Wahyu

Perkembangan dunia ilmu telah maju dengan pesat, cahayanya pun menerangi segala keraguan yang selama ini meliputi diri manusia tentang masalah apa yang ada di balik materi (alam ruh). Materialisme yang selama ini meletakkan segalanya di bawah bentuk percobaan dan eksperimen, mulai percaya terhadap dunia gaib yang berada di balik dunia nyata ini, bahwa alam gaib itu lebih rumit dan lebih dalam daripada alam nyata, dan bahwa sebagian besar penemuan modern menjadikan pikiran manusia menyingkap rahasia yang tersembunyi, yang hakekatnya tidak bisa dipahami oleh ilmu itu sendiri, meskipun pengaruh dan gejalanya dapat diamati. Yang demikian ini telah mendekatkan jarak antara pengingkaran terhadap agama-agama dan keimanan. Itu relevan dengan firman Allah Azza wa Jalla,

“Akan Kami perlihatkan kepada mereka tanda-tanda kekuasaan Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu benar adanya.” (QS. Fushilat : 53)

“Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (QS. Al Isra’ : 85)

 Kajian psikologi kini mempunyai peranan signifikan dalam ilmu pengetahuan. Didukung dan diperkuat oleh pengetahuan tentang perbedaan manusia dalam masalah kecerdasan, kecenderungan dan naluri mereka. Di antara intelgensia itu ada yang istimewa dan cemerlang sehingga dapat menemukan segala yang baru. Tetapi ada pula yang dungu dan sukar memahami urusan yang mudah sekalipun. Di antara dua posisi ini, terdapat sekian banyak tingkatan. Demikian pula halnya denga jiwa. Ada yang jernih dan cemerlang, dan ada pula yang kotor dan kelam.

Di balik tubuh manusia ada roh yang merupakan rahasia hidupnya. Tubuh itu akan kehabisan tenaga, jaringan-jaringan selnya akan mengalami kerusakan jika tidak mendapatkan makanan menurut kadarnya, demikian pula roh. Ia memerlukan makanan yang dapat memberikan tenaga rohani agar ia dapat memelihara sendi-sendi dan nilai-nilainya.

Bagi Allah, bukan hal yang sulit dalam memilih di antara hamba-hamba-Nya, manusia yang memiliki jiwa jernih dan kodrati yang siap menerima sinar Ilahi, wahyu dari langit, dapat berinteraksi dengan makhluk yang lebih tinggi, agar kepadanya diberikan suatu risalah yang dapat memenuhi keperluan manusia, ketinggian rasa, keluhuran budi dan kekokohan dalam menjalankan hukum. Mereka itulah para rasul dan nabi Allah. Maka tidaklah aneh bila mereka dapat berhubungan dengan wahyu yang datang dari langit.

Manusia kini menyaksikan adanya hipnotisme yang menjelaskan bahwa hubungan jiwa manusia dengan kekuatan yang lebih tinggi itu, menimbulkan pengaruh yang bisa mengantarkan oang kepada pemahaman tentang fenomena wahyu. Orang yang berkemampuan lebih kuat dapat memaksakan kemauannya kepada orang yang lebih lemah; sehingga yang lemah ini tertidur pulas, kemudian ia menuruti apa yang menjadi kehendaknya sesuai dengan isyarat yang diberikan, maka mengalirlah semua itu ke dalam hati dan lidahnya. Apabila ini yang diperbuat manusia terhadap sesama manusia, bagaimana pula dengan yang jauh lebih kuat dari manusia itu.[1]

Sekarang orang dapat mendengar percakapan yang direkam dan dibawa oleh gelombang eter, menyeberangi lembah dan dataran tinggi, daratan dan lautan tanpa melihat si pembicara, bahkan sesudah mereka wafat sekalipun. Kini dua orang dapat berbicara melalui telepon, sekalipun yang seorang berada di ujung timur dan yang lain di ujung barat, dan terkadang pula keduanya saling melihat dalam percakapan itu, sementara orang-orang yang duduk disekitarnya tidak mendengar apa-apa selain suara lebah, persis seperti dengingan di waktu turun wahyu.

Siapakah di antara kita yang tidak pernah mengalami dialog dengan diri sendiri, baik dalam keadaan sadar atau dalam keadaan tidur tanpa harus melihat apa yang diajak bicara dihadapannya? Yang demikian ini, juga contoh-contoh lain yang serupa cukup dapat menjelaskan kepada kita tentang hakikat wahyu.

Orang yang sezaman dengan wahyu itu menyaksikan wahyu dan menukilnya secara mutawatir dengan segala persyaratannya yang meyakinkan kepada generasi-generasi sesudahnya. Umat manusia pun menyaksikan pengaruhnya di dalam suatu peradaban bangsanya, dan kemampuan pengikutnya. Manusia akan menjadi mulia selama tetap berpegang kepada wahyu itu, dan akan hancur serta hina bila mengabaikannya. Kemungkinan terjadinya wahyu dan eksistensinya sudah tak dapat diragukan lagi, dan manusia perlu kembali kepada petunjuk wahyu demi jiwanya yang haus akan nilai-nilai luhurnya.

Muhammad Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam, bukanlah rasul pertama yang diberi wahyu. Allah juga telah menurunkan wahyu kepada para rasul sebelumnya.

“Sessungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu (hai Muhammad), sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nabi Nuh, dan nabi-nabi yang diutus sesudahnya; Kami juga telah memberikan wahyu kepada Nabi Ibrahim, Nabi Ismail, Nabi Ishaq, Nabi Ya’qub, dan nabi-nabi keturunannya; Nabi Isa, Nabi Ayub, Nabi Yunus, Nabi Harun, dan Nabi Sulaiman; juga Kami telah memberikan kepada Nabi Dawud, Kitab Zabur. Dan (Kami telah mengutus) beberapa orang rasul yang telah Kami ceritakan kepadamu dahulu sebelum ini, juga rasul-rasul yang tidak Kami ceritakan kepadamu. Dan Allah benar-benar telah berkata-kata secara langsung kepada Nabi Musa dengan kata-kata”. (QS. An-Nisaa’ : 163-164)

“Patutkah manusia merasa heran dengan sebab Kami telah mewahyukan kepada seorang laki-laki di antara mereka, ‘Berilah peringatan kepada umat manusia (yang ingkar), dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang beriman, bahwa bagi mereka kedudukan yang sungguh mulia di sisi Tuhan mereka.’ (Setelah Nabi Muhammad datang kepada mereka), berkatalah orang-orang kafir (yang merasa heran) itu, ‘Sesungguhnya (Muhammad) ini tukang sihir yang nyata’. (QS. Yunus : 2)

Arti Wahyu

Dikatakan; wahaitu ilaihi dan auhaitu. Kalimat ini digunakan jika tidak ingin orang lain mendengarnya. Wahyu mengandung makna isyarat yang cepat. Itu terjadi biasanya melalui pembicaraan yang berupa simbol, terkadang melalui suara semata, dan terkadang pula melalui isyarat dengan sebagian anggota badan.

Al-Wahy (wahyu) adalah kata mashdar (infinitif). Dia menunjukkan pada dua pengertian dasar, yaitu: tersembunyi dan cepat. Oleh sebab itu dikatakan, “Wahyu ialah informasi secara tersembunyi dan cepat yang khusus ditujukan kepada orang tertentu tanpa diketahui orang lain.” Inilah pengertian dasarnya (mashdar). Tetapi terkadang juga bermaksud al-muha, yaitu pengertian isim maf’ul, maknanya yang diwahyukan. Secara etimologi (kebahasaan) pengertian wahyu meliputi:

1. Ilham al fithri li al insan (ilham yang menjadi fitrah manusia). Seperti wahyu terhadap Ibu Nabi Musa.

“Dan Kami wahyukan (ilhamkan) kepada Ibu Musa, “Susuilah dia…” (QS. Al-Qashash : 7)

2. Ilham yang berupa naluri pada binatang, seperti wahyu kepada lebah.

“Dan Tuhanmu telah mewahyukan kepada lebah, ‘Buatlah sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon, dan di rumah-rumah yang didirikan manusia.’” (QS. An-Nahl : 68)

3. Isyarat yang cepat melalui isyarat, seperti isyarat Zakaria yang diceritakan Al Qur’an.

“Maka keluarlah dia dari mihrab, lalu memberi isyarat kepada mereka, ‘Hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan petang.’” (QS. Maryam : 11)

4. Bisikan setan untuk menghias yang buruk agar tampak indah dalam diri manusia,

“Sesungguhnya setan-setan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu.” (QS. Al-An’am : 121)

5. Apa yang disampaikan Allah kepada para malaikat-Nya berupa suatu perintah untuk dikerjakan.

“Ingatlah ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat, ‘Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkanlah pendirian orang-orang yang beriman.’” (QS. Al-Anfal : 12)

Sedangkan wahyu Allah kepada para nabi-Nya, secara syariat mereka didefinisikan sebagai “Kalam Allah yang diturunkan kepada seorang nabi.” Definisi ini menggunakan pengertian maf’ul, yaitu al-muha (yang diwahyukan). Ustadz Muhammad Abduh mendefinisikan wahyu di dalam Risalah At-Tauhid sebagai “pengetahuan yang didapati seseorang dari Allah, baik dengan melalui perantaraan ataupun tidak. Yang pertama melalui suara yang terjelma dalam telinganya atau bahkan tanpa suara. Beda antara wahyu dengan ilham adalah bahwa ilham itu intuisi yang diyakini oleh jiwa yang mendorong untuk mengikuti apa yang diminta, tanpa sadar dari mana datangnya. Hal seperti itu serupa dengan perasaan lapar, haus, sedih, dan senang.”[2]

Definisi di atas adalah definisi wahyu dengan pengertian mashdar. Bagian awal definisi ini mengesankan adanya kemiripan antara wahyu dengan suara hati atau kasyaf. Tetapi pembedaannya dengan ilham di akhir definisi tadi menafikkan kemiripan ini.

Cara Wahyu Turun Kepada Malaikat

1. Dalam Al Qur’an Al-Karim terdapat nash mengenai kalam Allah kepada malaikat-Nya.

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman, ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’ Mereka berkata, ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah di muka bumi orang yang akan membuat kerusakan di dalamnya…?” (QS. Al-Baqarah : 30)

Juga tentang wahyu Allah kepada mereka, “Ingatlah ketika Tuhanmu mewahyukan kepada malaikat, ‘Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkanlah pendirian orang-orang yang beriman.’” (QS. Al-Anfal : 12)

 Ada juga nash tentang malaikat yang mengurus urusan dunia menurut perintah-Nya:

 “Demi malaikat-malaikat yang membagi-bagi urusan.” (QS. Adz-Dzariyat : 4)

 “Dan demi malaikat-malaikat   yang mengatur urusan dunia.” (QS. An-Nazi’at : 5)

Ayat-ayat di atas dengan tegas menunjukkan bahwa Allah berbicara kepada para malaikat tanpa perantaraan dan dengan pembicaraan yang dipahami oleh para malaikat itu. Hal itu diperkuat oleh hadits dari Nuwas bin Sam’an Radhiyallahu ‘Anhu yang mengatakan bahwa Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam besabda, ‘Apabila Allah hendak memberikan wahyu mengenai suatu urusan, Dia berbicara melalui wahyu. Maka langit pun bergetar dengan getaran –atau dia menyatakan dengan goncangan- yang dahsyat karena takut kepada Allah Azza wa Jalla. Ketika penghuni langit mendengarnya, mereka pingsan dan jatuh. Lalu bersujudlah kepada Allah. Yang pertama sekali mengangkat kepalanya di antara mereka itu adalah Jibril, lalu Allah menyampaikan wahyunya kepada Jibril menurut apa yang dikehendaki-Nya. Kemudian Jibril berjalan melintasi para malaikat. Setiap kali dia melalui satu langit, para malaikatnya bertanya kepada Jibril : ‘Dia mengatakan yang hak dan Dialah yang Mahatinggi lagi Mahabesar.’ Para malaikat itu semuanya pun mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh Jibril. Lalu Jibril menyampaikan wahyu itu seperti diperintahkan Allah Azza wa Jalla.[3]

Hadits ini menjelaskan bagaimana wahyu turun. Pertama Allah berbicara, yang didengar oleh para malaikat. Pengaruh wahyu itu sangat dahsyat. Pada zhahirnya –di dalam perjalanan Jibril untuk menyampaikan wahyu-, hadits di atas menunjukkan turunnya wahyu khusus mengenai Al Qur’an, akan tetapi hadits tersebut juga menjelaskan cara turunnya wahyu secara umum. Pokok persoalan itu terdapat di dalam hadits shahih, “Apabila Allah memutuskan suatu perkara di langit, maka para malaikat mengepak-ngepakkan sayapnya karena pengaruh firman-Nya, bagaikan mata rantai di atas batu yang licin.”

2. Jelas bahwa Al Qur’an telah dituliskan di lauhul mahfuzh, berdasarkan firman Allah:

“Bahkan ia adalah Al Qur’an yang mulia yang tersimpan di lauhul mahfuzh.” (QS. Al-Buruj : 21-22)

Demikian juga, Al Qur’an itu diturunkan sekaligus ke Baitul ‘Izzah yang berada di langit dunia pada malam Lailatul Qadar di Bulan Ramadhan.

Sesungguhnya Kamilah yang menurunkannya –Al Qur’an- pada Lailatul Qadar.” (QS. Al-Qadar : 1); Sesungguhnya kami menurunkannya –Al Qur’an- pada suatu malam yang diberkahi. “(QS. Ad-Dukhan : 3)

Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al Qur’an.” (QS. Al-Baqarah : 185).

Di dalam Sunnah terdapat hal yang menjelaskan turunnya Al Qur’an yang menunjukkan bahwa nuzul itu bukanlah turun ke dalam hati Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam.

Dari Ibnu Abbas dengan hadits mauquf, “Al Qur’an itu diturunkan sekaligus ke langit dunia pada Lailatul Qadar. Setelah itu diturunkan selama dua puluh tahun. Lalu Ibnu Abbas membaca ayat:

Tidaklah orang-orang kafir datang kepadamu dengan membawa sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan yang paling baik penyelesaiannya.” (QS. Al-Furqan : 33)

“Dan Al Qur’an itu telah Kami turunkan berangsur-angsur agar kamu membacanya secara perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.” (QS. Al-Israa’ : 106)[4]

Dalam satu riwayat disebutkan, “Telah dipisahkan Al Qur’an dari Adz-Dzikr, lalu diletakkan di Baitul ‘Izzah di langit dunia; kemudian Jibril menurunkannya kepada Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam.[5]

Oleh sebab itu, para ulama berpendapat mengenai cara turunnya wahyu Allah yang berupa Al Qur’an kepada Jibril dengan beberapa pendapat :

1. Jibril menerimanya secara pendengaran dari Allah dengan lafazhnya yang khusus.

2. Jibril menghafalnya dari Lauh Al-Mahfuzh.

3. Maknanya disampaikan kepada Jibril, sedang lafazhnya dari Jibril, atau Muhammad Shalallahu Alaihi wa Sallam.

Pendapat pertama yang benar. Pendapat itu yang dijadikan pegangan oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah, serta diperkuat oleh hadits Nuwas bin Sam’an di atas.

Penyandaran Al Qur’an kepada Allah itu terdapat dalam beberapa ayat:

“Sesungguhnya kamu benar-benar diberi Al Qur’an dari Allah yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui.” (QS. An-Naml : 6)

“Dan jika ada diantara kaum musyrik itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah dia supaya dia sempat mendengar firman Allah.” (QS. At-Taubah : 6)

“Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang nyata, orang-orang yang tidak mengharap pertemuan dengan kami berkata, ‘Datangkanlah Al Qur’an yang lain dari ini atau gantikan ia.’ Katakanlah, ‘Tidaklah patut bagiku untuk menggantikannya dari pihak diriku sendiri. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang di wahyukan kepadaku….” (QS. Yunus : 15)

Al Qur’an adalah kalam Allah dengan lafazhnya, bukan kalam Jibril atau Muhammad.

Adapun pendapat kedua di atas, tidak dapat dijadikan pegangan, sebab adanya Al Qur’an di Lauhul Mahfuzh itu seperti hal-hal gaib yang lain, termasuk Al Qur’an.

Sedangkan, pendapat ketiga hampir sama dengan makna sunnah. Sebab, sunnah itu juga wahyu dari Allah kepada Jibril, kemudian kepada Muhammad Shalallahu Alaihi wa Sallam secara makna. Lalu beliau mengungkapkan dengan redaksi beliau sendiri, “Dia (Muhammad) tidaklah berbicara mengikuti kemauan hawa nafsunya. Apa yang diucapkannya itu tidak lain adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (QS. An-Najm : 3-4)

Karenanya diperbolehkan meriwayatkan hadits menurut maknanya, sedangkan Al Qur’an tidak.

Demikianlah, kita telah mendiskusikan tentang perbedaan Al Qur’an dengan hadits qudsi dan hadits nabawi pada bab yang lalu.

Diantara keistimewaan Al Qur’an adalah :

  1. Al Qur’an adalah mukjizat
  2. Kebenarannya mutlak
  3. Membacanya dianggap ibadah
  4. Wajib disampaikan dengan lafazhnya. Sedang hadits qudsi tidak demikian, sekalipun ada yang berpendapat lafazhnya juga diturunkan.

Hadits nabawi ada dua macam. Pertama, Sebagai ijtihad Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam. Ini bukan wahyu. Adanya pengakuan wahyu –dengan cara membiarkannya- terhadap ijtihadnya, apabila ijtihad itu benar. Kedua, maknanya saja yang diwahyukan, sedangkan lafazhnya dari Rasulullah sendiri. Oleh sebab itu, ini dapat dinyatakan dengan maknanya saja. Hadits qudsi itu menurut pendapat yang kuat, maknanya saja yang diturunkan, sedang lafazhnya tidak. Ia termasuk dalam bagian yang kedua ini. Sedang menisbahkan hadits qudsi kepada Allah dalam periwayatannya karena adanya nash tentang itu, adapun hadist-hadits nabawi tidak.

Pendapat pertama yang benar. Pendapat itu yang dijadikan pegangan oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah, serta diperkuat oleh hadits Nuwas bin Sam’an di atas.

Penyandaran Al Qur’an kepada Allah itu terdapat dalam beberapa ayat:

“Sesungguhnya kamu benar-benar diberi Al Qur’an dari Allah yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui.” (QS. An-Naml : 6)

“Dan jika ada diantara kaum musyrik itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah dia supaya dia sempat mendengar firman Allah.” (QS. At-Taubah : 6)

“Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang nyata, orang-orang yang tidak mengharap pertemuan dengan kami berkata, ‘Datangkanlah Al Qur’an yang lain dari ini atau gantikan ia.’ Katakanlah, ‘Tidaklah patut bagiku untuk menggantikannya dari pihak diriku sendiri. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang di wahyukan kepadaku….” (QS. Yunus : 15)

Al Qur’an adalah kalam Allah dengan lafazhnya, bukan kalam Jibril atau Muhammad.

Adapun pendapat kedua di atas, tidak dapat dijadikan pegangan, sebab adanya Al Qur’an di Lauhul Mahfuzh itu seperti hal-hal gaib yang lain, termasuk Al Qur’an.

Sedangkan, pendapat ketiga hampir sama dengan makna sunnah. Sebab, sunnah itu juga wahyu dari Allah kepada Jibril, kemudian kepada Muhammad Shalallahu Alaihi wa Sallam secara makna. Lalu beliau mengungkapkan dengan redaksi beliau sendiri, “Dia (Muhammad) tidaklah berbicara mengikuti kemauan hawa nafsunya. Apa yang diucapkannya itu tidak lain adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (QS. An-Najm : 3-4)

Karenanya diperbolehkan meriwayatkan hadits menurut maknanya, sedangkan Al Qur’an tidak.

Demikianlah, kita telah mendiskusikan tentang perbedaan Al Qur’an dengan hadits qudsi dan hadits nabawi pada bab yang lalu.

Diantara keistimewaan Al Qur’an adalah :

  1. Al Qur’an adalah mukjizat
  2. Kebenarannya mutlak
  3. Membacanya dianggap ibadah
  4. Wajib disampaikan dengan lafazhnya. Sedang hadits qudsi tidak demikian, sekalipun ada yang berpendapat lafazhnya juga diturunkan.

Hadits nabawi ada dua macam. Pertama, Sebagai ijtihad Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam. Ini bukan wahyu. Adanya pengakuan wahyu –dengan cara membiarkannya- terhadap ijtihadnya, apabila ijtihad itu benar. Kedua, maknanya saja yang diwahyukan, sedangkan lafazhnya dari Rasulullah sendiri. Oleh sebab itu, ini dapat dinyatakan dengan maknanya saja. Hadits qudsi itu menurut pendapat yang kuat, maknanya saja yang diturunkan, sedang lafazhnya tidak. Ia termasuk dalam bagian yang kedua ini. Sedang menisbahkan hadits qudsi kepada Allah dalam periwayatannya karena adanya nash tentang itu, adapun hadist-hadits nabawi tidak.


[1] Lihat; An-Naba’ Al-‘Azhim/75.

[2] Lihat; Al-Wahyul Muhammadi/ Syaikh Muhammad Rasyid Ridha/44

[3] HR. Ath-Thabrani

[4] HR. Al-Hakim, Al-Baihaqi dan An-Nasa’i

[5] HR. Al-Hakim dan Ibnu Abi Syaibah