga tidak mengetahui faktor penyebab munculnya kondisi itu. Jawabnya, tentu tidak benar. Jelas, kita menginginkan tegaknya dasar negara dan undang-undang Islam, meski jelas pula bahwa antara keinginanan dan realitas masih berjarak. Jelas kita menginginkan tegaknya komitmen kepada Islam; dari salat hingga penegakan hukum Islam, meski jelas pula bahwa ini belum terwujud. Jelas kita menginginkan wujudnya negara yang disana ditegakkan salat, ditunaikan zakat, ditegakkan amar ma’ruf nahi munkar dengan bebas, meski jelas pula bahwa hal itu belum ada. Jelas kita menginginkan sistem politik, ekonomi, peperangan, perdamaian, perkumpuan-perkumpulan, pendidikan dan pengajaran, serta komunikasi massa yang ditegakkan dengan nilai-nilai Islam, meski jelas pula bahwa itu belum terwujud. Jelas kita menginginkan politik dalam dan luar negeri bersifat Islam, meski jelas pula bahwa ini semua belum terwujud.

Dalam serial Al Ushuluts Tsalatsah kami menjelaskan tentang banyak keinginan kita dalam perspektif ajaran Islam. Selain itu dalam serial Al Bina juga kami sebutkan hal serupa meskipun banyak orang menganggapnya tidak realistis. Memang, sebaiknya kita menjelaskan kepada orang tentang apa yang kita inginkan dengan penjelasan yang sejelas-jelasnya.

Banyak kalangan kita terpengaruh oleh slogan-slogan yang digembar-gemborkan orang lain. Slogan-slogan ini membentuk sikap tertentu kepada kita. Sebagian mereka kita dapati menolak ide pembaruan dan sebaliknya mendukung ide revolusi, yang itu dibangun oleh slogan-slogan komunis yang tidak ada hubungannya dengan kita. Sesungguhnya tujuan-tujuan dan sarana-saran kita bersifat Islamiyah. Kita tidak mengikat diri kita dengan yang selainnya. Redaksi yang digunakan oleh Hasan Al Banna dalam mengungkapkan hakikat ini adalah: “Memperbaiki pemerintahan sehingga menjadi sebuah pemerintahan Islam yang sebenar-benarnya.”

Dalam hubungan ini Allah berfirman:

“Dan orang-orang yang berpegang teguh dengan Alkitab (Taurat) serta menegakkan salat (akan diberi pahala) karena sesungguhnya Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang yang melakukan perbaikan.” (Al A’raf: 170)

5. Daulah Islamiyah

Daulah islamiyah yang kita kehendaki adalah daulah inti. Sebagaimana sudah kita lalui, Hasan Al Banna menulis: “Adalah daulah yang memimpin negara-negara Islam dan menghimpun ragam kaum Muslimin, mengembalikan keagungannya, serta mengembalikan wilayah yang telah hilang dan tanah air yang telah dirampas”. Ini merupakan tujuan terbesar di antara tujuan-tujuan Ikhwanul Muslimin. Mungkin saja kita dapat menegakkan Islam di suatu wilayah. Namun bisa jadi negeri ini tidak memnuhi syarat untuk menjadi pemerintahan yang dapat memimpin dalam beramal islami di pentas dunia internasional. Sebagaimana ia tidak direkomendasi untuk memimpin negara-negara Islam di seantero jagat. Hal ini boleh jadi karena standar kualifikasinya yang rendah, posisi teritorialnya yang terpencil, juga mungkin karena lemahya posisi geografis, politik, dan ekonominya, atau karena faktor lain.

Dari sini jelaslah bahwa kita membutuhkan sebuah daulah inti, sebagaimana digambarkan oleh Hasan Al Banna dengan kata-katanya: “Adalah daulah yang memimpin negara-negara Islam dan menghimpun ragam kaum Muslimin, mengembalikan keagungannya, serta mengembalikan wilayah yang telah hilang dan tanah air yang telah dirampas.”

Di bawah ini akan kami cantumkan beberapa kewajiban yang akan dipikul oleh daulah yang dimaksud, yakni:

  1. Memimpin negara-negara Islam. Oleh karena itu, posisinya harus berada di dunia Islam sebagai pusat kepemimpinannya. Kepemimpinan ini tidak bersifat klaim dan bukan pula permintaan. Namun ia merupakan aktivitas yang diterimakan oelh negara-negara Islam kepada suatu negara dengan cara yang benar. Mungkin di antara banyak bangsa, bangsa Arablah yang patut direkomendasi untuk memainkan peran ini. Jika persatuan telah lahir di wilayah Arab seluruhnya, dengan bentuk apapun yang menjamin tegaknya Islam, maka dunia Islam akan menyerahkan segala urusannya kepada negeri ini. Mereka mengambil hak dan memberikan kewajibannya. Dengan itulah kesatuan dunia Islam atau yang sejenis dengannya akan segera muncul dalam waktu dekat, karena sejumlah manfaat dalam aspek politik, ekonomi, dan militer yang menjamin keamanan dan kesejahteraan kaum Muslimintidak terhitung banyaknya. Oleh karena itulah dunia Islam ingin bergabung ke dalam negara ini. Perkembangan berbagai perkumpulan Arab dengan keberhasilan kaum Muslimin yang telah dicapainya di berbagai wilayah bisa jadi merupakan titik tolak menuju kesana.
  2. Ia menghimpun beragam kaum Muslimin. Keberadaan daulah Islam inti harus menyentuh setiap Muslim di dunia. Ia memberi, mengambil, meminta, dan melindungi keberadaannya.
  3. Mengembalikan keagungan umat Islam dengan mengembalikan kekuasaan politik Islam,  serta mengembalikan bumi dan tanah air yang telah dirampas oleh penjajah. Semua itu menjadi tanggung jawab daulah Islam inti. Tanggung jawab ini tidak mungkin dipikul kecuali oleh negara yang mempunyai karakter tertentu dalam bidang politik, ekonomi, dan militer. Hanya daulah yang seperti itulah yang mampu bekerja untuk tujuan-tujuan tersebut. Jika beban yang berat ini dipikul oleh sebuah negara yang tidak memiliki poternsi yang spesifik, niscaya ia hanya akan membuahkan produk yang kosong belaka, bahkan bisa jadi malah jadi kontra produktif dengan tujuan yang digariskan.

6. Tegaknya Daulah dan Khilafah Islamiyah

Dalam kaitannya dengan ini, Hasan Al Banna menyatakan, “Semua negara Islam harus bebas dari cengkraman kekuasaan asing.”

Di atas wilayah yang telah bebas ini kemudian harus tertegak sebuah daulah Isalmiyah yang bebas. Imam Hasan Al Banna selanjutnya berkata, “Mengembalikan eksistensi daulah Islam kepada uamt Islam dengan membebaskan negaranya, menghidupkan keagungannya, mendekatkan peradabannya, menghimpun kalimatnya hingga semua itu mengantarkan kembalinya khilafah Islamiyah yang telah hilang dan persatuan yang dicita-citakan.”

Semua ini adalah bagian dari kewajiban yang selama ini diabaikan oleh kebanyakan umat Islam. Oleh karena itulah Hasan Al Banna berkata, “Selama daulah ini tidak tegak, maka semua umat Islam berdosa dan bertanggungjawab di hadapan Allah, mengapa mereka sampai lalai memperjuangkannya dan bersikap acuh tak acuh dalam penegakannya. Sungguh merupakan suatu kedurhakaan terhadap nilai kemanusiaan bahwa dalam situasi yang membingungkan ini justru tegak suatu negara yang mengokohkan sistem nilai zalim yang mempropagandakan seruan palsu, sementara tidak seorangpun mau berjuang untuk menegakkan negara yang haq, adil, dan damai.”

Di antara kewajiban-kewajiban daulah Islam sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Hasan Al Banna adalah:

  1. Mengamalkan hukum-hukum islam; dan itu merupakan kewajiban.
  2. Melaksanakan sistem sosial Islam secara lengkap.
  3. Memproklamasikan prinsip-prinsip yang tegas ini, jangan sampai ia dibiarkan tampak tidak jelas.
  4. Menyampaikan dakwah Islam dengan arif dan bijaksana kepada semua orang, jangan sampai di dunia ini ada orang yang belum tersentuh oleh dakwah Islam yang disertai dengan argumentasi yang jelas.

Yang perlu dicatat, Hasan Al Banna mengangga bahwa proklamasi khilafah secara resmi dilakukan pada tahap-tahap akhi saja demi memperoleh kemasalahatan yang banyak. meskipun demikian, proklamasi khilafah ini –meskipun boleh diakhirkan—harus terlebih dahulu menyiapkan sosok ideal yang patut menerima amanat ini. Saya telah menyebutkan di muka tetnag pendapat ahli fiqih Syafi’i. Mereka melihat bahwa khilafah –jika telah hilang – harus diberikan kepada orang yang paling pandai di masanya. Oleh karena itu, diakhirkannya pengumuman resmi khilafah sama sekali bukan karena tidak adanya orang yang diserahi amanat khilafah itu dan bukan berarti pengabaian atas masyarakat yang hidup tanpa seorang imam. Pengakhiran proklamasi khilafah kadang-kadang justru merupakan suatu keharusan dan menunggu kesepakatan secara bulat dari seluruh kaum Muslimin. Semuanya harus mempertimbangkan masukan dari mereka tentang personil maupun tempat agar tidak terjadi fitnah dan perselisihan di kemudian hari.