Untuk Menjelaskan Segala Sesuatu

Kita panjatkan puji syukur ke hadirat Allah subhanahu wa ta’ala. Kita ucapkan shalawat dan salam untuk junjungan kita Nabi Muhammad, juga untuk segenap keluarga dan sahabatnya, serta siapa saja yang menyerukan dakwahnya hingga hari kiamat. Kita memulai dengan cara yang paling baik. Amma ba’du.

Wahai Ikhwan yang mulia, saya sampaikan salam penghormatan dari sisi Allah, salam yang baik dan diberkahi: assalamu’alaikum wa rahmatullah wa barakatuh.

Demi Allah, kebahagiaan ini tidak bisa disetarakan dengan apa pun yang ada di dunia ini, yaitu kebahagiaan yang kita rasakan setiap kali kita berjumpa dalam pertemuan yang diliputi dengan ridha Allah subhanahu wa ta’ala dan dihadiri oleh para malaikat.

‘Tidaklah suatu kaum berkumpul dalam salah satu rumah Allah; bersama-sama membaca dan mempelajari kitab Allah, kecuali mereka akan mendapatkan ketenangan, mereka diliputi dengan rahmat, mereka akan dikelilingi oleh para malaikat dan disebut-sebut Allah di hadapan para malaikat yang ada di sisi-Nya.’ Demikian Rasul shalallahu ‘alayhi wa sallam bersabda.

Ikhwan sekalian, kita tidak berkumpul di sini, kecuali bahwa kita diliputi oleh perasaan iman dan cinta yang meluap-luap. Kita akan mengatakan bahwa keduanya adalah kenikmatan yang tidak bisa dibuat oleh manusia, tidak bisa diperoleh dengan usaha semata, dan tidak dapat dibeli dengan harta, tetapi ia merupakan pemberian dan karunia dari Allah subhanahu wa ta’ala untuk para hamba-Nya. Kedua nikmat itu diberikan-Nya kepada siapa di antara hamba-hamba-Nya ini yang Dia kehendaki. Itulah nikmat keimanan dan cinta.

“Tetapi Allah menjadikan kalian cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hati kalian serta menjadikan kalian benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan.” (QS. Al-A’raf: 7)

Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang ada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. (QS. Al-Anfal: 63)

Wahai Ikhwan yang mulia. Ada arus cinta mendalam yang bergerak timbal balik dan kasih sayang yang tulus di antara beberapa hati yang telah disatukan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam upaya membebaskan negeri-negeri Islam dan menegakkan hukum Allah subhanahu wa ta’ala di bumi. Islam tidak mengenal sekat-sekat politik dan perbatasan geografis, tetapi hanya mengenal arus spiritualitas yang tidak dibatasi dengan apa pun dan yang bisa mengikat banyak hati sekalipun negara mereka berbeda dan tempat tinggal mereka berjauhan.

Amma ba’du. Dalam rangkaian kajian yang lalu, kita telah memulai pembicaraan tentang surat Al-Baqarah. Saya telah mengatakan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala mengemukakan seruan dengan firman-Nya, “Kitab (Al-Qur’an) itu tidak ada keraguan padanya.” (QS. Al-Baqarah: 2)

Allah juga mengklasifikasikan manusia menjadi tiga golongan, yaitu orang-orang beriman, orang-orang kafir, dan orang-orang munafik. Selanjutnya Allah subhanahu wa ta’ala ingin menegaskan lagi hakikat ini dan membuka hati kita untuk menerima keimanan dengan dalil dan bukti, tidak semata-mata dengan doktrin. Semua itu agar iman yang tertanam menjadi kuat dan mantap berdasarkan bukti dan keyakinan. Maka, Allah mulai mengemukakan dalil teoritis setelah dalil fitrah.

Dan jika kalian (tetap) dalam keraguan tentang Al-Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisalnya dan ajaklah penolong-penolong kalian selain Allah, jika memang kalian orang-orang yang benar.” (QS. Al-Baqarah: 23)

Allah subhanahu wa ta’ala tidak ingin memaksa manusia, karena Islam datang untuk membebaskan akal manusia dari pemaksaan sehingga bisa mengubahnya menjadi cahaya dan pelita yang bisa digunakan manusia untuk mengenal kebaikan dan menjauhi keburukan. “Katakanlah, ‘Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orangorang yang tidak beriman.'” (QS. Yunus: 101)

Allah mengemukakan dalil tersebut, dan mengawalinya dengan tantangan kepada siapa saja yang meragukan kemukjizatan Al-Qur’an, agar mereka mendatangkan kitab yang semisalnya. Tantangan ini telah dikemukakan melalui beberapa tahapan.

Pertama adalah tantangan agar mereka mendatangkan kitab yang seperti Al-Qur’an ini. “Katakanlah, ‘Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al-Qur’an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain.'” (QS. Al-Isra’: 88)

Adapun tahapan kedua, Al-Qur’an menantang mereka untuk membuat sepuluh surat yang semisal dengan surat-surat Al-Qur’an. “Katakanlah,‘(Kalau demikian), maka datangkanlah sepuluh surat yang dibuat-buat yang menyamainya dan panggillah orang-orang yang kalian sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kalian orang-orang yang benar.’ Jika mereka yang kamu seru itu tidak menerima seruanmu itumaka ketahuilah, sesungguhnya Al-Qur’an itu diturunkan dengan ilmu Allah.” (QS. Hud: 13-14)

Tahapan ketiga, Al-Qur’an menantang mereka untuk membuat satu surat saja yang semisal dengan Al-Qur’an. “Dan jika kalian (tetap) dalam keraguan tentang Al-Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al-Qur’an dan ajaklah penolong-penolong kalian selain Allah, jika kalian orang-orang ang memang benar.” (QS. Al-Baqarah: 23). Kemudian Al-Qur’an melanjutkannya dengan firman Allah, “Maka jika kalian tidak dapat membuat(nya) dan pasti kalian tidak akan dapat membuat(nya), peliharalah diri kalian dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 24)

Itulah tantangan terakhir. Siapa pun yang mencoba menjawab tantangan ini, seperti Musailamah dan pengikut-pengikutnya, tentu hanya mampu membuat kalimat-kalimat kosong yang tidak bermakna, tidak mempunyai ruh, tidak mempunyai nyawa, tidak nyaman didengar telinga, dan tidak bisa diresapi perasaan.

Kita, sebagai orang-orang mukmin, meyakini bahwa Al-Qur’an merupakan mukjizat yang tidak ada keraguan di dalamnya. Untuk menegaskan kemukjizatan Al-Qur’an, kita mempunyai dua jalan, yaitu melalui jalan sejarah dan melalui jalan ilmiah. Melalui jalan sejarah, tidak diragukan lagi bahwa bangsa Arab adalah bangsa yang berbahasa paling fasih dan memiliki balaghah paling baik. Mereka membanggakan kepandaian berbahasa pada tiga momen penting dalam kehidupan mereka, yaitu ketika terjadi kelahiran bayi laki-laki, ketika kelahiran anak kuda, dan ketika datangnya seorang penyair ke kabilah. Anak laki-laki berguna untuk membela diri, kuda berguna untuk peperangan, sedangkan penyair adalah juru bicara kabilah.

Bahkan mereka mengadakan pekan raya khusus yang dijadikan ajang pertarungan para sastrawan. Senjata mereka dalam pertarungan itu adalah bahasa. Festival-festival sastra hanyalah potret kecil dari pekan raya tersebut. Mereka mempunyai hakim-hakim yang kepadanya mereka mengemukakan pemikiran-pemikiran dalam bentuk nazham dan prosa. Mereka mempunyai minati (timbangan) yang menjadi patokan dalam menyusun kalimat. Balaghah dan kefasihan sangat mereka hargai.

Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam datang sedangkan di tengah-tengah mereka banyak penyair dan orator ulung. Sedangkan sebelum itu beliau tidak dikenal sebagai orator, penyair, atau orang yang turut serta dalam pertandingan bahasa. Beliau hanya dikenal sebagai seorang yang jujur dan amanah, tidak ada yang lain. “Sesungguhnya, aku (Nabi) telah tinggal bersamakalian beberapa lama sebelumnya. Maka apakah kalian tidak memikirkannya?” (QS. Yunus: 16)

Sekalipun demikian, mereka tetap berdiri tertegun dan kagum di hadapan keagungan Al-Qur’an. Lihatlah Abu Jahal, seorang tokoh kafir dan musyrik, datang menemui Nadhar bin Harits, seorang tokoh yang tergolong bijak dan pandai di kalangan Quraisy. Abu Jahal berkata, “Wahai Nadhar. Engkau adalah orang yang paling mengenal Muhammad. Tidakkah engkau mengatakan sesuatu yang akan dijadikan pegangan oleh masyarakat tentang kitab ini?” Nadhar menjawab, “Demi Allah, aku adalah orang yang paling mengerti tentang syair dan seni bahasa di antara kalian. Aku juga telah mengetahui ucapan-ucapan tukang sihir dan tukang tenung. Tetapi demi Allah, Al-Qur’an bukanlah ucapan tukang tenung atau perkataan tukang sihir. Sungguh, kalimat-kalimatnya mengandung keindahan, padanya terdapat kenikmatan, bagian atasnya berbuah, dan bagian bawahnya memberikan kesuburan. Ini tidak mungkin ucapan manusia.”

“Katakan bahwa itu sihir.” Desak Abu Jahal. Nadhar lalu berpikir, lantas menetapkan kesimpulan. “Sesungguhnya, ia adalah sihir yang dipelajari.” katanya menghindari resiko.

Maka turunlah firman Allah subhanahu wa ta’ala, “Sesungguhnya ia telah memikirkan dan menetapkan (apa yang ditetapkannya). Maka celakalah dia. Bagaimanakah dia menetapkan? Kemudian dia memikirkan. Sesudah itu dia bermasam muka dan merengut. Kemudian dia berpaling (dari kebenaran) dan menyombongkan diri. Lalu dia berkata, ‘(Al-Qur’an) ini tidaklain hanyalah sihir yang dipelajari (dari orang-orang terdahulu). Ini tidak lain hanyalah perkataan manusia.'” (QS. Al-Mudatsir: 18-25)

Wahai Akhi, jika kita telah mengetahui bahwa para pakar balaghah, ahli kefasihan bahasa, dan jago sastra tidak mampu menghadapi tantangan ini, maka tentu orang-orang lain lebih tidak mampu lagi. Inilah ketetapan sejarah.

Adapun melalui jalan kedua, yaitu jalan ilmiah. Saya akan menyampaikan dua sudut pandang. Pertama adalah dari sudut pandang teks, sedangkan yang kedua dari sudut pandang makna. Dari sudut pandang lafal, maka perumpamaan ahli bahasa yang meletakkan ayat Al-Qur’an di hadapannya, ibarat ahli mutiara yang meletakkan satu butir mutiara yang unik di hadapannya di bawah kaca pembesar, agar bisa melihat tanda-tanda keindahannya. Seorang ahli bahasa juga akan mendapati bahwa di setiap ayat, di setiap kata, bahkan di setiap huruf dalam Al-Qur’an terkandung makna yang unik dan terangkai dalam susunan yang tidak mungkin disaingi oleh perkataan manusia. Aspek kemukjizatan yang paling menonjol adalah bahwa hakikat-hakikat agung yang mempunyai berbagai tujuan jauh ini dirangkai dalam lafal-lafal yang dapat mencapai tujuan dengan mudah dan gampang.

Seseorang pernah mendatangi seorang ulama yang di wajahnya tampak tanda-tanda kegembiraan. Ia bertanya, “Ada apa?” Ulama itu menjawab, “Saya membaca sebuah ayat dalam kitab Allah subhanahu wa ta’ala, lantas mendapat di dalamnya terdapat dua kabar, dua larangan, dua perintah, dan dua berita gembira.” Orang itu bertanya, “Ayat yang mana?” Ulama itu menjawab, “Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa, ‘Susukanlah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia kedalam sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul.'” (QS. Al-Qashash: 7). “Dua kabar tersebut adalah ‘Kami ilhamkan’ dan ‘Kamu khawatir’, dua perintah adalah ‘Susukanlah dia’ dan ‘jatuhkanlah dia’, dua larangan adalah ‘Janganlah kamu khawatir’ dan ‘Janganlah (pula) kamu bersedih hati’, sedangkan dua berita gembira adalah ‘Sesungguhnya Kami akan mengembalikannya dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul.”‘

Ikhwan sekalian, adapun dari sudut pandang makna, maka saya akan membatasi pembahasan pada tiga aspek saja.

Aspek pertama, keluasan Al-Qur’an meliputi segala hal, mencakup berbagai ilmu dan penyembuhan jiwa.

“Tiadalah Kami alpakan sesuatupun di dalam Al-Kitab.” (QS. Al-An’am: 38)

“Untuk menjelaskan segala sesuatu.” (QS. An-Nahl: 89)

Itu semua datang melalui lisan seorang nabi yang ummi (buta huruf), yang tidak pernah pergi ke perguruan tinggi dan tidak pernah kuliah. Ia datang membawa penjelasan mengenai hal-hal yang dibutuhkan oleh manusia untuk memecahkan problem-problem mereka, yaitu hukum, perundang-undangan, tatanan perbedaan kelas, dan keluarga.

Mengenai problem tata pemerintahan, maka ia telah memecahkannya melalui delapan kata, “Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Dan apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah.” (QS. Ali Imran: 159)

Problem tentang perbedaan kelas, telah dipecahkan dalam empat belas kata yang ditujukan kepada penguasa. “Ambillah zakat darisebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka.” (QS. At-Taubah: 103). Dan dengan tujuh kata yang ditujukan kepada rakyat. “Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bahagian.” (QS. Adz-Dzariyat: 19)

Adapun problem rumah tangga telah dipecahkan dalam delapan kata. “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (QS. Al-Baqarah: 228)

Dengan demikian, Al-Qur’anul Karim datang membawa pemecahan bagi problem-problem manusia, mencakup problem hukum, pengaturan perbedaan kelas, dan keluarga, hanya dalam tiga puluh tiga kata saja.

Inilah, wahai Akhi, tiga problem di dunia yang untuk memecahkannya para pakar, peneliti, spesialis, dan filosof menghabiskan umur mereka, tetapi mereka tidak bisa mencapai apa yang telah dicapai oleh Al-Qur’an yang telah berhasil membukakan pintu ilmu yang luas tak bertepi di hadapan manusia serta koridor kemajuan manusia dan ilmu pengetahuan. Inilah makna kemukjizatan itu. Jika solusi-solusi Al- Qur’an dilaksanakan secara benar, niscaya di muka bumi ini tidak akan tersisa manusia yang miskin, keluarga yang telantar, dan rumah yang rusak. Niscaya penguasa akan berbahagia dengan taufiq yang diperoleh-Nya dan rakyat akan berbahagia dengan kebebasannya.

Aspek kedua, bahwa Al-Qur’an itu abadi, selalu up to date, dan fleksibel. Ia berkembang mengikuti zaman dan tidak bertentangan dengan perkembangan akal dan ilmu pengetahuan. Allah Yang Mahabesar kekuasaan-Nya mengetahui bahwa manusia itu berkembang dan selalu bergerak maju. Andaikata Allah menjelaskan hukum-hukum alam dan teori-teori ilmiah sebagaimana adanya secara baku dan definitif, niscaya anak manusia akan mengalami keterkejutan dan sangat mendustakannya.

Siapa yang tidak kenal sesuatu, pasti memusuhinya. Di antara hakikat baku yang dikenal dalam tradisi manusia adalah bahwa hakikat di masa lalu adalah khurafat bagi masa sekarang dan hakikat-hakikat hari ini adalah lelucon untuk hari esok. Akal manusia selalu mencari dan berkelana. Karena itu, Al-Qur’anul Karim datang dengan sifat yang fleksibel dan berjalan selaras dengan kemajuan manusia. Semakin bertambah ilmu manusia, semakin tahulah ia tentang mukjizat dan kekuatan kandungan Al-Qur’an. “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar.” (QS. Fushilat: 53)

Demikianlah wahai Akhi, setiap kali ada fakta ilmiah yang tersingkap, niscaya kita menemukan indikasi ke arahnya sebagaimana dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala, “Kalau kiranya Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS. An-Nisa’: 82). Jadi, Al-Qur’an tidak pernah berbenturan dengan fakta ilmiah. Ini merupakan salah satu rahasia yang dikandungnya.

Aspek ketiga adalah bahwa di dalam Al-Qur’an terkandung rahasia-rahasia ghaib seperti dalam firman Allah, “Telah dikalahkan bangsa Romawi. Di negeri yang terdekat dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang.” (QS. Ar-Rum: 2-3).

Berita Al-Qur’an itu akhirnya pun terbukti. Mahabenar Allah subhanahu wa ta’ala yang telah memfirmankannya. Karena itu, Ikhwan sekalian, Anda melihat bahwa Al-Qur’an adalah mukjizat sehingga manusia, bahkan jin, tidak akan mampu mendatangkan kitab yang setara dengan Al-Qur’an, sekalipun sebagian dari mereka bekerjasama untuk itu.

Dikisahkan bahwa Syaikh Muhammad Abduh pernah berkata tentang penafsiran “yang semisalnya” bahwa yang dimaksud adalah yang semisal Sayidina Muhammad shalallahu ‘alayhi wa sallam, untuk mengisyaratkan kepada hakikat baru. Maksudnya, jika kalian semua berusaha untuk memperoleh satu ayat saja yang semisalnya, maka kalian semua akan gagal.

Jika kita telah mengetahui keadaan Al-Qur’an semacam ini dan bahwa ia datang dari sisi Allah subhanahu wa ta’ala, maka tahulah kita bahwa ia merupakan kitab yang akan abadi sampai hari kiamat. “Yang tidak datang kepadanya kebatilan dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Mahabijaksana lagi Maha Terpuji.” (QS. Fushilat: 42)

Ikhwan sekalian, lantas, apakah layak kita menerima peraturan dan syariah selain syariah Al-Qur’an yang merupakan tali Allah yang kuat dan barangsiapa berpegang teguh kepadanya niscaya berada di atas jalan yang lurus?

Semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam kepada Sayidina Muhammad dan segenap keluarga serta sahabatnya.