Ada empat wanita yang mulia di surga, salah satunya adalah Khadijah bin Khuwailid. Kelak dari rahimnya yang suci, lahir salah seorang wanita utama lainnya, yaitu Fathimah Az Zahra. Keduanya adalah orang yang paling dicintai Rasulullah Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. Yang pertama adalah istri beliau, sedang yang kedua adalah ummu abiha (ibu yang melahirkan bapaknya). Begitu Rasulullah menjuluki.
Sangat besar rasa cinta Rasulullah kepada Khadijah. Sampai-sampai Aisyah, istri Nabi yang paling dicintai di antara istri-istri lain sesudah Khadijah, merasa sangat cemburu. Shahih Bukhari dan Shahih Muslim menceritakan bahwa Aisyah mengatakan, “Tidak pernah aku merasa cemburu kepada seorang pun dari istri-istri Rasulullah seperti kecemburuanku terhadap Khadijah. Padahal aku tidak pernah melihatnya. Tetapi Rasulullah seringkali menyebut-nyebutnya. Jika ia memotong seekor kambing, ia potong-potong dagingnya, dan mengirimkannya kepada sahabat-sahabat Khadijah. Maka aku pun berkata kepadanya, ‘Sepertinya tidak ada wanita lain di dunia ini selain Khadijah…!’ Maka berkatalah Rasulullah, ‘Ya, begitulah ia, dan darinyalah aku mendapat anak.’“
Dalam suatu riwayat dikisahkan, suatu saat Aisyah merasa cemburu, lalu berkata, “Bukankah ia hanya seorang wanita tua dan Allah telah memberi gantinya untukmu yang lebih baik daripadanya? Maka beliau pun marah sampai berguncang rambut depannya. Lalu beliau berkata, ‘Demi Allah! Ia tidak memberikan ganti untukku yang lebih baik daripadanya. Khadijah telah beriman kepadaku ketika orang-orang masih kufur, ia membenarkanku ketika orang-orang mendustakanku, ia memberikan hartanya kepadaku ketika manusia yang lain tidak mau memberiku, dan Allah memberikan kepadaku anak darinya dan tidak memberiku anak dari yang lain.’ Maka aku berkata dalam hati, “Demi Allah, aku tidak akan lagi menyebut Khadijah dengan sesuatu yang buruk selama-lamanya.”
Pernikahan Khadijah dengan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah yang paling indah dan penuh barakah. Pernikahan yang seagung ini justru berawal dari inisiatif Khadijah. Ia mengusulkan pernikahan kepada Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, menurut riwayat, dengan mahar yang berasal dari hartanya.
Ia menolak menikah dengan raja-raja, para bangsawan, dan para hartawan yang meminangnya, tetapi ia lebih menyukai Muhammad yang miskin dan yatim. Ia mencari suami yang agung, kuat, berkepribadian tinggi, dan berjiwa bersih. Dan itu ada pada Muhammad. Ia terkesan dengan Muhammad.
Ketika hatinya terpikat betul, ia meminta Maisarah yang menjadi pembantu dekatnya untuk memperhatikan gerak-gerik dan tingkah-laku Muhammad dari dekat.
Laporan Maisarah kelak mendorong Khadijah menawarkan dirinya kepada beliau. Khadijah mengungkapkan kepada Muhammad, “Wahai Muhammad, aku senang kepadamu karena kekerabatanmu dengan aku, kemuliaanmu dan pengaruhmu di tengah-tengah kaummu, sifat amanahmu di mata mereka, kebagusan akhlakmu, dan kejujuran bicaramu.”
Setelah melalui proses peminangan yang agung, Khadijah kemudian menikah dengan Muhammad. Abu Thalib menyampaikan khotbah nikah mewakili pihak pengantin laki-laki. Sedang pihak pengantin perempuan diwakili oleh Waraqah bin Naufal dengan khutbah yang fasih dan memikat. Kelak, Allah mengaruniakan keturunan, salah satunya wanita agung Fathimah Az Zahra.
Menikah merupakan sunnah yang diagungkan oleh Allah. Al Qur’an menyebut pernikahan sebagai mitsaqan ghalizha (perjanjian yang sangat berat). Mitsaqan ghalizha adalah nama dari perjanjian yang paling kuat dihadapan Allah. Hanya tiga kali Al Qur’an menyebut mitsaqan ghalizha. Hanya untuk tiga perjanjian Allah memberi nama mitsaqan ghalizha. Dua perjanjian berkenaan dengan tauhid, yaitu perjanjian Allah dengan Bani Israel yang untuk itu Allah mengangkat bukit Thursina ketika mengambil sumpah. Sedang yang lain adalah perjanjian Allah dengan para Nabi Ulul Azmi, Nabi yang paling utama di antara para Nabi. Dan, pernikahan termasuk perjanjian yang oleh Allah digolongkan sebagai mitsaqan ghalizha. Allah menjadi saksi ketika seseorang melakukan akad nikah. Wallahu a’lam bish shawab.
Setiap jalan menuju mitsaqan ghalizha dimuliakan oleh Allah. Islam memberikan penghormatan yang suci kepada niat dan ikhtiar untuk menikah. Nikah adalah masalah kehormatan agama, bukan sekedar legalisasi penyaluran kebutuhan biologis dengan lawan jenis. Islam memperbolehkan kaum wanita untuk menawarkan dirinya kepada laki-laki yang berbudi luhur, yang ia yakini kekuatan agamanya, dan kejujuran amanahnya menjadi suaminya. Dan Khadijah adalah teladan pertama bagi wanita yang bermaksud untuk menawarkan diri.
Sikap menawarkan diri menunjukkan ketinggian akhlak dan kesungguhan untuk mensucikan diri. Sikap ini lebih dekat kepada ridha Allah dan untuk mendapatkan pahala-Nya. Yakinlah, Allah pasti akan mencatatnya sebagai kemuliaan dan mujahadah (perjuangan) suci. Tidak peduli tawarannya itu diterima atau ditolak, terutama kalau ia tidak memiliki seorang wali. Demikian saya mencatat dari buku Memilih Jodoh dan Tatacara Meminang dalam Islam karya Husein Muhammad Yusuf (GIP, Jakarta, 1995).
Insya Allah, jika sikap menawarkan diri dilakukan dengan ketinggian sopan santun, tidak akan menimbulkan akibat kecuali yang maslahat. Seorang laki-laki yang memiliki pengetahuan mendalam pasti akan meninggikan penghormatan terhadap mujahadah saudaranya. Tidak akan merendahkan wanita yang menjaga kehormatannya seperti ini, kecuali laki-laki yang rendah dan tidak memiliki kehormatan kecuali sekedar apa yang disangkanya sebagai kebaikan.
Seorang laki-laki insya-Allah akan sangat hormat, setia, dan menaruh kasih sayang mendalam jika ia menerima tawaran wanita shalihah untuk menikahi. Mudah-mudahan Allah menambahkan kemuliaan dalam keluarganya dan memberikan keturunan yang meninggikan derajat orangtua di hadapan Allah. Kalau terhalang untuk menerima tawaran, insya Allah pada diri laki-laki akan tumbuh rasa hormat, segan, dan respek terhadapnya.
Sungguh, saya sangat hormat kepada mereka yang berani bermujahadah. Kepada mereka, saya ingin menyampaikan salam hormat saya. Semoga Allah memberi pertolongan dan ridha-Nya kepada kita semua sampai kelak Allah mengumpulkan di akhirat. Mudah-mudahan Allah ‘Azza wa Jalla mengumpulkan mereka bersama Khadijah di Al Haudh. Allahumma amin. Ya Allah, ini hamba-Mu memohon kepada-Mu.
Saya ingin membahas masalah ini lebih lanjut, mengingat pentingnya masalah ini. Sedang sikap seperti ini merupakan sikap terhormat yang dimuliakan. Tetapi untuk lebih baik dan tuntasnya, insya-Allah akan saya tuliskan dalam buku tersendiri.
Saat ini cukuplah dengan melihat contoh-contoh lain yang tercatat dalam sejarah. Imam Bukhari menceritakan cerita dari Anas r.a. Ada seorang wanita yang datang menawarkan diri kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan berkata, “Ya, Rasulullah! apakah Baginda membutuhkan daku?”
Putri Anas yang hadir dan mendengar perkataan wanita itu mencela sebagai wanita yang tidak punya harga diri dan rasa malu, “Alangkah sedikit rasa malunya. Sungguh memalukan, sungguh memalukan.”
Anas berkata kepada putrinya itu, “Dia lebih baik darimu. Dia senang kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu menawarkan dirinya untuk beliau!” (HR Bukhari).
Rabi’ah binti Ismail Asy Syamiyah, istri Ahmad bin Abu Al Huwari –murid Abu Sulaiman Ad-Darani, seusai menunaikan shalat Isya’, berhias lengkap dengan busananya. Setelah itu ia mendekati tempat tidur suaminya. Ia menawarkan kepada suaminya, “Apakah malam ini engkau membutuhkan kehadiranku atau tidak?”
Jika suaminya berhasrat untuk menggaulinya, ia melayani sampai suaminya mencapai kepuasan. Kalau malam itu suaminya sedang tidak berminat, maka ia menukar pakaian yang dikenakan tadi dan berganti dengan pakaian lain yang biasa digunakan untuk beribadah. Malam itu, ia tenggelam di tempat shalatnya hingga subuh.
Rabi’ah adalah salah satu istri Ahmad bin Abu Al Huwari. Suatu hari, ia memasak makanan yang enak. Masakan itu diberi campuran aroma yang harum. Setelah masak dan menyantap makanan itu, Rabi’ah berkata kepada suaminya, “Pergilah ke istrimu yang lain dengan membawa tenaga baru.”
Sebelum menikah dengan Ahmad bin Abu Al Huwari, Rabi’ah telah menikah dengan seorang suami yang kaya. Sesudah kematian suaminya, ia memperoleh harta waris yang sangat besar. Ia kesulitan me-nasharuf-kan (membelanjakan) hartanya demi kepentingan Islam dan diberikan kepada orang yang membutuhkan. Ia melihat Ahmad bin Abu Al Huwari sebagai orang yang dapat menjalankan amanah.
Sementara itu, Rabi’ah sendiri seorang perempuan yang adil.
Maka, ia meminang Syaikh Ahmad bin Abu Al Huwari agar berkenan memperistri dirinya. Ketika mendapatkan pinangan Rabi’ah, Syaikh Ahmad berkata, “Demi Allah, sesungguhnya aku tidak berminat lagi untuk menikah. Sebab aku ingin berkonsentrasi dalam beribadah.”
Rabi’ah menjawab, “Syaikh Ahmad, sesungguhnya konsentrasiku dalam beribadah lebih tinggi daripada kamu. Aku sendiri sudah memutuskan keinginan untuk tidak menikah. Tetapi tujuanku menikah kali ini tidak lain agar dapat me-nasharuf-kan harta kekayaan yang kumiliki kepada saudara-saudara yang muslim, dan untuk kepentingan Islam sendiri. Aku pun mengerti bahwa kamu adalah seorang yang shalih. Tetapi, justru dengan begitu aku akan memperoleh keridhaan dari Allah Subhanahuw wa Ta’ala.”
Ahmad bin Abu Al Huwari tidak segera memberikan jawaban. Ia perlu mengkonsultasikan dulu dengan Abu Sulaiman Ad Darani, gurunya. Memperoleh penjelasan dari Syaikh Ahmad, Ad Darani berkata, “Baiklah, kalau begitu nikahilah dia. Karena perempuan itu adalah seorang wali”.
Bagi banyak wanita, mengajukan tawaran secara langsung barangkali sulit dilakukan karena kendala-kendala psikis. Bisa juga untuk lebih menjaga kehormatan.
Jika menghadapi yang demikian, Anda bisa menyampaikan niat Anda melalui orang lain yang dapat dipercaya (tsiqah), terutama orangtua jika masih ada.
Orangtua juga bisa mengambil inisiatif untuk menawarkan anak gadisnya kepada laki-laki yang telah dikenal akhlaknya. Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘Anhu, ayah Hafshah, adalah salah satu contoh.
Imam Bukhari meriwayatkan, Umar bin Khaththab berkata:
Saya datang kepada Utsman bin Affan, menawarkan Hafshah kepadanya. Lalu
Utsman berkata, “Nantilah, saya akan pikirkan dulu!”
Pada waktu itu istri Utsman bin Affan, Sayyidatina Ruqaiyyah binti Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam meninggal dunia ketika perang Badar berkobar. Dan Utsman diperintahkan oleh Nabi untuk mengurus istrinya. Beberapa malam kemudian, Utsman berjumpa dengan saya dan berkata, “Saya pikir, pada waktu ini saya belum berminat untuk kawin.”
Setelah itu, saya pergi menawarkan putriku kepada Abu Bakar, “Kalau kau mau, saya akan menikahkan engkau dengan Hafshah!” Abu Bakar diam dan tidak menjawab tawaran saya. Saya sangat marah dan kurang senang dengan sikapnya yang berbeda dengan Utsman, meski Ustman juga menolak anakku.
Beberapa malam kemudian, Hafshah dipinang oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. Beliau sudah mengobati luka hati saya karena penolakan kedua sahabatku itu. Tiba-tiba Abu Bakar datang dan menemuiku sambil berkata, “Mungkin kau marah dan kurang senang kepada saya. Ketika kau menawarkan Hafshah, saya diam dan tidak menjawab sepatah pun!”
Saya jawab, “Ya, benar.”
Lalu Abu Bakar melanjutkan, “Sebenarnya saya ingin sekali menerima tawaranmu itu. Tetapi sebelum engkau menawarkan Hafshah kepadaku, aku sudah mendengar Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menyebut-nyebut untuk meminangnya. Dan aku tidak mau membuka rahasia beliau kepadamu. Namun, jika beliau tidak jadi menikahinya, tentu akan saya terima tawaranmu itu dengan senang hati.” (Shahih Bukhari).
Kita tinggalkan dulu kisah pernikahan Ummul Mukminin Hafshah Radhiyallahu ‘Anha dengan manusia utama, Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa ‘Alaa `Alihi wa Sallam.
Insya Allah kita bisa melanjutkan lagi dengan kisah-kisah lain yang kemudian melahirkan keturunan pilihan. Misal, pernikahan orangtua ‘Abdullah bin Mubarak. Ia sangat terkenal di kalangan para ulama, shalihin, ahli zuhud dan para ilmuwan. Ia lahir dari pernikahan anak gadis Nuh bin Maryam dengan Mubarak, budaknya yang jujur.
Kita bisa melanjutkan ke kisah-kisah lainnya. Tetapi saya kira, Anda bisa menemukan sendiri kisah-kisah demikian di berbagai buku. Sekarang, marilah kita tutup bab ini dengan memohon kepada Allah mudah-mudah kita tidak dimatikan oleh-Nya dalam keadaan membujang. Mudah-mudahan Allah memperbaiki akhlak kita yang masih penuh maksiat ini. Semoga Allah mengaruniakan kepada kita keturunan yang memberi bobot kepada bumi dengan kalimat Laa Ilaha Illallah.
Sesudahnya, bagi para orangtua maupun akhwat yang sedang menghadapi pinangan (atau, sedang bersiap menghadapi pinangan), mari kita lanjutkan pembicaraan ke bab dua Mempertimbangkan Pinangan.
Sedang bagi ikhwan yang telah memiliki hasrat, atau sempat jatuh hati, jika telah memenuhi syaratnya silakan mendatangi orangtuanya secara resmi. Menikah secara resmi. Menantikan saatnya tiba yang kadang prosesnya tak mudah, tetapi sering juga sangat sederhana. Di sinilah indahnya mujahadah. Semoga Allah menjadikan pendamping kita termasuk wanita shalihah yang penuh barakah, dan darinya lahir keturunan yang hukma shabiyya rabbi radhiya (memiliki kearifan semenjak kecil dan diridhai Allah).
Allahumma amin. Ya Allah, kabulkanlah do’a kami.