Undang-undang Keluarga: Pernikahan dan Hukum yang Terkait Dengannya

Masyarakat Arab Jahiliyyah mengenal bermacam-macam pernikahan. Diantaranya adalah pernikahan yang dipraktekkan manusia hari ini. “Seorang laki-laki melamar kepada laki-laki lain untuk menikahi perempuan yang diwalikannya atau anak perempuannya, lalu ia memberikan mahar dan menikahinya”. Islam mengakui pernikahan semacam ini dan membuat sejumlah batasan dan norma. Ada juga bentuk-bentuk pernikahan yang rusak dan ditolak oleh syari’at Islam dan masyarakat Arab tidak nmengakuinya. Diantara pernikahan yang rusak ini adalah:

a. Nikah Asy Syighar

Yaitu seorang laki-laki menikahkan anak perempuannya atau yang berada dalam kewaliannya dengan laki-laki lain, dengan syarat laki-laki itu menikahkan anak perempuannya atau yang diwalikannya dengan laki-laki pertama, dan diantara keduanya tidak ada mahar, melainkan masing-masing dari dua istri merupakan mahar bagi yang lain. Islam melarang pernikahan semacam ini. Dalam hadist disebutkan bahawa “Rasulullah melarang nikah syighar.”

Dalam hadits lain disebutkan:  “Tidak ada syighar dalam Islam

b. Nikah Al Mukti (Keji)

Yaitu anak laki-laki menikahi istri bapaknya setelah meninggal, jika ia bukan ibunya. Nikah ini merupakan adat Jahiliyyah. Jika seorang laki-laki mati meninggalkan istri dan ia memiliki anak dari istri lain, maka nak laki-laki ini berhak mengawini istri bapaknya tanpa mahar dan tanpa pertimbangan kerelaannya. Sebagaimana ia berhak menikahkannya dengan siapapun dan mengambil maharnya, atau melarang pernikahannya hingga meninggal dan anak itu mewarisinya. Nikah semacam ini popular di kalangan masyarakat Arab Jahiliyyah. Jika anak laki-laki itu tidak menginginkannya, maka haknya berpindah kepada saudara-saudaranya atau keselurush ‘ashabah (ahli waris) atau keluarga terdekat dan paling dekat. Islam menentang pernikahan yang keji ini dan hal hal yang berkaitan dengannya. Di dalam Al-Quran disebutkan,

“Dan janganlah kamu nikahi wanita yang pernah dinikahi bapak-bapakmu, kecuali yang telah berlalu. Sesungguhnya perbuatan itu sangat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk cara” (an-Nisa’[4]:22)

“Wahai orang-orang yang beriman, tidak halal bagimu mempusakai wanita dengan jalan pakasa, dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali apa yang telah kamu berikan kepada mereka.”(an-Nisa [4]:19)

c. Memadu Dua Saudara Perempuan dalam Satu Pernikahan dan Poligami.

Diantara adat masyarakat Arab adalah menikahi dua saudara perempuan. Islam melarang pernikahan ini. Al-Qur’an menjelaskan poligami yang diharamkan: “.. Dan sekiranya kamu mengumpulkan antara dua saudara perempuan..” (an-Nisa’:23) Mereka juga membolehkan poligami tanpa batas. Didalam hadist disebutkan bahwa Ghulain bin Salmah ats-Tsaqafi masuk islam dalam keadaan memiliki sepuluh istri yang dinikahinya dimasa Jahiliyyah. Lalu istri-istri ini masuk islam bersamanya. Maka, Nabi shallallahu‘alaihiwasallam memerintahkannya untuk memilih empat dari mereka dan menceraikan selebihnya.[29]

Syari’at Islam mengakui prinsip poligami dan membolehkannya hingga empat. Dan poligami ini dibolehkan saat ada kebutuhan dan terhindar dari ketidakadilan dalam pengelolaan rumah tangga. Jika tidak, maka cukup satu, jika suami takut tidak mampu berbuat adil dan memnuhi hak-hak istri. Allah berfirmaan,

maka nikahilah wanita-wanita yang kamu senangi, berdua, atau bertiga, atau berempat. Jika kmau khawatirtidak dapat berbuat adil, maka nikahilah satu wanita, atau budak yang kamu miliki, yang demikian ini lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya,” (an-Nisa’ [4]:3)

Imam syafi’i menafsirkan “tidak berbuat aniaya”, yakni agar tidak banyak tanggungan keluarga sehingga tidak mampu memberikan nafkahnya.[30]

d.   Perempuan-Perempuan yang Haram Dinikahi.

Masyarakat Arab memiliki aturan pengharaman menikahi Ibu, anak perempuan, bibi dari ayah dan bibi dari ibu. Seorang laki-laki haram menikahi ibunya, bibi dari bapak dan bibi dari ibu, sebagaimana seorang perempuan haram menikahi salah satu keturunan atau orang tuanya, atau paman dari ibunya atau paman dari bapaknya. Begitu juga, mereka menjadikan adopsi sebagai factor yang mengharamkan pernikahan seperti halnya anak kandung. Islam mengakui pengharaman Ibu dan semisalnya seraya menjelaskan siapa saja yang haram dinikahi. Sebagaimana islam membatalkan adopsi dan konsekuensinya sebgai factor yang mengharamkan pernikahan. Allah berfirman mengenai penolakan adopsi:

”Dan Allah tidak menjadikan seruan-seruan kamu sebagai anak kamu.” (al-Ahzab [33]:3)

Allah berfirman menjelaskan wanita-wanita yang diharamkan menikahinya,

Diharamkan atasmu menikahi ibu-ibu kamu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudaramu laki-laki, anak-anak perempuan dari saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara perempuan yang sepersusuan, ibu-ibu dari istri kamu,  anak-anak istri kamu yang ada dalam pemeliharaaan kamu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi apabila kamu belum campur dengan istrimu itu maka tidak berdosa kamu mengawininya (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu, dan menghimpun dua saudara perempuan dalam satu pernikahan, kecuali yang telah terjadi di masa lampau..” (An Nisa’[4]:23)

Mahar

Jika seorang laki-laki dimasa Jahiliyah menikahkan wanita yang diwalikannya, maka ia mengambil maharnya. Lalu Islam melarang hal tersebut. Allah berfirman,

dan berikanlah kepada wanita-wanita yang kamu nikahi mahar mereka dengan suka rela.”                  (an-Nisa’ [4]:3)

Sebagian ulama menafsiri ayat ini sebagai perintah kepada wali-wali perempuan agar tidak menahan maharnya, karena mahar merupakan hak wanita, bukan hak wali, sebagaimana yang terkandung dalam ayat tersebut. Menurut pendapat sebagaian ulama, suami wajib member mahar dengan jiwa yang lapang. Inilah sebagian dari makna kata “nihlah” (suka rela) begitu juga, firman Allah berikut.

dan dihalalkan bagimu selain yang demikian, mencari istri-istri dengan hartamu untuk dinikahi, bukan untuk berzina.” (an-Nisa’ [4]:24)

Ayat ini menunjukkan bahwa laki-laki harus membayar mahar kepada wanita yang merupakan hak wanita atas suami.



[29] Subuslus Salam, ash-Shan’ani, Jilid 3. Hlm 175 dan Nil al-Authar, asy-Syaukani, Jilid 5. Hlm. 160

[30] Tarikh at-Tasyri’ al-Islami wa Mashadiruhu, Muhammad Salam Madkur, hlm.33