102. Miliki kemampuan diplomasi
“Tidaklah seseorang berbicara kepada suatu kaum dengan suatu pembicaraan yang tidak mampu dijangkau oleh akal mereka melainkan akan menjadi fitnah bagi sebagian mereka” (HR. Muslim)
Sebagai murabbi, Anda perlu menjaga amniyah (keamanan) dakwah. Untuk menjaganya, Anda perlu memiliki kemampuan diplomasi. Kemampuan berbahasa yang terkesan jujur dan terbuka, padahal tidak. Jika Anda tidak mampu berdiplomasi, maka (untuk menjaga amniyah) Anda akan terkesan terlalu tertutup. Orang tidak suka dengan orang yang tertutup. Sebaliknya, jika Anda jujur, berarti Anda melanggar amniyah. Padahal Anda sudah berkomitmen untuk menjaganya. Di sinilah kemampuan diplomasi dibutuhkan. Sebagai contoh, jika ada orang bertanya kepada Anda apa nama jama’ah Anda (padahal hal itu amniyah), Anda jawab saja bahwa nama jama’ah saya adalah jama’ah Islam.
Kemampuan berbahasa diplomasi juga diperlukan jika Anda ditanya atau dimintai pendapat yang kontroversial. Misalnya, Anda ditanya tentang hukum pacaran oleh mad’u pemula. Jika Anda jawab jujur tidak boleh, mungkin ia akan lari dari Anda.
Jawablah dengan diplomasi bahwa Islam mengajarkan kebaikan dalam segala hal. Jika dalam pacaran ada kebaikan maka ia boleh, tapi jika tidak ada berarti tidak boleh. Kemampuan diplomasi juga dibutuhkan jika Anda tidak mau terlibat lebih jauh dalam konflik antar mad’u. Misalnya, jika mad’u meminta pendapat Anda tentang mad’u yang tidak disukainya. Jawablah, bahwa setiap orang pasti memiliki kelebihan dan kekurangan.
103. Temui dan kembangkan potensi mad’u
“Sesunggguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaikbaiknya.” (QS. 95 : 4).
Halaqah adalah kelompok yang bertujuan memberdayakan anggotanya secara optimal. Pemberdayaan tak mungkin maksimal jika potensi orang yang diberdayakan tidak dikembangkan. Karena itu, sebagai pemimpin halaqah, Anda perlu mengembangkan potensi mad’u.
Namun masalahnya, seringkali murabbi tidak tahu potensi mad’u. Bahkan acapkali mad’u juga tidak tahu potensi dirinya. Gimana cara mengetahui potensi mad’u? Kenali minat, hobi, kelebihan, sifat, dan prestasi masa lalu mad’u. Dari situ Anda dapat membuat “benang hijau” tentang potensi mad’u.
Setelah Anda mengetahuinya, bantu ia untuk mengembangkan potensinya. Caranya, dengan memberikan motivasi agar ia serius mengembangkan potensinya. Juga dengan memberikan tugas yang sesuai potensinya. Percayalah! Mad’u yang merasa potensinya tidak berkembang di halaqah akan kurang antusias berhalaqah. Sebaliknya, jika Anda terlihat peduli dan pandai mengembangkan potensi mad’u, Insya Allah ia akan betah berhalaqah. Lebih jauh lagi, ia akan merasa berhutang budi terhadap Anda karena telah membantunya mengembangkan potensinya.
104. Jangan menunda memecahkan masalah
“Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain” (QS. 94 : 7).
Jika mad’u memiliki masalah, biarkan ia menyelesaikannya terlebih dahulu. Hal ini agar ia mandiri dan bertanggung jawab terhadap masalahnya sendiri. Namun kalau ia kelihatan sudah tidak sanggup lagi, segera bantu menyelesaikan masalahnya. Sebaiknya, Anda tidak menunda-nunda menyelesaikan masalah mad’u. Apalagi bersikap masa bodoh terhadap masalahnya. Jika permasalahan ditunda, dampaknya bisa semakin besar. Yang akhirnya, bukan saja menjadi beban baginya, tapi juga bagi Anda dan jama’ah. Misalnya, mad’u punya problem dengan lawan jenisnya (pacaran), kemudian Anda membiarkannya. Mungkin suatu ketika ia datang kepada Anda dengan masalah yang lebih besar lagi (misalnya berzina). Dampaknya, bukan hanya ia yang cemar namanya, tapi juga Anda dan jama’ah.
Begitu pula jika Anda merasa mempunyai masalah dengan mad’u, tapi mad’u tidak merasakannya, sampaikan uneg-uneg Anda dengan segera. Jangan sampai Anda pusing sendirian.
Dengan segera menyelesaikan masalah, Anda memperingan tugas Anda sebagai murabbi dan membantu agar beban masalah yang dipikul jama’ah tidak terlalu berat.
105. Tumbuhkan kemandirian mad’u
“Maka berperanglah kamu pada jalan Allah. Tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajibanmu sendiri” (QS. 4 : 84).
Mad’u yang mandiri tentu saja lebih baik dari mad’u yang tidak mandiri. Mad’u yang mandiri akan mampu memecahkan masalahnya sendiri, mampu beraktivitas tanpa disuruh, dan mampu berkreativitas. Sebagai murabbi, Anda perlu menumbuhkan kemandirian mad’u. Dakwah dan halaqah bukan ingin mencetak orang yang terlalu tergantung dengan orang lain, sehingga tidak dapat berbuat apa-apa kalau tidak ada instruksi “dari atas”. Tugas dakwah begitu banyak, sehingga tidak mungkin dapat ditampung seluruhnya dalam program halaqah dan jama’ah. Jika, mad’u terlalu tergantung pada instruksi dan program, dakwah akan kehilangan dinamikanya dan mungkin akan terlambat menghadapi tantangan jaman. Karena itu, dibutuhkan sifat mandiri dari mad’u untuk berkreativitas dalam dakwah. Tentu saja, orang yang mandiri perlu memahami rambu-rambu larangan dalam Islam dan jama’ah, sehingga kemandiriannya tidak salah jalan.
Yang perlu dipahami juga bahwa kemandirian tidak identik dengan sama-sama kerja, tapi tidak bekerja sama. Kemandirian yang perlu ditumbuhkan adalah kemandirian dalam lingkup amal jama’i. Jadi, di dalam kemandirian ada koordinasi, komunikasi, dan sinergi dengan aktivis dakwah lainnya.
106. Pindahkan mad’u, jika Anda tidak cocok dengannya
“Dan dua orang yang saling mencintai karena Allah; keduanya bertemu di atas cinta dan berpisah juga di atasnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Jika Anda merasa tidak cocok dengan mad’u, baik dalam pendapat, karakter, dan perilaku, pindahkan ia ke murabbi lain. Misalnya, Anda berbeda pendapat dengan mad’u dalam banyak hal, pindahkan saja ia ke murabbi lain yang lebih cocok dengannya. Namun hal ini baru dapat dilakukan, jika Anda telah mencoba secara maksimal untuk menserasikan hubungan Anda. Jika setelah dicoba ternyata tidak cocok juga, daripada Anda dan mad’u sama-sama sakit hati lebih baik pindahkan saja ia ke murabbi lain. Sebab kalau dipaksakan juga sulit terjalin keakraban dengannya.
Ibarat kata pepatah, “air dan minyak sulit disatukan”. Manusia juga begitu, tidak semua manusia bisa cocok satu sama lain. Justru dari ketidakcocokkan itu, muncul kelapangan dada dan saling pengertian. Justru dari situ, muncul dinamika kehidupan.
Anda jangan merasa kecil hati jika ada mad’u yang merasa tidak cocok dengan Anda, tapi ia bisa cocok dengan murabbi lain. Sebab setiap orang memiliki “selera” berbeda. Persis seperti selera terhadap makanan. Hal ini sudah merupakan sunnatullah.
107. Jangan biarkan mad’u mengidolakan Anda
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu…” (QS. 33 : 210).
Asep, seorang aktor, sangat senang diidolakan penggemarnya. Apakah Anda ingin seperti Asep? Diidolakan mad’u Anda. Jika Anda menjawab “ya”. Berarti Anda harus alih profesi. Tidak lagi menjadi murabbi tapi jadi artis. Mengapa? Karena menjadi murabbi pantang diidolakan. Idola berarti meneladani seseorang secara utuh dan biasanya tanpa sikap kritis. Hal ini hanya bisa dilakukan terhadap Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Sebab hanya beliau yang makhsum (terhindar dari dosa dan kesalahan). Sebagai murabbi, Anda tidak boleh diidolakan mad’u, tetapi kalau sekedar dikagumi tidak masalah. Sebab jika Anda diidolakan mad’u berarti ia akan mengikuti Anda tanpa sikap kritis. Padahal, sebagai manusia biasa Anda bisa keliru.
Pengidolaan kepada murabbi dapat berdampak pada munculnya taqlid buta, hilangnya suasana tausiyah, sulitnya menerima pandangan orang lain yang berbeda dengan murabbi, serta hilangnya kreativitas dan kemandirian mad’u. Selain itu, pengidolaan terhadap murabbi dapat berdampak pada sulitnya Anda memindahkan mad’u ke murabbi lain, jika suatu ketika Anda ingin memindahkannya.
Murabbi secara tak sadar dapat membuat mad’u mengidolakannya. Misalnya dengan sikapnya yang terlalu memanjakan mad’u, sehingga ia menjadi tergantung kepada Anda. Ada juga murabbi yang malah secara sadar membiarkan mad’u mengidolakannya. Dengan alasan agar mudah diatur dan disuruh-suruh. Namun tanpa disadarinya, ia menjerumuskan mad’u pada ketidakdewasaan sikap dan perilaku.
108. Tumbuhkan kepercayaan diri mad’u
“Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mukmin itu untuk berperang (memperjuangkan Islam)…” (QS. 8 : 65).
Mad’u yang percaya diri akan lebih mudah untuk dibina dan dikembangkan potensinya. Sebaliknya, mad’u yang minder (tidak percaya diri) akan sulit untuk dibina dan dikembangkan potensinya.
Cara mengatasi mad’u yang tidak percaya diri adalah dengan menjelaskan kepadanya cara menumbuhkan kepercayaan diri, yakni dengan meyakini bahwa setiap manusia adalah makluk Allah yang mulia dan memiliki banyak kelebihan, memfokuskan diri pada kelebihan (bukan pada kekurangan), memperbaiki kekurangan-kekurangan yang dimiliki, menumbuhkan kesadaran bahwa manusia bisa lebih baik dari yang ia duga, menghindari alasan karena sebagian besar alasan adalah fiktif dan dibuat-buat, meyakini bahwa pekerjaan yang sedang dilakukan adalah penting, melakukan persiapan dan perencanaan sebelum melakukan kegiatan, dan meyakini bahwa kegagalan adalah jalan kesuksesan.
Selain dengan penjelasan, Anda perlu juga melatih mad’u agar meningkatkan kepercayaan dirinya. Beberapa cara yang dapat dilakukan, misalnya dengan menugaskan mereka untuk membuka/menutup acara halaqah, kultum (ceramah singkat), mengisi daurah, membina pengajian anak-anak, mengisi halaqah di tempat lain, memimpin rapat, mengikuti diskusi kelompok dan memimpin diskusi kelompok.
Termasuk dalam hal ini adalah meningkatkan kepercayaan diri mad’u agar mau membina (menangani halaqah).
109. Jangan terpengaruh dengan jumlah kehadiran mad’u
“Da’i tidak boleh bakhil dalam mengutarakan materi tatkala yang hadir Cuma sedikit, karena boleh jadi manfaat penjelasannya saat itu lebih besar daripada ketika yang hadir banyak.” (Musthafa Masyhur).
Sebagian murabbi ada yang terpengaruh dengan jumlah kehadiran mad’u dalam halaqah. Ketika jumlah yang hadir banyak, ia semangat. Namun ketika jumlah yang hadir sedikit, semangatnya menurun.
Ada beberapa alasan mengapa murabbi turun semangatnya ketika yang hadir sedikit. Pertama, ia merasa kecewa dengan mad’u yang tidak disiplin dengan kehadiran. Kedua, ia kecewa dengan dirinya sendiri yang tidak mampu mendisiplinkan mad’u untuk hadir dalam halaqah. Ketiga, ia kecewa karena sudah mempersiapkan diri sebaik mungkin, tapi yang hadir ternyata tidak sesuai dengan yang ia harapkan. Semua hal itu membuat semangatnya menurun untuk mengisi halaqah.
Hal semacam itu semestinya tak perlu terjadi jika murabbi memiliki niat yang ikhlas. Keikhlasan niat membuat seseorang hanya sibuk dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga tidak sempat berpikir tentang suasana lingkungan yang mengecewakannya.
Sebaliknya, kalau kita tidak ikhlas, kita akan mudah terpengaruh dengan suasana lingkungan.
Murabbi yang turun semangatnya jika mad’u yang hadir sedikit akan berdampak pada penampilannya yang lesu dan monoton. Ketika ia menyampaikan materi, memimpin pertemuan, mengevaluasi program, bicaranya tak lagi bergairah. Pikirannya juga tidak konsentrasi karena memikirkan kehadiran mad’u yang mengecewakannya. Akibatnya, mad’u juga merasakan hal yang sama, sehingga pertemuan berjalan lesu, tanpa gairah Hal ini tentu saja tidak baik untuk keberlangsungan halaqah.
110. Jangan merasa memiliki mad’u
“Biarkanlah Aku bertindak terhadap orang yang telah Aku menciptakannya sendirian” (QS. 74 : 11).
Jangan pernah terlalu merasa memiliki mad’u. Anggap ia sebagai orang yang perlu diajak (mad’u), bukan dimiliki. Ia bukan milik Anda, tapi milik Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sebab jika Anda merasa memiliki mad’u, Anda akan sering kecewa dan sedih. Anda akan kecewa jika berbuat salah. Anda akan kecewa jika ia pergi dari Anda tanpa kabar. Anda akan kecewa jika ia pindah ke murabbi lain. Anda akan sedih jika ia melupakan jasa Anda. Semua itu mestinya tak perlu terjadi jika Anda tak mempunyai rasa memiliki yang terlalu besar terhadap mad’u Anda.
Memang, Anda boleh saja melakukan instrospeksi diri terhadap mad’u yang mengecewakan Anda, tapi Anda juga harus ingat bahwa apa yang terjadi terhadap mad’u semata-mata karena takdir Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Anda tidak kuasa menghalangi apa yang merupakan kehendak Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Jadi, jangan ditimpakan semua kesalahan itu kepada diri Anda sendiri. Tidak semuanya merupakan kesalahan Anda. Bersikaplah proporsional dalam memandang mad’u. Jangan terlalu merasa memiliki. Tugas Anda hanyalah mengajaknya ke arah kebaikan. Hasilnya, Anda serahkan bulat-bulat kepada Allah (tawakal). Insya Allah, Anda tidak akan terlalu kecewa dan tidak terlalu menyalahkan diri sendiri terhadap apapun yang terjadi pada diri mad’u Anda.
111. Berilah harapan surgawi dan duniawi
“Niscaya Allah mengampuni dosa-dosamu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, dan (memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di dalam surga ‘Adn. Itulah keberutungan yang besar. Dan (ada lagi) karunia yang lain yang kamu sukai (yaitu) pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat (waktunya). Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang beriman” (QS. 61 : 12-13).
Ketika Anda memotivasi mad’u, berilah kepadanya harapan surgawi (imbalan surga dari Allah) dan harapan duniawi (imbalan kesuksesan dunia). Cara ini memadukan antara harapan jangka panjang (surga) dengan harapan jangka pendek (kenikmatan dunia). Cara inilah yang digunakan Allah dalam Al Qur’an dan yang digunakan Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika memotivasi para sahabat. Sebagai misal, Anda bisa melihatnya dalam surah As Shof (61) ayat 10-13, surah Ath Thalaq (65) ayat 2-3, surah An Nahl (16) ayat 97 dan surah Al Hadid (57) ayat 28. Juga bisa membacanya dalam tarikh Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam beberapa kali memotivasi para sahabatnya dengan surga dan harta ghonimah (rampasan perang) agar mereka semangat berperang.
Anda jangan hanya memberikan harapan surgawi, sebab manusia seringkali mengharapkan keuntungan jangka pendek (materi). Jangan pula hanya memberikan harapan duniawi sebab bisa membuat mereka pamrih dan tidak ikhlas. Namun perlu diingat, harapan surgawi harus lebih sering disampaikan daripada harapan duniawi.
Karena harapan surgawi dapat membentuk semangat yang lebih permanen daripada harapan duniawi (bagi orang yang mengerti). Anda juga perlu mengingatkan mad’u bahwa harapan duniawi hanyalah “hadiah” bukan niat. Jika dijadikan niat, berarti tidak ikhlas lagi, sehingga sia-sia amal yang dilakukan.
Seringlah-seringlah Anda memotivasi mad’u dengan iming-iming surgawi dan duniawi. Misalnya, katakan kepada mereka, jika mereka berdakwah, mereka akan mendapatkan balasan surga. Selain itu, juga akan mendapatkan keberuntungan yang melimpah di dunia sebagai imbalan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
112. Ingatkan mereka agar selalu ikhlas
“Dengan ikhlas kepada Allah, tidak mempersekutukan sesuatu dengan Dia. Barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh” (QS. 22 : 312).
Jika Anda melihat gelagat ketidakikhlasan pada diri mad’u, segera ingatkan ia agar selalu ikhlas. Mad’u yang tidak ikhlas akan berdampak pada hilangnya pahala dan hilangnya ridha serta berkah dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Bahkan jika ketidakikhlasan itu berupa munculnya sifat egois, maka dapat berdampak pada hilangnya kebersamaan dan ukhuwah. Karena itu, jangan tolerir munculnya ketidakikhlasan pada diri mad’u, segera ingatkan ia. Kalau perlu, panggil ia untuk bicara empat mata.
Anda juga harus sering mentaujih mad’u tentang masalah keikhlasan. Terutama ketika gelagat ketidakikhlasan itu muncul. Tentu saja caranya harus variatif agar tidak membosankan. Anda bisa menambahkan dalil, ilustrasi, studi kasus baru agar taujih Anda lebih variatif.
Jika pun Anda ingin memberi ganjaran yang sifatnya “duniawi” (misalnya Anda ingin memberi honor kepada mad’u yang menjadi panitia seminar dari program amal jama’i halaqah), hubungkan hal tersebut dengan keikhlasan kepada Allah. Hal ini agar mad’u tidak “lupa diri” terhadap imbalan yang sifatnya materi, yang memang sering mempesona manusia.
113. Rangsang mad’u untuk berdakwah dan memiliki binaan
“..Hendaklah kamu menjadi orang-orang robbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.” (QS. 3 : 79).
Murabbi sukses adalah murabbi yang mampu mencetak mad’u menjadi da’i dan murabbi baru. Mad’u yang menjadi da’i berarti menjadi aktivis yang selalu berdakwah kapan pun dan dimana pun ia berada. Hatinya terikat dengan dakwah.
Mati dan hidupnya pun semata-mata untuk memperjuangkan tegaknya Kalimatullah. Selain menjadi da’i, mad’u juga perlu dididik agar antusias menjadi murabbi. Ia harus menganggap profesi murabbi sebagai pekerjaan mulia yang tak terkalahkan oleh pekerjaan apa pun. Ia menjadikan profesi murabbi sebagai profesi yang tak dapat dilepaskan dari aktivitas dakwah yang dilakukannya. Dengan menjadi murabbi, ia memperbanyak kader-kader dakwah dengan melakukan pembinaan secara khusus melalui pembentukan halaqah-halaqah baru. Inilah yang harus Anda lakukan kepada mad’u Anda, jika Anda ingin sukses menjadi murabbi.
Untuk mewujudkan hal tersebut, Anda harus memotivasi mad’u agar selalu berdakwah dan mau menjadi murabbi. Caranya dengan memberikan taujih berulang-ulang tentang pentingnya menjadi da’i dan murabbi. Anda bisa mentaujihnya dengan mengatakan bahwa menjadi murabbi berarti melakukan sunnah Rasul (karena Rasulullah adalah murabbi juga), melakukan pekerjaan yang paling efektif untuk membangun kejayaan umat, mendidik orang untuk menjadi kader dakwah yang tangguh, dan merupakan pekerjaan yang sangat diajurkan dalam Islam.
Anda juga perlu melatih mad’u agar siap menjadi da’i dan murabbi dengan cara melatihnya mengisi daurah, memimpin diskusi, menangani pengajian anak-anak, menjadi panitia majelis ta’lim, menangani halaqah secara temporer, sampai akhirnya ia berani menangani halaqah “betulan”. Anda bisa melakukan berbagai cara yang Anda anggap layak untuk melatih mad’u siap menjadi da’i dan murabbi. Jika mad’u merasa gagal berdakwah atau menjadi murabbi, Anda perlu menghiburnya dan memberikan semangat agar ia mau mencobanya lagi. Kegagalan bukanlah tanda ketidakbisaan, tapi tanda untuk menuju kebisaan dan keberhasilan.
114. Latih terus kreativitas Anda
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami…” (QS. 29 : 69).
Murabbi yang sukses adalah murabbi yang kreatif. Kurang kreativitasnya murabbi menyebabkan halaqah terjebak pada rutinitas yang dapat berdampak pada suasana yang membosankan, lambatnya pencapaian sasaran halaqah, dan akhirnya kehadiran mad’u juga menjadi tidak rutin.
Kurang kreatifnya murabbi disebabkan beberapa hal, diantaranya adalah kurangnya wawasan dan pengalaman murabbi, kurangnya kesadaran tentang pentingnya membina halaqah secara kreatif, kurang terbiasa melakukan aktivitas harian secara kreatif, kurang termotivasi untuk membina halaqah secara serius, dan kurangnya keberanian untuk mencoba sesuatu yang baru.
Sebagai murabbi, Anda harus kreatif dalam membina dengan cara menambah wawasan dan pengalaman, memahami manfaat membina secara kreatif serta kerugian membina secara tidak kreatif. Selain itu juga dengan mengikuti pelatihan-pelatihan tentang kreativitas atau membaca buku tentang cara meningkatkan krerativitas dalam kehidupan sehari-hari. Dan yang paling penting adalah Anda harus berani mencoba sesuatu yang baru tanpa takut gagal.
Jika Anda terus melatih kreativitas Anda sehingga tak pernah kehilangan akal untuk membina mad’u, mungkin suatu ketika Anda berhak mendapat gelar MBA (Murabbi Banyak Akal).