15. Sebagaimana telah dikatakan di atas, bahwa aliran yang disebut dengan Ushulus Syafi’iyah atau Ushulul Mutakallimin mengacu kepada aliran teoritis murni, karena perhatian para pembahas aliran tersebut diarahkan untuk merealisasikan kaidah-kaidah, dan memurnikannya dari pengaruh (ikatan) suatu mazhab. Mereka semata-mata ingin menciptakan kaidah-kaidah yang baku, baik dapat dipergunakan oleh mazhab mereka atau tidak.
Diantara ulama dalam aliran ini ada yang menyalahi Imam Syafi’i dalam pokok-pokok ushul fiqh, meskipun ia mengikuti cabang-cabangnya. Sebagai contoh, Imam Syafi’i tidak menjadikan ijma’ sukuti (kesepakatan para ulama secara diam-diam) sebagai hujjah. Akan tetapi Imam Al Amidi, pengikut mazhab Syafi’i, menjadikannya sebagai hujjah, sebagaimana dijelaskan dalam kitabnya Al Ihkam fi Ushulil Ahkam Juz I hal. 265.
Sebagian besar ulama ahli kalam (mutakallimin) termasuk dalam aliran teoritis Imam Syafi’i tersebut. Karena aliran ini ada kesamaannya dengan kajian mereka untuk rnengetahui hal-hal yang bersifat esensial secara rasional. Kajian mereka dalam aliran ini sama dengan kajian mereka dalam ilmu kalam secara mendalam tanpa taqlid. Oleh karena itu, aliran ini juga disebut aliran mutakallimin.
Dalam aliran ini terdapat pandangan-pandangan yang bersifat logis dan filosofis. Mereka membicarakan tentang asal-usul bahasa dan membahas setiap permasalahan secara rasional. Seperti pembahasan mereka tentang kebaikan akal fikiran, keburukan suatu perbuatan dan sebagainya, serta kesepakatan mereka bahwa semua hukum selain peribadatan itu bersifat rasional. Mereka sepakat bahwa mensyukuri nikmat adalah wajib, akan tetapi mereka berselisih, apakah kewajiban mensyukuri nikmat itu berdasarkan pertimbangan akal atau berdasarkan perintah syara’. Demikian juga mereka berselisih tentang masalah-masalah rasional yang tidak berkaitan dengan perbuatan, dan tidak menciptakan metode untuk menggali hukum. Seperti perselisihan mereka tentang diperkenankan atau tidaknya membebani orang yang tidak ada.
Mereka tidak melarang seseorang untuk membicarakan permasalahan-permasalahan yang ada dalam disiplin ilmu kalam yang merupakan pokok agama dan tidak ada hubungannya dengan ilmu Fiqh. Diantaranya ialah masalah terpeliharanya para nabi dan perbuatan dosa sebelum diangkat menjadi nabi. Mereka telah membuat satu fasal yang khusus membicarakan masalah ini.
16. Hal tersebut memberikan isyarat bahwa aliran pertama di dalam membahas suatu masalah tidak didasarkan pada fanatisme mazhab tertentu dan tidak terikat dengan kaidah-kaidah pokok bagi masalah-masalah mazhab yang bersifat furu’. Bahkan kaidah-kaidah tersebut dipelajari lantaran dijadikan penentu dan landasan bagi masalah-masalah fiqh serta cara rncnggalinya. Pandangan yang netral tersebut membuahkan kaidah-kaidah ushul fiqh yang netral (murni) yang dipelajari sccara mendetail dan tcrjauh dan fanatisme. Tidak diragukan lagi, bahwa hal ini mempunyal nilai ilmiah yang tinggi yang berpengaruh kepada para pelajar yang mempelajari ilmu-ilmu agama Islam secara mendalam.
Mayoritas ulama mazhab yang menutup pintu ijtihad adalah karena mereka tidak dapat mengikuti aliran teoritis ini dalam ushul fiqh. Oleh karena itu, jika pintu ijtihad dibuka bagi umum, maka metode ijtihad yang tclah dpraktekkan oleh para ulama aliran ini akan menjadi berkembang.
17. Telah banyak kitab-kitab ushul fiqh yang disusun menurut aliran teoritis ini, antara lain yang termasyur dengan ulama tcrdahulu ada tiga kitab, yaitu:
- A1 Mu’tamad oleh Abu Hasan Muhammad ibn Ali Al Basri, seorang ulama aliran Mu’tazilah yang wafat pada tahun 413 H.
- Al Burhan, oleh Imam Haramain, seorang ulama mazhab Syafi’i yang wafat pada tahun 487 H.
- Al Mustashfa, oleh Al Ghazali.
Kemudian ulama periode berikutnya meringkas ketiga kitab tersebut dan membikin resume. Akhirnya kitab-kitab yang ringkas (global) itu memerlukan penjelasan lebih lanjut, sehingga menyebabkan para ulama banyak yang mengarang kitab-kitab syarah (penjelasan) tersebut.
Diantara ulama yang meringkas dan memberikan komentar terhadap ketiga kitab tersebut ialah Imam Fahruddin Ar Razi dalam kitabnya Al Mahshul dan Imam Abu Husain Ali yang terkenal dengan sebutan Imam Al Amidi (wafat tahun 631 H) dalam kitabnya Al Ihkam fi Ushulil Ahkam.
Kedua kitab tersebut telah banyak diringkas oleh para ulama yang terkadang terlalu ringkas, sehingga hampir-hampir hanya merupakan rumus yang kemudian memerlukan penjelasan (syarah) lagi.
Begitulah proses bagaimana kitab-kitab ringkasan (talkhis dan ikhtisar) dan kitab-kitab syarah itu bertumpuk di kemudian hari.